Sahur Stories: Kudeta

Tentara-tentara di rumah Pak Yono juga ikut menembak. Pak Yono paling girang. Ia memuntahkan peluru bedilnya sambil berteriak “aaaa…..aaaaa…..aaaaa…!”

ilustrasi sahur stories: kudeta by Fauzan BP

Di dekat kebun tebu kecil di jalan bantaran sungai aku berpapasan dengan Pak Abu dan Pak Lah. Muka keduanya panik. Pak Lah membawa senapan mirip Bren, sedangkan Pak Abu senapannya lebih tua, seperti jenis senjata dari perang dunia kedua. Seragam yang mereka kenakan hijau tua lusuh, mulai dari topi hingga celana, kecuali boot yang hitam.

Aneh, sejak kapan kedua pria tua yang saban hari sibuk mengurus Musala kampung itu, aktif di ketentaraan? Apakah mereka bagian dari pasukan cadangan yang disiapkan pemerintah untuk memerangi negara tetangga? Tapi ini udah tahun berapa!

“Poaaakkkk…!” seperti biasa, aku menyapa dengan ekspresi kelewat girang. Tak ada yang menjawab. Pak Lah, dengan senjata terkokang menghadap ke utara. Matanya liar menerawang ke ujung sungai.

“Sombong ni…yee,” ejekku lagi saat sepedaku melewati Pak Abu yang sedang menelisik ke selatan. Pak Abu hanya melihat sekilas sambil mengangkat alis. Tanpa mengucap sepatah kata. Apakah ini yang namanya ngeprank?

Kutinggalkan kedua pria tua bangka itu dengan setumpuk pertanyaan. Mereka, yang biasanya ramah kini mendadak tak kenal. Mereka juga seolah-olah sedang berada dalam situasi yang genting.

Es batu yang kugantung di setang sepeda mulai mencair. Rumahku masih lumayan jauh. Di bawah pohon seri dekat kompleks SD, aku melihat Bang Agus sedang melatih anak-anak sekolah materi PMP. “Bwaaanggg…!” Dia hanya mengangkat tangan sambil tersenyum. Bang Agus tentara betulan. Ia tinggal di barak lajang kompi, yang tidak begitu jauh dari rumah keluarga kami.

Di rumah, setelah es kuserahkan kepada ibu di dapur, aku keluar lagi dan pergi ke rumah Pak Maryono di sebelah. Aneh, Ibu tidak menanyakan perkara es itu yang telah mencair sebagian. Biasanya, Ibu akan mengomel kenapa aku lama sekali beli esnya. Muka Ibu juga tegang, seperti Pak Lah dan Pak Abu.

Di rumah Pak Yono ada televisi tua bantuan Departemen Penerangan. Gambarnya masih hitam putih. Banyak orang meriung di depan tivi. Orang-orang itu tidak kukenal. Suasana sedikit riuh. Mereka menunjuk-nunjuk ke arah tivi. Aku celingak-celinguk mencari Pak Yono.

Di tivi ada berita tentang sekelompok politikus yang sedang merencanakan kudeta. Kata berita, mereka telah lama mempersiapkan diri. Bukti-buktinya mulai dari keberadaan jeep militer, pasukan dengan senjata lengkap, dan truk-truk militer. Kalau tidak salah, ada tank-tank juga. Aku menghela nafas. Apakah ini yang membuat Pak Lah dan Pak Abu tegang?

Seseorang di antara kerumunan orang depan tivi menoleh ke arahku. “Pulang, sudah mau magrib ini,” ujarnya. Aku melihat sekilas dan sadar kalau orang itu komandannya Bang Agus. Di pangkuannya tergeletak senjata laras panjang berdesain lebih modern.

Aneh, komandan memakai kemeja Hawai dan celana pendek. Dan aku baru sadar ternyata yang meriung di depan tivi adalah teman-temannya Bang Agus. Penampilan mereka identik semua dan masing-masing membawa senjata.

Mendengar ucapan komandan, aku langsung berdiri berniat pulang tapi celingukan dulu ke arah dapur, mencari Pak Yono. Di mana lelaki humoris itu? Ah, mungkin Pak Yono sedang sibuk menyiangi ikan kerapu panggang kesukaannya.

Baru dua langkah dari pintu, kulihat Pak Abu dan Pak Lah lari terbirit-birit dari arah utara. Melintasi rumah Pak Yono, mereka kemudian masuk ke dalam kompi. Di depan kompi, aku melihat sepasukan tentara sedang mengatur formasi tempur di sekitar gerbang.

Aku berlari ke jalanan dan menerawang ke utara. Di ujung jalan panjang sekira satu kilometer itu, samar-samar kulihat iringan parade sepasukan tentara. Ada jeep, truk, dan tank sedang bergerak ke arah kompi. Suara iring-iringan pasukan itu terdengar seperti kawanan lebah.

Secepat kilat aku masuk ke rumah. Aneh, pintu rumahku terkunci. Terpaksa aku kembali ke rumah Pak Yono, bergabung dengan tentara-tentara itu. Rumah Pak Yono dengan gerbang kompi tak begitu jauh. Tapi pasukan ini daritadi tidak kembali ke kompi. Mereka sepertinya ingin bertahan di sini. Mempertahankan rumah Pak Yono? Tapi Pak Yono juga belum tampak batang hidungnya.

Tentara di rumah Pak Yono mulai bersiap-siap mengadang pasukan misterius itu. Mereka sibuk membagi-bagikan peluru dan granat. Di tengah kerumunan itu barulah aku melihat Pak Yono. Dia mengokang senjata dengan tangkas. Lho, sejak kapan Pak Yono jadi tentara?

Aku beringsut ke dekat jendela, menyelinap ke celah-celah tentara yang sedang berlindung. Aku ingin melihat situasi di luar. Ternyata parade pasukan kian dekat dan suara gemuruh kian bising. Di barisan depan ada tentara-tentara yang bergerak lincah ke segala sisi. Gerakan-gerakannya seolah mereka sedang break dance. Di belakangnya mengekor tank-tank hijau zaitun gelap.

Di tank paling depan, di bagian turret atau menara tank, tiba-tiba terconggok sosok familiar. Berkacamata dan berambut gondrong. Oh, dia artis penyanyi ibukota itu, pikirku. Beberapa kali aku melihat videonya ditayangkan di tivi. Kenapa dia ikut ambil bagian dari kudeta ini?

Belum sempat berpikir yang lain, terdengar suara tembakan. Adu tembak dimulai. Tentara kompi membalas serbuan pasukan kudeta. Tentara-tentara di rumah Pak Yono juga ikut menembak. Pak Yono paling girang. Ia memuntahkan peluru bedilnya sambil berteriak “aaaa…..aaaaa…..aaaaa…!”

Aku tak melihat komandan yang menyuruhku pulang. Ke mana dia? Pak Yono merangkak ke arah depan rumah, berlari ke pohon mangga, mengintip sebentar, lalu menembak sambil berteriak, kemudian berlindung lagi. Berkali-kali Pak Yono melakukannya, heroik seperti Rambo.

Aku mengintip ke arah tank itu lagi. Turret telah tertutup. Tak tampak penyanyi ibu kota itu.

“Bummmm!” Dentuman keras terdengar dari arah pohon mangga. Apakah itu granat? Tapi kaca-kaca rumah tidak pecah padahal jaraknya begitu dekat.

“Granaaattt!” Terdengar suara komandan melengking dari dalam rumah. Oh, gawat! pikirku.

Puk-puk-puk, sepasang tangan kecil berbulu lebat dan berkuku menepuk-nepuk ujung kakiku. Perlahan kubuka mata. "Ngeeeenggg...", seekor kerimu melintasi lubang hidungku, mencoba masuk ke dalamnya. Aku mengusap mata, merogoh hape. Pukul 11.30, 17 Maret 2024. Magrib masih lama.

Diperbarui pada ( 27 Maret 2024 )

Facebook Komentar

2 thoughts on “Sahur Stories: Kudeta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *