Manuskrip Kuno Aceh, Pelita yang Tak Pernah Padam

Ratusan manuskrip kuno Aceh yang dikumpulkan Cek Midi untuk direstorasi ada yang berupa mushaf Quran, tafsir, ilmu fiqih, tasawuf, hingga teknik-teknik pengobatan masa lampau.

Manuskrip kuno Aceh di rumah Cek Midi. (©Breedie.com/Syukran Jazila)

~ Manuskrip kuno Aceh demi menjaga literasi keilmuan Nusantara

BNOW ~ Lembaran-lembaran naskah bertuliskan huruf Arab berjejer di atas meja, bangku, dan lantai. Beberapa bundel naskah yang sobek ujungnya bertumpuk di atas meja dan di dalam keranjang plastik. Di dekat naskah itu, beberapa orang tengah sibuk bekerja.

Naskah-naskah kuno itu milik Tarmizi A Hamid, sejarawan Aceh yang akrab disapa Cek Midi. Senin pekan lalu, 22 Maret 2021, rumah Cek Midi kedatangan tim dari Pusat Preservasi Naskah Kuno dan Alih Media Perpustakaan Nasional. Mereka bermaksud memperbaiki naskah-naskah yang selama ini disimpan Cek Midi di Rumoh Manuskrip Aceh, yang terletak di kediamannya kawasan Ie Masen Kayee Adang, Banda Aceh.

Total, ada 150 manuskrip yang dikonservasikan oleh tim selama selama empat hari. Leni Sudiarti, seorang anggota tim menjelaskan, Perpusnas berkewajiban melestarikan setiap manuskrip yang ada di Indonesia, khususnya manuskrip asli.

Indonesia menyimpan banyak manuskrip asli, terutama di Aceh. Leni dan timnya telah memetakan setiap manuskrip yang bakal diperbaiki. Salah satu yang sudah didata dalam peta naskah Nusantara adalah Rumoh Manuskrip Aceh. “Maka tahun ini kami diamanahkan untuk melakukan konservasi di Rumoh Manuskrip Aceh,” ujar Leni.

Proses pelestarian manuskrip meliputi perbaikan fisik naskah dengan membersihkan seluruh lembaran lalu disemprot bahan antijamur dan noda. Setelah dikeringkan, naskah yang rusak parah ditambal sambung.

“Kemudian dilanjutkan ke proses penjilidan dan dimasukkan ke cover box sesuai ukuran naskah. Setiap cover box diberi sampul dengan menggunakan berbagai bahan khusus yang semuanya didatangkan dari luar negeri.”

Berdasarkan kerusakan yang ditemukan, Leni mengungkapkan, naskah kuno koleksi Cek Midi ada yang berlubang-lubang atau robek karena usang ditelan usia ratusan tahun. Ada juga yang rusak oleh jamur. “Dari kerusakan yang kita lihat, kita putuskan untuk dilakukan perbaikan fisik. Ada yang ditambal, dijilid kembali sampai dibuatkan kotak penyimpanan.”

Baca Juga: Arkeolog Aceh: Nisan Kuno Baitussalam Terbuat dari Batuan Andesit

Cek Midi mendukung penuh upaya pelestarian manuskrip. Menurutnya ini sangat penting dilakukan agar guratan pena ulama lintas zaman tetap utuh sepanjang masa. Ulama lintas zaman yang dimaksudnya adalah para intelektual dan leluhur orang Aceh yang sudah dipanggil Allah 400 tahun silam, tetapi masterpiece mereka tetap melambung seantero Nusantara bahkan dunia.

Nama dan karya hasil goretan intelektual Islam Aceh hingga kini selalu menjadi referensi pengetahuan. Karya-karya itu digoreskan di atas kertas-kertas yang khusus dipesan dari tanah Eropa pada era puncak kegemilangan Kesultanan Aceh Darussalam. “Begitulah alasannya hingga saya memberi motto manuskrip Aceh ini sebagai pelita yang tidak pernah padam,” ungkap Cek Midi.

Sebab itulah, jiwa Cek Midi terpanggil untuk menyelamatkan warisan khazanah yang sangat mulia tersebut. Hal ini juga bentuk tanggung jawabnya sebagai putra Aceh demi memberikan bukti otentik kepada siapapun bahwa negeri di bawah angin ini merupakan daerah dengan peradaban sangat tinggi.

Secara keilmuan, apa yang dilakukannya bertolak belakang karena Cek Midi lulusan Agribisnis. Namun, kata dia, tidak dapat dipungkiri jika pelestarian sumber sejarah dan peradaban menjadi tanggung jawab semua pihak, apapun latar belakang dan profesinya.

Manuskrip kuno Aceh di rumah Cek Midi. (©Breedie.com/Syukran Jazila)
Manuskrip kuno Aceh di rumah Cek Midi. (©Breedie.com/Syukran Jazila)

Salah satu alasan hingga terbesit hatinya untuk menyelamatkan naskah kuno Aceh, kata Cek Midi, ketika ia menemukan banyak manuskrip tersebut tersimpan di museum-museum dan perpustakaan terkenal di luar negeri. “Saya banyak menemukan naskah kuno itu berasal dari Aceh dan banyak ditulis dari ulama-ulama kita terdahulu.”

Buah pena para indatu Aceh disimpan dengan pengamanan sangat ketat. “Begitu cara orang asing menghargai sebuah karya yang sudah menjadi artefak sejarah walau bukan [ditulis oleh] buyut atau indatunya.”

Cek Midi mulai mengumpulkan manuskrip Aceh sejak 1995. Ketika tsunami Aceh 2004, beberapa manuskrip koleksinya hanyut karena bencana tersebut.

Baca Juga: Batu Nisan dari Rumah Peradaban Baitussalam

Namun, Cek Midi tak surut niat. Dia tetap mengumpulkan dan merawat kembali naskah-naskah kuno Aceh yang ditemukannya hingga saat ini. Salah satu manuskrip kumpulannya pernah dipajang di pameran dunia Melayu Islam termasuk Brunei Darussalam.

Kebanyakan manuskrip ia dapatkan dari kawasan Aceh Besar, tuan rumah Kerajaan Aceh Darussalam. Orang-orang dulu kerap menyimpan manuskrip di rumah-rumah dan membiarkannya terbengkalai. Oleh Cek Midi naskah itu dibawa untuk disimpan di tempatnya.

Ada juga manuskrip yang dibawa pulang dari luar negeri, dan pemberian dari orang Aceh yang tinggal di luar. “Maka kita kumpulkan dan bersihkan kembali manuskrip ini agar menjadi ilmu pengetahuan bagi cucu kita nantinya.”

Ratusan manuskrip kuno Aceh yang dikumpulkan Cek Midi untuk direstorasi ada yang berupa mushaf Quran, tafsir, ilmu fiqih, tasawuf, astronomi, ibadah, doa-doa, syair, nazam dan teknik-teknik pengobatan masa lampau. “Sampai sekarang manuskrip yang kita kumpulkan masih seperti tahun-tahun yang lalu, berkisar ratusan, tidak ada tambahan koleksi lagi.”

Filolog Aceh Syukri Rizki menilai upaya pelestarian manuskrip kuno di Indonesia masih kurang. Baik dalam hal penjagaan fisik maupun pengkajian. Banyak manuskrip terbengkalai karena hanya dikumpulkan saja lantaran alasan untuk menghargainya sebagai benda pusaka warisan. “Tanpa ingin mengetahui [isi] kontennya. Sehingga yang terjadi, [manuskrip] tidak disimpan di tempat layak. [Ada yang] terkena air hujan, embun, kelembaban, yang menyebabkan kualitas kertas rusak dan tinta tulisannya pudar atau tidak tepat untuk dibaca lagi,” ujar lulusan Goethe University Frankfurt, Jerman itu.

Syukri membandingkan dengan luar negeri. Di sana, kampus-kampus dan pusat penelitian menyiapkan segalanya. Mulai dari fasilitas fisik, penjagaan manuskrip, anggaran dana untuk mengoleksi, hingga para pengkaji manuskrip.

Proses pelestarian atau konservasi manuskrip dimulai dari pengoleksian yakni dengan membeli, hibah, atau membayar penyalin. Setelah itu manuskrip disimpan di tempat terjaga. Baik terjaga kualitas suhu dan kelembaban, maupun tempat penyimpanan yang bebas rayap serta serangga.

Baca Juga: Setelah 16 Tahun Gempa dan Tsunami Aceh

Terkait metode pengkajiannya, kata Syukri, terlebih dahulu diinventarisasi secara detail. Kemudian katalogisasi seperti deskripsi singkat mengenai fisik dan konten yang dikandung manuskrip. Selanjutnya, katalog inilah yang menjadi rujukan utama bagi orang yang ingin mencari manuskrip tertentu berdasarkan kode.

“Para perawat manuskrip di Eropa memiliki fasilitas sangat canggih dan lengkap dari sisi penjagaan maupun SDM yang mumpuni di bidangnya. Mereka banyak memiliki profesor, para ahli, kemudian memberikan beasiswa kepada dunia Asia Tenggara misalnya, untuk melakukan penelitian mengakses manuskrip-manuskrip yang belum disunting, dibaca, atau dalam hitungan masih baru.”

Proses pelestarian manuskrip kuno Aceh. (©Breedie.com/Syukran Jazila)
Proses pelestarian manuskrip kuno Aceh. (©Breedie.com/Syukran Jazila)

Selama pelestarian manuskrip kuno Aceh berlangsung, hadir beberapa instansi dan kalangan pemerintahan yang juga ikut melihat langsung proses tersebut. Pada akhir sesi kegiatan, Cek Midi menyampaikan terima kasih dan apresiasi kepada tim yang telah bekerja keras untuk merawat dan melestarikan manuskrip miliknya, sekaligus menjaga literasi untuk pemanfaatan keilmuan Nusantara itu khususnya Aceh.[]

Diperbarui pada ( 13 Maret 2024 )

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *