Bersebab tak diajari, dikenalkan dan disuruh jualan kecil-kecilan sedari kecil, kita jadi gagap berhadapan dengan tugas mengelola uang yang kadangkala itu kita pikir uang yang dinvestasikan untuk kita anak-pinakkan sampai menghasilkan untung banyak. Dan ajaibnya, uang yang kita pegang sementara waktu itu, dana publik. Artinya, bukan uang warisan orang tua, uang hasil kerja pribadi dan bukan jua uang hasil memasang lotre dan kita memenangkannya.
Kita, itu termasuk saya di dalamnya, ya. Ketika ditugaskan misalnya dalam satu kerja bareng mengurus acara tertentu yang harus mencari pihak ketiga untuk mengurusi urusan isi perut yang kosong para peserta, dengan jumlah dana yang jarang-jarang terisi dalam rekening pribadi, akan langsung tercengang dan timbul keinginan berbisnis secara spontan, yang sebelumnya tiada kita tau bagaimana cara melipatgandakan keuntungan. Seketika, kita menjadi gergasi yang melahap semua isi toko. Terbayang keuntungan itu akan kita beli baju koko, kain sarung kualitas nomor satu, bedak untuk ketiak yang bau, alat pencukur bulu, minyak rambut yang tak dijual sembarang tempat, hingga, jika uangnya lebih, kita akan menafkahi makan siang pacar di warung yang hanya disinggahi pejabat dan tamu dari ibukota.
Untuk merealisasi lamunan itu, Lalu, kita menghubungi dua-tiga rekanan yang biasa menangani urusan isi perut peserta acara, kita minta harga terendah diantara kerendahan harga yang pernah ada di muka bumi. Di RAB tertera 30K/bungkus nasi. Kepada si rekanan, kita minta ‘hak olah’ per bungkus 10K. Maka, dalam bisnis spontan itu, kita dapat ‘makan hak orang’ 10K/bungkus. Peserta mana tahu harga nasi pesanan massal. Yang mereka tahu, jam istirahat, solat dan makan, atau Isoma, mereka dibekali sebungkus atau sekotak nasi untuk mengisi relung perut yang sedari pagi kosong. Kosong kerana malas makan, tiada beras dan atau sengaja gak makan dengan alasan berhemat dan untung-untung di ujung acara dapat uang minyak yang lagi-lagi biasanya disunat.
Perlu kalian tahu, yang sunat uang acara itu, pembawaannya tenang dan tatapan teduh. Tapi, kukasih tau, coba bikin satu perkara gak sopan di depan mereka, mereka, panitia itu, akan bergerombol membenarkan sikap gak sopan kita itu disertai kultum relijiyus yang klise. Kultum itu biasanya diringkus dari motivator televisi yang sedang berupaya bikin konten monetisasi.
Berbisnis dalam tugas jauh lebih ringan dengan risiko nyaris tiada. Paling banter kalau ketahuan atasan, diberi nasihat atau dikenai kartu kuning. Sementara pihak ketiga, harus menyediakan nasi dengan harga murah, tapi kualitas mesti setara 30K/bungkus. Di pasar, harga-harga sedang melaju kencang. Sehelai seledri setara 2 gelas kopi pancong. Satu ekor ikan dencis atau reughak, bisa saja sama dengan harga setengah bungkus rokok magnum.
Tapi, demi menjaga perasaan relasi bisnis, takut kehilangan job, semua itu dilaksanakan sebaik-baiknya. Yang penting, bagi pihak ketiga itu, setiap ada acara semacam workshop, seminar sehari dan ada urusan makan nasi kotak, kerjaan itu tetap mereka tangani. Dari pada jatuh ke tangan musuh. Kompetitor ee maksudnya.
Di bagian berbisnis dalam tugas, rasanya tak perlu berlama-lama duduk di bangku kuliah mendengar ajaran pebisnis melalui mulut dosen ekonomi. Itu hanya menghabiskan waktu dan kesempatanmu berebut sisa-sisa anggaran tahunan yang dominan dihabiskan untuk rapat dengar pendapat (terdengar kayak orang pekak saja), seminar sehari dan lokakarya ini-itu.
Maka, bergabunglah dalam sindikat pebisnis dalam tugas itu, kalau kamu bekerja di jawatan-jawatan tertentu, tukang bikin program di lembaga swasta dan tugas-tugas yang dekat-dekat dengan itu. Kalau kamu kewalahan mencari rekanan pihak ketiga, bikin perusahaan sendiri yang dikelola oleh sanak familimu. Dari usaha sewa motor, usaha pengadaan nasi kotak, usaha penyedia instruktur hingga urusan mendekor ruang rapat yang serba artifisial dan begitu-begitu aja dari zaman Try Sutrisno masih menjadi wapres.
Jadi, ya, begitu.