Megaproyek Jembatan Darat Thailand Berpotensi Mematikan Selat Malaka?

Landbridge akan menghubungkan dua pelabuhan laut Thailand, Ranong di sisi Samudera Hindia dekat Laut Andaman, dan Chumphon di Teluk Thailand dekat Samudera Pasifik.

Ilustrasi Proyek Landbridge. @Nikkei Asia

Pemerintah Thailand sedang menyiapkan megaproyek jembatan darat senilai 1 triliun baht (sekitar Rp430 triliun). Proyek bertajuk Landbridge ini diklaim bakal menjadi alternatif dari Selat Malaka, yang kini masih menjadi salah satu jalur laut tersibuk di dunia.

Sesuai namanya, Landbridge akan menghubungkan dua pelabuhan laut Thailand, Ranong di sisi Samudera Hindia dekat Laut Andaman, dan Chumphon di Teluk Thailand dekat Samudera Pasifik. Setiap pelabuhan akan memiliki kapasitas pengiriman 20 juta kontainer pengiriman per tahun.

Untuk menghubungkan kedua pelabuhan tersebut, akan dibangun jalan tol sepanjang 100 kilometer dan jaringan kereta api pengangkut barang. Selain itu, akan dibangun juga jaringan pipa minyak dan gas.

Pemerintah Thailand yakin Landbridge akan mempersingkat waktu pelayaran setidaknya dua hari, ketimbang melalui Selat Malaka. Di jalur proyek tersebut juga telah tergali Terusan Kra, kanal yang membentang dari dari provinsi Songkhla ke provinsi Satun, mirip Terusan Suez dan Terusan Panama.

Perdana Menteri Thailand Srettha Thavisin dalam tulisannya di Nikkei Asia blak-blakan menyebut megaproyek itu selaras dengan diplomasi ekonomi proaktif pemerintahannya. Landbridge, sebut Thavisin, berpeluang meningkatkan konektivitas antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia yang belum pernah terjadi sebelumnya. “Landbridge akan memfasilitasi peningkatan pergerakan barang dan orang antara Timur dan Barat, serta menawarkan jalur perdagangan laut yang layak selain Selat Malaka,” tulisnya.

Rencananya, tambah Thavisin, tahap pertama konstruksi akan dimulai pada September 2025 dan berlangsung hingga Oktober 2030. Landbridge diproyeksikan memberikan manfaat sebesar 1,3 triliun baht bagi perekonomian Thailand dan meningkatkan tingkat pertumbuhan produk domestik bruto tahunan negara tersebut sebesar 1,5 persen melalui peningkatan peluang ekspor dan penciptaan 280.000 lapangan kerja.

Proyek ini, tulis Thavisin, juga akan membawa peluang pembangunan baru bagi provinsi lain di Thailand Selatan. Thavisin yakin proyek itu akan memperkuat rantai pasokan di kawasan sekaligus memanfaatkan potensi ASEAN sebagai pusat logistik.

Selain mengurangi biaya logistik rata-rata 15 persen dibandingkan dengan melewati Selat Malaka yang padat, Landbridge juga menawarkan peluang bagi bisnis terkait, seperti pergudangan internasional. Misalnya, perusahaan Jepang yang ingin mengirim produk ke Eropa dapat menyimpan barangnya di gudang internasional di pelabuhan Ranong, dan gudang serupa di Chumphon barang yang dikirim ke Asean dan Asia.

Dilansir dari Bangkok Post, para ekonom memperkirakan China akan mendapat manfaat paling besar dari proyek ini. Sebagian besar lalu lintas barang dari Tiongkok ke Eropa melewati jalur laut Selat Malaka yang sempit antara Malaysia, Indonesia, dan Singapura.

Nasib Selat Malaka

Saat ini Selat Malaka menjadi penghubung kawasan Asia-Pasifik dengan India dan Timur Tengah. Sekitar seperempat dari barang-barang yang diperdagangkan di dunia melewati selat ini.

Para analis memperkirakan sebagian besar pendanaan Landbridge akan datang dari Tiongkok–investor terbesar dalam proyek-proyek infrastruktur di Asia Tenggara. Sementara dari Eropa, Jerman menyatakan diri tertarik berinvestasi dalam proyek tersebut. Sejak 2020, 227 perusahaan Jerman berinvestasi sekitar 4,2 miliar Euro di Thailand. Menurut perkiraan Deutsche Bundesbank, ini menjadi investasi terbesar Jerman di Asia Tenggara, selain Singapura dan Malaysia.

Sementara The Diplomat menyebutkan jika Thailand terlalu bergantung pada investasi China, akan menyebabkan masalah geopolitik di kemudian hari. Reputasi Tiongkok sebagai mitra pembangunan ekonomi di Asia Selatan dan Tenggara saat ini sangat beragam.

Pelabuhan Hambantota di Sri Lanka contohnya. Ketika Kolombo berjuang memenuhi kewajiban utang internasionalnya, saham pengendali di pelabuhan tersebut justru disewakan senilai USD 1,12 miliar kepada perusahaan milik China selama 99 tahun. Contoh lain, Pelabuhan Gwadar yang didanai China di Pakistan. Beberapa negara Barat kini khawatir pelabuhan itu akan digunakan sebagai fasilitas militer.

Selat Malaka membentang sepanjang 805 kilometer dengan lebar 65 kilometer di sisi Selatan dan melebar di sisi Utara sekitar 250 kilometer. Saban tahun, sekitar 100 ribu kapal melewati jalur terpendek antar lautan yang kedalamannya rata-rata hanya 23 meter tersebut.

Jika proyek Landbridge sukses, kemungkinan selat berbentuk corong itu bakal sepi dari pengangkutan internasional. Terlebih lagi, pada 2030, lalu lintas pelayaran diperkirakan akan melebihi kapasitas selat ini. Bagi Indonesia, sepinya Selat Malaka juga berpengaruh pada keberadaan pelabuhan-pelabuhan penting di sepanjang selat yang memainkan peran penting dalam perekonomian daerah sekitar. Dalam jangka panjang, kondisi ini akan melahirkan kesenjangan ekonomi regional di Indonesia.

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *