Lompat Pagar

Cinta monyet mesti hadir di hati remaja yang menggebu-gebu. Kalau kebetulan wajah tidak mendukung, maka ada semangat yang memotivasi.

Komplotan Penyelenggara Dusta

Ia seperti remaja kebanyakan; membangkang kecil-kecilan semenjak sekolah menengah atas dengan merokok pada saat jam sekolah berlangsung, mengganggui cewek-cewek yang dianggapnya cantik dan pendiam dengan serampangan mengungkapkan cinta monyetnya.

Kadang tembakan itu meleset, kadang tepat mengena.

Cinta monyet mesti hadir di hati remaja yang menggebu-gebu. Kalau kebetulan wajah tidak mendukung, maka ada semangat yang memotivasi. Namun, dia yang kumaksud, motivasi menembak cewek didukung dua-duanya; wajah lumayan, dan monyet yang menggebu-gebu. Genaplah sudah.

Selain merokok dan menembak cewek-cewek pendiam, yang paling ia sukai adalah lompat pagar cabut dari sekolah. Dengan alasan yang sudah pasti, sekolah secara umum “membosankan!”

Sekolah tidak memberinya kelapangan mengekspresikan jiwa remaja. Guru-guru yang hobi ceramah sepanjang waktu, mata pelajaran yang mengutamakan hafalan semata, dan tentu saja, jam istirahat terlalu singkat. Maka, pergi pulang dari sekolah adalah pilihan terbaik dari pada harus menghabiskan waktu dalam ruangan pengap tanpa udara segar.

“Buang-buang usia saja,” ungkapnya berpuluh tahun kemudian.

Baca Juga: Buku Puisi dan Ahli Nujum

‘Lompat pagar’ adalah praktik curang sebenarnya. Namun dapat dibenarkan jika saya, Anda dan anak-anak kita bosan terlalu lama di satu tempat yang tak memberi ruang ekspresi secara terbuka. Maka, dalam lembaga-lembaga tertentu semisal partai, para pelompat pagar akan selalu ada dan bertambah banyak setiap waktu. Mereka akan semena-mena keluar-masuk partai kalau keberadaannya tak teraktualisasi dengan baik.

Dan kerennya, semenjak kita remaja, kita telah terbiasa menjadi pelompat pagar yang teguh. Itu salah satu warisan sekolah yang akan kita kenang sebagai kemenangan mempercundangi kerabat kerja sekolah yang kolot dan anti perubahan.

Teman saya pelompat pagar yang saya ceritakan di atas, di masa dewasanya, entah telah jadi apa. Saya tak begitu peduli keberadaannya kini. Mungkin masuk partai dan berubah jadi ‘kutu lembaga’, atau telah menjadi pensyiar agama yang berkhidmat melayani umat yang saban hari “sawan” karena kekurangan ilmu dalam mengarungi samudera kehidupan.

Yang saya tak inginkan, teman saya itu jadi kutu loncat dari satu organisasi ke lembaga lainnya.

Tapi, yaa sutralah.

Idrus bin Harun. @marxause. Penjual baju di Vaksin Otak Company. Banda Atjeh.

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *