HINGGA bagian chorus “I wanna lay you down in a bed of roses” ini dilantunkan, saya terkesiap, perlahan larut secara emosional ke dalamnya. Bukan karena arti lirik itu, tapi bagan keseluruhan lagu berjudul Bed Of Roses milik Bon Jovi ini sendiri demikian apiknya.
Saya mulai jarang menikmati komposisi musik yang ‘baku’, seperti intro hingga mengantar chorus, lalu disisipi jeda instrumental yang membuat klimaks sebuah lagu. Apa karena dibesarkan di zaman rock alternatif yang sedang jaya, mungkin?
Tersebab pada paruh akhir tahun 1990, kanal MTV memunculkan Alex Band, pria berperawakan bak personil boyband –yang memang tengah meletup-letup kala itu. The Calling tak akan menyirat bekas tanpanya (semoga tenang di sana). Laku Alex bak mencibir, ia simbol kuat untuk band itu. Suara beratnya menggugah meski hanya bertahan di dua album belaka, Camino Palmero (2001) dan Two tepat tiga tahun setelahnya.
The Calling telah tuntas. Masa-masa pendahulunya seperti Third Eye Blind tak tergantikan sempurna. Tapi rock gaya Amerika tetap menyala, koleksi album Lifehouse hingga tahun 2015 kemarin masih ramai dalam daftar lagu rock alternatif favorit. Alasannya sama, kekhasan bunyi overdrive pada gitar –yang beberapa orang melabelkannya secara awam dengan sebutan ‘Bunyi Amerika Banget’ saking sulitnya dijabarkan, dan yang paling penting, karakter vokalis dari band tersebut. Jason Wade yang membanggakan.
Lama termenung liar, saya sadar cangkir kopi tak lagi hangat. Tapi tetap nikmat, karena lagu-lagu yang dilantunkan di pojok sana ikut meruap ke cangkir tiap kali saya meneguknya.
“Jaman berubah, Wak,” kata Iqbal, menyudahi lamunan saya pada musisi-musisi lawas tadi. Saya ingat kalimat ini saat kami kembali bersua setelah beberapa tahun berjarak. Benar saja, usia kita beranjak kian jauh.
Dalam beberapa kali saya menyambangi sejumlah kedai kopi di Banda Aceh, tak banyak yang membuat betah. Ternyata, musik yang benar-benar menghibur itu hadir dari teman lama.
Selain memanjakan pengunjung dengan lirik musisi ‘jaman baru’, Iqbal masih menyanyikan lagu-lagu milik The Corrs, Sting, bahkan Goo Goo Dolls saat ia mengisi jadwal rutinnya di Gravity Coffee, sebuah kedai kopi di kawasan Doi Ulee Kareng. Tak tanggung-tanggung, sesekali ia nekad mengusik lewat lagu Fly Me to the Moon dari Frank Sinatra. Sial, saya terperangah.
Jujur, itu tembang yang terlewat dalam hidup saya. Maklum, Bart Howard menggubahnya tahun 1954 dan kelak Frank menyanyikannya satu dasawarsa kemudian. Sayangnya, saya tercampak di masa generasi penyuka musik yang hanya ketiban remah-remahnya saja.
Mengemas musik dengan formasi akustik tiap Rabu malam, Iqbal bersama Acut dan Uya terbilang berselera bagus. Bisa jadi anak-anak ini berangkat dari minat dan referensi musik lewat radio yang diputar orang tua mereka, dulu. Dan tak hanya mereka, sejumlah kafe di Banda Aceh mulai menjajaki hal yang sama, menampilkan musik secara live di malam hari.
Setidaknya kultur ini baru berkembang dalam tiga tahun terakhir, karena dulunya tak banyak kedai kopi yang berkenan membagi ruang untuk pemusik. Padahal, antusiasnya cukup besar. Belakangan baru tersalurkan.
Ini mengalir begitu saja, kata seorang kawan yang pelanggan festival. Entah apa yang terjadi sampai kompetisi-kompetisi musik tergerus di kota tua ini. Pengurusan izin yang ruwet dan normalitas orang-orang, sedikit banyak menengarainya.
Dalam keadaan stagnan karena dibekap birokrasi yang berbelit, terbukti aspirasi sulit dibendung. Musik lalu muncul dari jemari gitar para pengamen, menjajakan karya tanpa canggung, dan apresiasinya cukup baik. Beberapa pengamen datang menyapa dari meja ke meja kedai kopi di Banda Aceh. Ada yang sendirian, seadanya, tapi ada juga muncul dengan format lengkap, pemain gitar, biola, jimbe terangkai satu dan menyajikan hiburan yang wajib ditutup dengan tepuk tangan meriah. Semua berlangsung singkat, lalu si pengamen pergi menyambangi tempat lainnya.
Saya berpikir, “Banda Aceh sudah seperti daerah lain di luar sana.” Dulunya pengamen hanya kita lihat di kota-kota besar lewat film dan sinetron di tivi. Keberadaannya identik dengan kondisi sosial yang pelik, sumpek, riuh.
Tapi ternyata anggapan saya tak sepenuhnya benar. Di sela kemunculan pengamen, kafe di Banda Aceh meracik sesuatu lebih jauh, yakni memberi pemusik ruang yang lebih leluasa dengan perform secara reguler tiap pekan. Di sini musik jadi lebih elegan. Penataannya lebih tenang, pengunjung kafe bisa dihibur semalaman dan berinteraksi dengan pemusik tanpa jarak.
Apa yang saya rasakan, antara musik dan cangkir kopi makin selaras. Hadir di pos kamling, api unggun perkemahan, tepi-tepi jalanan, gubuk para buruh, sampai romantika yang membuai di pojok kafetaria.
Iqbal cs kembali bersenandung lewat gitarnya. Kali ini seorang pengunjung memintanya memainkan ‘Careless Whisper’. Hah, aura George Michael mulai diresap. Dari meja, saya hanya ikut koor sebagaimana cara pengunjung lain menikmatinya. Cangkir kopi mulai tandas, tapi rinai terus meruap hingga ujung malam.
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )