Cerpen: Di Toko Arloji

James terdiam sesaat setelah menerima arloji tersebut. Ia mulai meraba-raba arloji tersebut dengan cara menggosok-gosokkan ibu jarinya ke atas tali jam tangan tersebut.

Ilustrasi pria memilih jam

James masih berdiri di depan kaca pembatas yang memisahkan dirinya dengan bufet di mana belasan arloji tertata rapi dalam kotak-kotak perhiasan berlapis beludru hitam, yang tersusun dalam beberapa barisan berkilauan ditimpa cahaya lampu sorot di keempat sudut. Mata pria itu tertuju kepada salah satu arloji model klasik berwarna rose gold di seberang sana.

Ah, ayahnya, James tiba-tiba jadi teringat ayahnya. Ia bisa membayangkan seandainya dirinya membawa sekotak hadiah berisi salah satu arloji tersebut sebagai hadiah untuk ayahnya. Tentunya hal itu bisa menjadi hadiah yang akan membuat si Gerald tua tersenyum lepas. Lagipula, sudah lama ia tidak berkunjung ke rumah ayahnya. Pertengkaran besar terjadi setahun yang lalu. Dia berpikir, sebuah arloji pasti bisa menjadi jembatan rekonsiliasi antara dia dan ayahnya. Tidak ada salahnya dicoba.

Namun, pikiran pria gempal itu kembali digoyahkan oleh label harga yang tertera pada arloji tersebut. Uang sebanyak 100 dolar seharusnya tidak terlalu mahal untuk sebuah arloji sebagus itu, akan tetapi untuk saat ini uang sebanyak itu sangat berarti bagi orang seperti James. Bukankah ia harus menutupi uang sewa apartemen serta beberapa kebutuhan bulanan yang mesti dibeli?

Pikirannya mencoba mencari jalan keluar. Ketika ia bergelut dengan dirinya sendiri mengenai arloji tadi, penjaga toko muncul. Lelaki itu terlihat segar, meskipun rambutnya telah memutih, dan ia mengenakan tuksedo abu-abu juga dasi kupu-kupu hitam yang membuatnya terlihat necis.

“Anda tertarik dengan salah satu arloji kami, tuan?” tanya laki-laki itu sembari tersenyum.

James sebenarnya agak gelagapan jika ditodong tiba-tiba begitu. Dia tidak siap. Akan tetapi dia berusaha mengambil kendali, menarik napas, dan segera berpikir untuk menciptakan kalimat yang tepat demi menjawab sang penjaga toko yang kini tengah berdiri tepat di antara pintu toko dan dirinya.

“Oh, ha-ha, kurasa aku masih berpikir-pikir dulu…, semuanya tampak bagus, dan….”

“Oh, oke,” sang penjaga toko menanggapi, dia mengangguk dengan elegan.

“Silakan dipikir-pikir, jika anda tertarik nanti, Anda bisa masuk ke dalam dan menemui saya. Permisi,” lanjut sang penjaga toko sambil memberi anggukan kecil untuk James.

“Ah, iya, iya, mungkin sebentar lagi aku akan ke dalam…,” James membalas senyum sang penjaga toko dengan senyuman yang tidak kalah kaku, disertai pula dengan sedikit anggukan kecil yang juga tak kalah kakunya.

James masih mencoba untuk menunjukan kegagahan yang tersisa dari tampilannya yang terlihat seperti seorang lelaki yang baru saja bangun tidur dengan lingkaran hitam di mata, jaket parasut besar berlogo sebuah sasana tinju di distrik itu. Bau badannya khas, seperti bau keringat yang terasa asam dan manis sekaligus, seakan telah menempel lama di tempat tidur, dan menjadi daki. Akan tetapi, bau alkohol yang menempel di mulutnya jauh lebih menyengat.

Setelah penjaga toko masuk, James berpikir tidak ada salahnya jika ia ikut masuk ke dalam untuk sekadar untuk melihat-lihat atau melampiaskan rasa penasarannya terhadap arloji-arloji yang ada di sana. Tanpa berpikir panjang, dengan langkah yang agak ragu-ragu, James pun masuk ke dalam. Kedua tangannya tidak pernah dilepaskan dari kantong jaket parasutnya itu.

“Silakan, tuan,” sapa sang penjaga toko.

“…um, aku ingin melihat-lihat dulu,” ujar James. Dia masih ragu-ragu.

“Silakan, tuan,” penjaga toko terlihat mengambil salah satu arloji kemudian menyetel jam tangan tersebut.

Meskipun samar-samar, si penjaga toko sebenarnya masih bisa merasakan ada aroma alkohol dari lelaki mirip gelandangan yang baru saja masuk itu, tetapi hal tersebut bukanlah sebuah masalah besar. Toh, James tidak datang dalam keadaan teler. Walau bagaimanapun, seorang pelanggan tetaplah pelanggan, bukankah begitu?

James mulai berjalan mengikuti tepian bufet panjang tempat berbagai macam arloji ditata. Terdapat banyak sekali arloji, dan semuanya bagus-bagus. Apakah ia akan mulai memilih? Beberapa saat kemudian, matanya terasa berkunang-kunang oleh kilauan arloji-arloji tersebut, hingga dirinya tidak mampu berpikir sama sekali apa yang sebenarnya sedang dicari olehnya.

Ilustrasi jam di toko arloji
Ilustrasi jam di toko arloji. ©Breedie

Apalagi setelah ia menangkap label-label harga yang dikaitkan pada arloji-arloji tersebut. Ia mulai merasa mual. Lama-lama, James merasa harus segera berhenti, tidak ada satupun yang bisa dipilih dari arloji-arloji tersebut, ia hanya akan menelan ludah terus-terusan, seakan kilauan serta label-label harga dari arloji-arloji tersebut seperti paku yang sedang menusuk-nusuk matanya.

“Bagaimana, tuan?” sang penjaga toko sengaja bertanya setelah melihat lelaki yang ada di depannya itu mulai tampak seperti orang yang kebingungan.

Sementara itu, James, ia bahkan tidak berhenti di salah satu kumpulan arloji-arloji tersebut. Lelaki itu hanya mondar-mandir dengan kedua tangan yang masih dimasukkan ke dalam saku jaket. Dia agak terkejut dengan teguran sang penjaga toko.

“Oh…, maaf,” James terdiam, jari telunjuknya terlihat disangkutkan ke bibirnya, seakan sedang berpikir, dan terdiam selama beberapa detik.

“um….”

“Maaf, um…., begini saja, apakah kalian memiliki arloji dengan harga yang sedikit…, maksudku…, lebih murah…?” tanyanya sembari menunjukkan tanda melalui telunjuk dan ibu jari yang membentuk lingkaran, juga senyuman tipis.

Sang penjaga toko mengangguk perlahan dengan kedua ujung bibir yang dikulum. Tanpa banyak tanya, dengan wajah datar yang dingin, ia pun mengambil sebuah kotak kecil yang disimpan di belakangnya. Dengan ketenangan yang sama, ia menyodorkan kotak tersebut dalam kondisi terbuka.

Sebuah jam tangan bewarna perak dengan dial warna merah marun mencuat dari sana. Indah, kata itu datang secepat kilat. James terdiam sesaat setelah menerima arloji tersebut. Ia mulai meraba-raba arloji tersebut dengan cara menggosok-gosokkan ibu jarinya ke atas tali jam tangan tersebut. Tekstur rantai tersebut terasa cukup lembut dan nyaman.

“Ini bagus,” lontar James.

“Tidak, tidak, bahkan cukup layak disebut sangat bagus,” kata James lagi.

“Ya, dan berkualitas,” sang penjaga toko menanggapi.

“Ya, ya, berkualitas. Pasti,” kata James, “berapa harganya?” todong James.

“50 dolar,” jawab penjaga toko.

“50 dolar?” James mencoba menegaskan kembali jawaban dari sang penjaga toko.

” Ya, 50 dolar,” sang penjaga toko mengangguk, “itu cukup tahan percikan air hujan dengan intensitas kecil,” tambahnya.

James tampak berpikir sesaat, “um,” dia masih kebingungan.

“Bagaimana?” sang penjaga toko terdengar menodong, dan itu terdengar seperti sebuah tantangan bagi James.

Lelaki tampak sedang berpikir sejenak. Matanya memicing ke jejeran arloji lainnya. Ia terdengar menghela napas, yang dapat didengar oleh sang penjaga toko. Sementara itu, kedua tangannya kembali merogoh ke dalam kedua kantong jaket parasutnya. Mimik wajah dan gestur tubuhnya memperlihatkan kegelisahan.

“…um,” ucapannya terhenti.

“Bagaimana, tuan?” pertanyaan sang penjaga toko memang terdengar halus, tetapi juga terdengar penuh dengan desakan pada saat bersamaan.

“Um, bagaimana, ya…?” ia mulai menggaruk kepalanya sendiri, padahal kepalanya itu tidak terasa gatal sama sekali.

“Begini, saja, silakan dipikir-pikir dulu. Jika anda berkenan, toko kami dibuka dari Senin sampai Kamis,” kata penjaga toko.

James sebenarnya merasa senang mendengar saran sang penjaga toko barusan, akan tetapi ia sengaja memperlihatkan wajah yang datar. Ia mengulum mulutnya dan mengangguk-angguk.

“Baiklah, um, mungkin aku akan kembali besok…, tidak, tidak, maksudku, besok lusa. Atau, ya, mungkin minggu depan, ha-ha…,” kata James.

“Aku ada di sini, tuan,” sang penjaga toko menanggapi dengan tenang.

James berjalan keluar. Ia sempat memberi anggukan kecil sebagai sapaan terakhir kepada sang penjaga toko, yang dibalas pula dengan anggukan yang terlihat sama kakunya oleh sang penjaga toko. Sang penjaga toko masih dapat melihat lelaki itu berjalan menyeberang jalan lantas berbaur dengan beberapa orang yang sedang menunggu di bawah halte bus yang terletak di seberang toko arloji tersebut. Butir-butir salju saat itu mulai turun.

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *