Bertahan Hidup di Taiz, Kota yang Disesaki Sniper dan Ranjau Darat

Teror sniper makin buruk kala malam datang. Jika ada cahaya di malam hari, sniper langsung menembaknya, meskipun itu api puntung rokok.

Sniper beraksi di Taiz, 2016. (©AFP/arabnews)

BNOW ~ Taiz menjadi wilayah terburuk dalam perang saudara di Yaman: kota yang disesaki sniper dan ranjau darat.

Sejak 2015 ketika pertempuran meletus, penduduk Taiz mulai hidup dalam teror. Mereka terhimpit di tengah konflik antara pemberontak syiah Houthi dengan pasukan pendukung pemerintah.

Penduduk Taiz pun terbiasa menyaksikan pertempuran dalam jarak dekat. Peluru-peluru berdesing di balik jendela dan selongsongnya berjatuhan di halaman rumah adalah pemandangan sehari-hari bagi mereka.

Sniper menembaki apa saja yang dicurigainya di kota itu. Termasuk puntung rokok yang menyala. Ranjau darat memenuhi sebuah bukit tempat penggembalaan domba. Alat peledak ini tak hanya senjata efektif untuk musuh tapi juga banyak memakan korban sipil.

Kini, kota itu hancur lebur. Koresponden Middle East Eye di Taiz menggambarkan hampir setiap bangunan kota di Yaman selatan itu kini rusak.

Anjing menggonggong kepada siapa pun yang melintas di jalanan kosong. Di kejauhan, suara anak-anak yang bermain di gang-gang terganggu oleh tembakan yang sesekali menyalak. Entah dari senapan pihak yang mana.

Karpet digantung di antara bangunan. Bukan untuk dikeringkan, tapi sebagai pelindung bagi orang yang lewat dari sasaran penembak jitu.

Sebagian besar warga Yaman yang rumahnya terletak di tengah-tengah wilayah antara dua kubu, memilih pergi. Namun, tak sedikit yang bertahan atau hidup dalam pengungsian karena tidak punya tempat tinggal alternatif.

Terjebak dalam Pertempuran

Seperti halnya di Taiz, sebagian penduduk yang telah lama menderita karena perang, menolak pergi walaupun teror terus saja mengikuti. Sekarang, mereka memiliki kenangan masing-masing tentang kebrutalan perang.

Adel al-Hammadi, 40 tahun, bercerita bagaimana ia terjebak di rumahnya selama 11 hari akibat pertempuran sengit di sekitar Bazara’a Taiz.

Suatu hari, bentrokan terjadi di lingkungan itu. Kelompok Houthi berada di depan rumah Hammadi, sedangkan pasukan pro-pemerintah di belakangnya.

“Kami terkepung selama 11 hari, tidak dapat meninggalkan rumah sama sekali. Jika kami meninggalkan rumah, kami akan mengutuk diri kami sendiri sampai mati.”

Saat stok makanan habis, dia dan keluarganya terpaksa mengolah tepung terigu yang biasa diberikan untuk kambing.

“Hanya itu makanan kami selama 11 hari. Kami tidak punya air, tapi kami beruntung karena musim hujan bisa mengumpulkan air hujan di jerigen, yang membantu kami bertahan hidup.”

Selain tidak bisa tidur, anak-anak Hammadi sangat ketakutan. Setelah 11 hari, bentrokan mereda. Seorang temannya datang ke rumah dan berteriak memanggil. “Ketika melihat kami masih hidup, dia tidak bisa mempercayainya, karena semua orang mengira kami telah dibunuh.”

Kehilangan Putra

Berbeda dengan Saleh al-Hajj. Ayah empat anak ini kehilangan seorang putranya.

Saleh membuka toko di lantai dasar rumahnya kawasan al-Saeila. Pada 8 Agustus 2016, putra sulungnya, Abdullah, 13 tahun, sedang berada di toko ketika sebuah tembakan mengenai perut dan membuat ususnya terburai.

Saleh sempat membawa anaknya ke rumah sakit. “Dalam perjalanan ke rumah sakit, dia mencoba menenangkan saya dan bilang ‘jangan khawatir, saya baik-baik saja’.”

Namun, Abdullah tidak baik-baik saja. Dia meninggal di ruang operasi.

Sejak hari itu, Saleh takut dan frustrasi. “Tidak mudah kehilangan putra Anda dan melihatnya sekarat di depan mata. Saya masih tinggal serumah dengan istri dan ketiga anak saya. Kami tidak memiliki tempat berlindung di daerah yang lebih aman.”

Pertempuran itu menghancurkan toko dan membuat Saleh menganggur. “Tidak ada yang tersisa di toko kecuali kenangan buruk. Saya kehilangan putra dan satu-satunya sumber pendapatan. Saya kehilangan kebahagiaan dan kehidupan yang damai.”

Korban Ranjau di Ladang Gembala

Di sebuah desa, ranjau darat merenggut kebahagiaan Ahmed Mukhtar, 14 tahun. Penggembala domba ini kehilangan salah satu kakinya. Saat itu, dia menggembalakan domba di perbukitan sebuah desa yang sebelumnya menjadi garis depan pertempuran.

Penduduk tahu di bukit tersebut banyak ranjau. Namun, mereka tak bisa melarang anak-anak menggembalakan domba karena ternak itu sumber pendapatan utama bagi banyak keluarga.

Suatu hari, ketika Ahmed sedang menggiring domba-dombanya bersama seorang teman, dia menginjak ranjau.

Dokter mengamputasi kaki Ahmed dari atas lutut untuk menjaga seluruh tubuhnya tetap aman. Namun, masih ada pecahan ranjau di tubuhnya.

Ahmed Mukhtar. (@middleeasteye.net)
Ahmed Mukhtar. (@middleeasteye.net)

“Itu momen yang sulit, kami tidak yakin apakah Ahmed akan bertahan atau tidak,” ungkap Mohammed Mukhtar, saudara Ahmed.

Ahmed tetap telentang di rumah selama lima bulan. Secara bertahap dia mulai berjalan dengan bantuan kruk.

Setelah insiden itu, regu pembersih alat peledak datang dan membersihkan banyak ranjau darat.

“Mereka menemukan ranjau darat di dalam rumah, di gunung, di jalan, dan di daerah pemukiman. Ranjau darat meninggalkan cacat permanen, seperti yang terjadi pada Ahmed, dan meninggalkan banyak korban di Taiz. Ranjau darat masih menjadi masalah dan ancaman.”

Sulit Menghindari Sniper

Sebelum perang, Al-Tayeb Ameen Ghalib biasa bepergian ke Arab Saudi, negara yang berada di sebelah utara garis sempadan Yaman. Namun, sejak awal perang dia terpaksa tinggal di Taiz bersama keluarganya.

“Seperti banyak lingkungan lain di kota Taiz, pertempuran dan bentrokan terjadi di sekitar rumah. Pertarungan itu menakutkan. Kami merasa akan menemui nasib setiap saat.”

Tidak ada yang berani meninggalkan rumah, apalagi setelah matahari terbenam. Untuk menghindari pertempuran, Ghalib dan keluarganya berlindung di ruang bawah tanah.

“Tapi sangat sulit menghindari penembak jitu. Mereka selalu menembak di sekitar lingkungan dan banyak orang telah dibunuhnya. Kami mencoba banyak cara untuk melindungi diri dari tembakan, tetapi itu sulit.”

Ketika masuk atau keluar rumah, Ghalib terpaksa merapat dekat tembok yang tidak bisa dikeker oleh sniper.

“Kami menggunakan panel kayu gantung, karpet, selimut, seprai plastik atau kasur, sehingga penembak jitu tidak dapat melihat kami. Tapi mereka menembak selimut dan merobeknya, jadi kami harus menggantinya.”

Teror sniper makin buruk kala malam datang. “Jika ada cahaya di malam hari, sniper langsung menembaknya, meskipun itu [api puntung] rokok, jadi kami tidak menyalakan apa pun dan menutup semua jendela.”

Malam Ramadan tahun lalu, kata Ghalib, sniper menembak seorang pengendara sepeda motor yang melintas di depannya. Pengendara itu jatuh dari motornya dan meninggal seketika.

“Kami menyaksikan hari-hari buruk dan keluarga kami ketakutan. Mereka tidak ingin tinggal di daerah seperti ini, tetapi tidak ada yang bisa kami lakukan. Kami harus berjuang untuk beradaptasi dengan kehidupan di sini. Saya berharap tahun-tahun mendatang tidak akan seperti tahun-tahun terakhir.”

Kota yang Sangat Berbahaya

Dalam sebuah laporannya pada Mei 2019, BBC menyebut kota terbesar ketiga di Yaman itu sangat berbahaya untuk dikunjungi jurnalis.

Konflik di Yaman, salah satu negara termiskin di dunia Arab itu juga sangat rumit. Banyak pihak terlibat dan masing-masing memiliki lawan serta kawan. Tidak hanya Houthi, Al Qaeda dan ISIS juga ikut serta. Ditambah lagi kelompok separatis yang memberontak di Yaman selatan.

Setiap pihak yang bertikai memiliki sponsor dan sekutunya sendiri. Iran mendukung Houthi. Sedangkan Amerika Serikat, Arab Saudi dan koalisi negara-negara Teluk Arab menyokong pemerintah Yaman. Sementara kelompok separatisme Al-Hirak di selatan Yaman disinyalir didukung Rusia.

Perang Yaman telah menewaskan lebih dari 100 ribu orang dan mendorong jutaan orang ke ambang kelaparan. Sekarang 80 persen dari populasi di negara itu, atau sekitar 24 juta penduduk, membutuhkan bantuan. Mereka rentan terhadap kolera, dan sekarang covid-19.[]

Diperbarui pada ( 15 Maret 2024 )

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *