Rawon-rawon Corona: Dari Rembele, Depok Hingga Mandasyeh

Seolah-olah wabah sudah lenyap dan kehidupan dunia baik-baik saja. Padahal, begitu buka handphone, wabah corona sudah masuk kampung.

Update corona.

~ Semoga corona cepat berlalu

Corona sudah mewabah hampir seluruh provinsi di Indonesia. Sebentar lagi menjalar dari kota ke desa-desa bahkan hingga ke pelosok dusun.

Hingga tulisan ini rampung ditulis, ternyata di kampung saya tinggal kehidupan masih berjalan normal walaupun instruksi isolasi diri sudah diberlakukan.

Belum ada status lockdown. Tapi pemerintah desa sudah mengambil langkah kuda, siaga satu proteksi warga desa dari wabah virus corona.

Beberapa hari sebelumnya semua rumah di Kampung Rembele, Bener Meriah, sudah ditempeli imbauan resmi yang dikeluarkan reje atau kepala kampung.

Isi imbauannya sama: jaga jarak, cuci tangan dengan sanitizer, dan tingkatkan budaya hidup sehat.

Larangannya juga sama: tidak boleh melakukan aktivitas yang melibatkan orang banyak, mengadakan pesta pernikahan, sunatan, hingga tahlilan dan yang paling ditekankan tidak boleh menerima tamu luar.

Yang paling menarik dari imbauan tersebut dan beda di daerah lain: berkebunlah dan menghirup udara segar dari dedaunan hijau.

Beraktivitas dan menjalankan rutinitas berkebun inilah yang membuat kehidupan terasa normal seperti biasanya.

Kalau pun pemberlakuan lockdown diterapkan, dampak yang sangat terasa sekali, ya, masyarakat kota.

Biasa jalan-jalan rame dan penuh sesak lalu lalang kendaraan, tiba-tiba lenyap, gang-gang jadi sepi. Suasana mencekam pun terasa banget.

Seperti kembali ke masa-masa Aceh dibekap darurat militer dulu. Aktivitas terbatas walaupun roda perekonomian sebagian jalan terus. Tapi situasi sangat mencekam. Orang bisa mampus hanya karena peluru nyasar.

Kini, dengan mewabah penyakit, aktivitas di kota sangat terbatas, roda ekonomi terputus. Bukan lagi mencekam dan bisa-bisa mati karena kelaparan.

Sedangkan di pedesaan tempat tinggal saya masih lebih beruntung. Lockdown atau tidak, seperti tak ada beban mental bagi masyarakat di dataran tinggi Gayo. Kecuali dampak ekonomi saja.

Harga jual kopi anjlok. Yang melambung tinggi harga sembilan bahan pokok alias sembako. Ini menjengkelkan tentu saja.

Hingga tulisan sudah tiba di paragraf ini, istri mengeluhkan harga gula yang telah mencapai dua puluh ribu rupiah per kilogram.

Ya sudah, kami terima saja. Tinggal di kampung yang sedikit terisolir memang itu penyakitnya. Harga-harga dengan fluktuasi tinggi sering terjadi, kalau bukan sembako, ya, harga kopi.

Semenjak saya memilih tinggal di pedesaan yang masih banyak hutan, kehidupan terasa lamban.

Aktivitas sehari-hari lebih banyak di kebun kopi. Sesekali menghadiri rewang kenduri keluarga dan tetangga.

Dan sesekali keluar ke kota untuk stok bahan belanja. Setahun sekali ikut menikmati pesta rakyat pacu kuda.

Indah sekali bukan?

Apakah dampak wabah corona mengubah keadaan?

Dampak wabah memang terasa, tapi menjalani kehidupan bertani kopi, yang jauh dari keramaian dan hiruk pikuk dunia sangat menjaga kewarasan.

Seolah-olah wabah sudah lenyap dan kehidupan dunia baik-baik saja. Padahal, begitu buka handphone, wabah corona sudah masuk kampung.

Info terkini, pemerintah daerah Bener Meriah sudah menjalankan opsi menjaring warga di perbatasan, hanya memperbolehkan masyarakat dengan ID Bener Meriah dan Aceh Tengah yang boleh masuk.

Mari kita cek saudara kita yang ada di kota.

Dari kerabat hingga sahabat yang bertukar kabar lewat WhatsApp, ternyata kehidupan saya saat ini yang menetap di desa lebih beruntung daripada di kota.

Munawir misalnya, sahabat sekampung dulu yang kini berbisnis di Depok, sebuah kota di pinggiran ibu kota Jakarta.

Saya sedikit kuatir, seminggu terakhir saya jarang melihat status WhatsApp-nya. Seolah kawan saya itu tiba-tiba lenyap.

Apakah corona yang pertama muncul di Depok ikut terpapar terhadap dirinya.

Saya mencoba say hello dan menanyakan kabarnya. Responnya lama.

“Alhamdulillah sehat badan tapi mental ka gadeh nyoe”.

“Syukurlah…”

“Jino HP ka jareung lon mat. Maken kalon berita, maken jai yang meninggal.”

Saya pun terdiam. Mencoba merangkai kata yang tepat untuk membalas. Tapi kata-kata tidak kunjung muncul, dan akhirnya saya hanya bisa balas,

“Kalau butuh teman bicara, sila call saya…”

Tak banyak yang bisa diucapkan via chat WhatsApp. Mendapat kabar ia sehat dan baik-baik sudah cukup.

Dari Depok mari kita ke Batoh, Banda Aceh. Bermula dari status WhatsApp kerabat dekat, Batoh sudah lockdown.

Dan beberapa wilayah kota di Mandasyeh juga sudah partial lockdown.

Setelah bertukar kabar, kerabat yang di Banda Aceh dalam kondisi sehat dan aman.

Namun, “Kami di sini kurang aman. Kampung sudah lockdown. Tidak bisa keluar ke mana-mana, jadinya terkurung di dalam ruko,” kata istri sahabat dekat sekaligus tetanggaan rumah kos dulu.

“Di tempat kami lumayan aman untuk isolasi diri. Jauh dari tetangga dan keramaian. Lokasi rumah di tengah kebun juga lebih leluasa bergerak dan beraktivitas di kebun,” balas saya.

“Enak ya kalian. Kami di sini terkurung dalam toko, nggak keluar-keluar. Di sini di mana-mana sepi. Pasar-pasar pada tutup semuanya.”

Saya jadi iba dan membayangkan, menjalani kehidupan yang tiba-tiba berubah total dan terkurung dalam sebuah ruko, dengan cuaca yang panas khas kota Banda Aceh, sungguh merepotkan.

Di akhir pembicaraan, saya hanya balas.

“Nanti kami kirim sayuran ala kadar hasil kebun tumpang sari kebun kopi“.

“Ya Allaah ..makasih, ya, baik kali.”

Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )

Facebook Komentar

One thought on “Rawon-rawon Corona: Dari Rembele, Depok Hingga Mandasyeh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *