Waktu yang Tepat untuk Menanam Kopi Arabika Gayo

Daripada makin pusing saya pun memaknai ‘naik bulan’ sebagai istilah halus buat pasangan yang ingin ‘wik-wik’. Tentu saja, sangat melenceng dari makna sebenarnya.

Ilustrasi berkebun freepik

~ Bulan boleh naik turun tapi kopi harus ditanam

Pertanyaan ini mungkin sempat terlintas di benak Breeders sekalian terutama yang bercita-cita menjadi petani atau pengusaha kopi. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya tak susah ditanyakan kepada petani-petani kopi berpengalaman tapi terkadang sungkan untuk ditanyakan.

Jadi, Bree, kalau melihat kebiasaan masyarakat tani kopi di Gayo, waktu yang tepat untuk menanam kopi di kebun menjelang musim hujan. Alasannya jelas, auto dapat siraman air secara alami.

Pertumbuhan awal pohon kopi sangat bergantung pada siraman air. Untuk proses berbunga saja perlu hujan. Kalau nggak ada hujan kabut pun boleh, istilahnya begitu, karena cuaca yang lembab sangatlah dibutuhkan.

Apalagi saat memasuki fase batang kopi akan tumbuh ke atas, bukan ke samping.

Kalau untuk penyemaian bibit, ceritanya sedikit beda karena lebih fleksibel. Kapan ada waktu luang, musim hujan atau bukan, bibit terus saja ditabur. Nanti bakal disiram juga kalau hujan tak kunjung turun.

Bibit biasanya disemai di pinggir rumah. So pasti, para bibit mendapatkan perawatan ekstra maksimal dari tuannya.

Nah, untuk menanam kopi di kebun, mulanya saya mengikuti ‘aliran’ menanam kopi menjelang musim hujan.

Namun, setelah mendalami ilmu alamiah batiniah dari Abang Ipar kemudian di-compare dengan sains, ilmu bumi beserta planet dan segala isinya, plus konsep bertani organik dari Mbak Anita Roddick, saya menciptakan ‘aliran’ baru: cara menanam kopi Arabika di Gayo yang baik dan benar.

Menurut Abang Ipar saya, selain menjelang musim hujan, waktu yang tepat untuk menanam__baik kopi, cabai, tomat dan sebagainya__berdasarkan perhitungan waktu bulan naik dan bulan turun.

Bingung nggak, Bree? Tau nggak maksud dari bulan naik dan bulan turun?

Awalnya saya begitu, selain ragu juga bingung. Saya tidak terlalu paham apa itu waktu naik turun bulan. Daripada makin mumang (pusing) saya memaknai ‘naik bulan’ sebagai istilah halus buat pasangan yang ingin ‘wik-wik’. Bukan wig, ya.

Otomatis artinya sangatlah melenceng karena yang dimaksud Abang saya memang bulan naik bukan ‘naik bulan’.

Lihat juga wisata di gayo: Dermaga Teluk Suyen yang Viral Tanpa Label di Tepi Danau Laut Tawar

“Kalau Abang tanam tanaman yang buahnya di atas, pilih waktu bulan naik. Kalau yang buahnya di bawah saat bulan turun,” ujar Abang Ipar saya yang masih meyakini hal-hal mistis tapi realistis semisal, kalau potong kuku harus hari Kamis.

Sebagai generasi milenial yang bergelut di dunia komputer, khususnya programming, mendengar ungkapan seperti itu langsung timbul tanda tanya. Logikanya di mana, harus menanam berdasarkan waktu naik turun bulan?

Pertanian modern di luar negeri kayaknya tidak pilih-pilih waktu. Selain itu, para farmer di sana akrab dengan mesin, sejak menanam hingga panen. Hasil pertaniannya super bagus dan menjadi standar produk dunia.

Makanya, ada iklan di tivi yang dengan pongahnya menyebutkan, “Dibuat khusus dari beras Jepang”. Serasa kualitasi beras lokal kita tidak bagus.

Abang saya tahu soal itu bahwa petani luwa nanggroe (luar negeri) memang bercocok tanam menggunakan mesin-mesin canggih. Di Youtube pun bertebaran video-video yang memperlihatkan cara petani negeri atas angin itu bercocok tanam dengan mesin-mesin kapitalis tersebut.

Namun, Abang saya tetap tak terkecoh. Ia memegang betul titah secara turun-temurun soal bertani secara tradisional.

“Menurut kakek nenek buyut kami, begitu pola yang diterapkan saat tanam menanam tanaman,” tambah dia dan saya cuma mampu manggut-manggut.

“Orang zaman dulu cara bertani, saat bulan naik, sekitar tanggal 8-15 Hijriah tanami pohon yang berbuah di atas. Pas bulan hendak turun tepatnya 18-25 Hijriah tanami ubi, pokoknya yang berbuah di dalam tanah,” lanjut beliau tanpa menjelaskan detail tanggal-tanggal tersebut masuk dalam bulan apa pada penanggalan Hijriah.

Jadi, tambah dia (masih Abang Ipar saya), orang zaman dulu bertani berdasarkan pergerakan bulan. Ketika bulan menjelang purnama, waktunya menanam kopi, cabai, tomat, dan sebagainya yang berbuah di atas dahan.

Purnama berlalu, saatnya menanam ubi, ketela, keladi, kunyit, dan segala jenis umbi-umbian.

Setelah mendengar penjelasan tersebut, setengah logika sudah masuk ke pikiran saya.

Kemudian saya balik nanya, kenapa harus tanggal itu, tujuannya apa?

Lagi-lagi Abang saya menjawab, orang zaman dulu seperti itu, Abang ikuti saja.

“Pernah Abang praktek tanam dengan pola seperti itu. Satu baris mulsa, tanam cabai saat bulan naik kira-kira tanggal 8-10 Hijriah. Percobaan berikutnya satu baris mulsa, tanam cabai jelang bulan turun. Hasilnya memang lebih cantik cabai yang ditanam pas bulan lagi naik,” akunya.

Saya meragukannya. Bisa jadi itu pembenaran dia. Toh, saya tidak melihat juga kebun cabainya.

“Mungkin pupuknya Abang kurangi di bagian baris mulsa, yang Abang tanam pas bulan turun,” sanggah saya.

“Nggak, sama saja, tidak mungkinlah kalau mengurangi pupuk, nanti gagal panen, nggak mau rugi, kan?”

Next day, setelah mendapat pencerahan itu, pikiran saya terus saja terngiang-ngiang tapi logikanya belum jalan seratus persen masuk ke pikiran. Kenapa harus menanam berdasarkan naik turun bulan?

Dulu, waktu masih diajak bajak sawah, orang tua saya tidak pernah menanam padi atau menabur benih berdasarkan hitungan bulan naik turun.

Mereka turun dan menanam padi berdasarkan instruksi petugas pintu air. Ketika kran irigasi dibuka, waktunya turun ke sawah.

Hasil pertanian padinya, memang standar saja. Setelah potong biaya traktor, pupuk ,dan ongkos sumula (tanam), tinggal beberapa karung padi untuk kebutuhan sehari-hari hingga musim tiba berikutnya.

Begitulah nasib petani padi kita. Agak jauh lebih beruntung nasib petani kopi. Harga kopi ditawar dengan dollar, sedangkan beras kita malah impor.

Dengan perbandingan tadi dan kebiasaan menanam__baik palawija maupun tanam sayuran lain__kapan pun bisa, nyatanya tetap berbuah.

Tapi kenapa orang zaman dulu memperhitungkan berdasarkan hitungan bulan? Apakah ada misteri di balik itu?

Namun, bila kita melongok sejenak ke hitung-hitungan astronomi, ketika bulan naik sejak dari anak bulan hingga purnama penuh, ada pengaruh gravitasi bulan terhadap bumi.

Saat purnama penuh, gaya gravitasi bulan mempengaruhi kerak bumi. Akibatnya, tanaman lebih cepat tumbuh karena ada pengaruh gravitasi bulan. Mungkinkah?

Perhitungannya begini, misalkan, bibit kopi ditanam pada tanggal 7-8 Hijriah, artinya bulan sudah setengah penuh. Seminggu kemudian tanaman biasanya sudah segar dan akar baru mulai menancap. Saat bulan penuh gravitasinya mempercepat pertumbuhan tanaman kopi.

Baca Juga: Harga Kopi Gayo Awal 2020 Turun Drastis

Secara teoritis seperti itu tapi kita tentu tidak mampu merasakan tarikan bulan, ya, kan?

Namun, lautan bisa membuktikan. Ketika purnama, terjadi pasang tinggi. Saat itu, belahan bumi sejajar dengan bulan penuh.

Makanya, orang-orang di pinggir laut paham kapan waktu yang tepat menangkap kepiting. Saat bulan penuh, nelayan percaya isi daging kepiting juga penuh, artinya gemuk.

Tambah penasaran kan, kok bisa?

Penjelasannya lebih kurang begini. Menjelang purnama air laut pasang. Air lebih banyak di pinggir pantai sehingga hutan bakau tempat kepiting bersarang pun kebanjiran. Di sinilah sumber makanan terbanyak yang didapat kepiting ketimbang saat surut.

Banyak makanan, auto gemuklah si kepitingnya.

Kembali lagi ke tanaman kopi. Menanam kopi jelang bulan naik mungkin saja pertumbuhannya lebih cepat. Cepat tumbuh berarti tanaman lebih sehat.

Tapi jangan dibiarkan begitu saja, perawatan maksimal juga perlu.

Nah, kalau menanam kopi jelang bulan turun tidak bolehkah? Boleh-boleh saja dan tidak ada yang larang.

Sebaiknya tanamlah umbi-umbian saat bulan turun. Niscaya umbi-umbian akan lebih besar buahnya, akibat pengaruh gravitasi ke inti bumi.

Petani kita umumnya melakukan pola tradisional tumpang sari, mengikuti pergerakan bulan. Mereka mampu menyiasati waktu dan planning manajemen pola tanam dengan lebih teratur.

Jangan membandingkan dengan petani luar negeri sana yang hidupnya dikelilingi mesin-mesin canggih.

Orang zaman dulu begitu perhitungannya dalam bercocok tanam berdasarkan ilham yang didapatkan setelah mengkaji kitab-kitab di bale pengajian. Salah satunya dari yang saya dengar adalah Tajul Muluk, kitab yang menjelaskan tentang hal-hal seperti bertani, melaut, astronomi, dan lain-lain.

Sementara kita yang masih hidup di zaman sekarang, terkadang hanya mencari pembenarannya saja berdasarkan ilmu pengetahuan atas peninggalan nenek moyang.

Selain menghitung hari, menaman kopi juga butuh kecermatan memilih waktu.

Menurut Pak Cik Sarman bin Saimin, waktu yang tepat menanam kopi menjelang. Kalau waktu pagi takutnya tanaman kopi akan dehidrasi karena terkena teriknya matahari siang.

Saat sore, sinar matahari mulai redup. Satu sisi, sifatnya tanaman kopi adalah tidak perlu terpapar sinar matahari langsung. Itulah kenapa ada tanaman pelindung di kebun kopi berupa pohon pete atau lamtoro.

Baca Juga: Seru dan Kocak di Festival Panen Kopi Rembele

Bila sorenya menanam kopi, malamnya bibit yang baru ditancap di kebun bisa langsung meresap sejuknya embun malam. Besok pagi, si bibit pasti lebih fresh. Kalau terpapar sinar matahari pun tak perlu terlalu dikhawatirkan.

Berbeda dengan menanam pohong pisang, kata Pak Cik Sarman bin Saimin, dianjurkan pagi hari. Tujuannya agar batang pisang tidak tumbuh terlalu tinggi.

Jika ditanam saat sore, kata beliau, kebiasaannya dahan pisang menjulang tinggi, dan rentan roboh.

Jadi, sudah siapkah kamu menanam kopi?

Ikuti artikel lainnya tentang #InspirasiKopi

Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *