Episode Sepenggal Sabar

Zhafee adalah nama panggilan yang sudah lama kami sematkan untuk calon buah hati kami, yang tak tahu kapan akan melengkapi perjalanan ini.

Ilustrasi perempuan. @Canva

Tiga tahun usia pernikahan, kuarungi dengan berbagai macam gelombang. Terkadang seperti sedang bermain arum jeram namun sekali-sekali seperti mendayung perahu di air yang tenang, kemudian secara tiba-tiba bertemu buaya.

Cobaan pertama pada tahun kedua membina rumah tangga adalah ketika Allah mengambil kembali Ayah mertuaku ke pangkuan-Nya. Melepas kepergian ayah pada saat pernikahan kami masih seumur batita yang sedang belajar berjalan tentu bukan hal yang ringan. Aku masih ingat dengan jelas SMS terakhir yang ayah kirimkan padaku, isinya kurang lebih tentang wejangan agar selalu sabar dan ikhlas menjalani setiap apapun takdir Allah.

Dan ketentuan itupun terjadi, selang sehari ketika Ayah meninggalkan kami. Suamiku tiba-tiba merasa jantungnya berdetak tak senormal biasanya, ia juga merasa lelah dan pusing padahal tak melakukan sesuatu yang menguras tenaga.

Bakda zuhur, kami memutuskan untuk menyambangi IGD rumah sakit terdekat yang juga menjadi saksi bagaimana ayah melalui sakratul maut. Dokter langsung berinisiatif memeriksa kadar gula darah, dan angka berhenti di 389 mg/dL. Hari ini kami harus menerima secarik kertas yang berisi surat keterangan bahwa suamiku yang baru berusia 25 tahun divonis mewarisi Diabetes Melitus, yang juga menjadi penyebab kepergian Ayah.

Lututku seakan kehilangan sendi, tapak kaki seolah tak menginjak bumi. Aku syok, bagaimana mungkin di usia yang masih begitu muda seseorang bisa menderita penyakit yang termasuk ke dalam salah satu penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Pikiran negatif, mengalir deras seakan memenuhi setiap rongga di kepalaku.

Salah seorang dokter spesialis yang kami temui menyarankan untuk melakukan penyuntikan insulin secara rutin. Katanya agar tubuh kembali segar dan kadar glukosa juga dapat terkontrol dengan baik. Namun, saat itu aku dan suami sudah terlanjur ketakutan, karena mengingat bagaimana ayah harus melalui tahun-tahun terakhirnya bersama benda yang harus rajin ia tancapkan pada perut dan lengan.

Membayangkannya saja sudah membuat mataku mengeluarkan keringat dingin. Ya Allah, kenyataan ini begitu besar untuk usia pernikahan kami yang belum sampai bilangan jari sebelah tangan.

Di dalam kebingungan itu, aku membaca surat cinta dari-Nya bahwa Allah tak memberi ujian melebihi limit seorang hamba. Kami adalah pasangan yang dipilih untuk melalui semua ini agar naik kelas lebih cepat.

Sejak divonis mengidap DM, suamiku mulai menjalani pola hidup sehat, rutin berolahraga dan meninggalkan makanan yang menggandung gula tinggi. Dia yang sering kujuluki duta makan, kini harus merelakan gelar itu dicabut paksa darinya. Perlahan-lahan Allah membimbing kami untuk terbiasa menerima ketentuan-Nya yang satu ini.

Baca halaman selanjutnya

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *