~ Dangdut yang di-reportase
Di balik organ tunggal, seorang pria separuh baya memencet beberapa tuts. Intro lagu dangdut pun menghentak; mengirim bising yang menggerinjam gendang telinga.
Irama organ tunggal seperti menyuruh jari bergoyang.
Angin berembus dari depan kedai mengusir asap rokok yang mengepul menyentuh langit-langit. Aroma parfum sesekali berseliweran mencubit hidung, bercampur asap rokok, dan angin.
Di depan organ, seorang biduan wanita menyambut intro dengan meliuk-liukkan badan mengikuti musik. Tangannya yang penuh gelang gemerincing erat-erat mengepal pelantang.
Biduan itu bercelana jins ketat, high heels hitam, dan kemeja putih. Kemeja ini begitu erat membungkus tubuhnya. Saking eratnya, celah antarkancing kemeja kerap menampilkan bustehouder atau beha si penyanyi.
Ada selendang tipis yang membungkus kepalanya. Sesekali selendang itu jatuh lalu dinaikkan lagi.
Jarum jam melewati angka sembilan. Si penyanyi melantunkan lagu dangdut yang liriknya terdengar akrab.
Ketika masuk reff, suaranya melengking. Diikuti bunyi suing mikrofon. “Ayo digoyang!” teriaknya dengan penuh semangat kepada pengunjung kedai.
Para pengunjung yang cuma belasan__pria dan wanita__tersenyum. Beberapa membalas dengan teriakan, yeeehaaa (atau eaaa).
Walaupun beberapa kali terdengar sumbang, biduan wanita itu tetap percaya diri. Ia menghabiskan lagu ketika bulir-bulir keringat mulai berjatuhan dengan deras di kening, sebagian pipi, dan sisanya hampir merusak maskara.
“Oke, terima kasih,” ujarnya.
Ia lalu kembali ke meja, menyesap jus jeruk dingin. Bibirnya yang merah merona seperti bergetar-getar ketika bertemu sedotan dingin itu. Dia sungguh kehausan setelah membakar kalori di panggung tadi.
Sementara celah kemeja putihnya, yang agak basah keringat, sesekali masih mengirimkan pemandangan sekelebat bustehouder.
Kedai kecil tempat karaoke itu letaknya di pinggiran Kota Banda Aceh. Jauh dari kerumunan toko. Terhimpit di antara padatnya rumah-rumah penduduk.
Jalan kecil yang melintas di depan kedai setengahnya menjadi area parkir. Kebanyakan terisi oleh kendaraan roda dua.
Dari luar, kedai itu tak terlihat seperti tempat karaoke. Selembar spanduk yang terpajang di depan hanya menuliskan jenis minuman yang dijual. Tidak tertera jadwal karaoke.
Namun, di kedai itu, hampir saban Jumat dan Sabtu malam, karaoke dibuka. Musik mulai diputar selepas Isya dan baru berhenti tengah malam.
https://www.instagram.com/tv/BwlaCukHqrB/
Kurang dari semenit setelah musik berhenti, dari sebuah meja seorang pria bangkit menuju pemain keyboard. Pria ini memakai kaos, celana jins dan sepatu pantofel. Umurnya mendekati paruh baya.
Setelah memesan sebuah lagu, ia meraih pelantang dan menghadap ke pengunjung kedai.
Musik pun mengalun. Kali ini bukan dangdut tapi tembang lawas Tommy J Pisa. Ia membawakan lagu itu dengan beberapa improvisasi nada tanpa terdengar sumbang.
Sesekali pria itu menyorongkan mikrofon ke arah pengunjung kedai yang juga ikut menyanyikan lagu tersebut. Ia mengakhiri lagu dengan “hadiah” tepuk tangan.
Musik berhenti lagi sejenak. Pelayan membawa nampan berisi minuman ke meja di pojok warung.
Sementara itu, dari tempat duduknya, biduan wanita tadi bangkit lagi. Dengan gontai dia menyeret tubuhnya menuju pemain organ, memesan sebuah lagu.
Selendang tipis di kepalanya kini melorot ke leher, melindungi “celah” di kemeja putihnya.
“Ayeee…!” dia berteriak ketika irama koplo mulai menggetarkan dinding kedai.
Di luar kedai, angin mengusir hawa panas yang masih mengendap setelah ‘purnama biru’ beberapa hari lalu.
Diperbarui pada ( 24 Maret 2020 )