Surat Kaleng 1949, Pandora di Balik Heroisme Aceh

Sejak awal Fauzan mengingatkan, tak baik mengadili masa lalu dalam bingkai hari ini. Biarkan sejarah bicara apa adanya.

~ Apakah Tjoet Nja’ Dhien (1988) jadi yang terakhir? Tentu tidak, mari sejenak menyimak heroisme lainnya, pandora yang memantik tanya…

Bocah itu berjalan mundur, perlahan mengungkit lepas layangannya. Sedang kawannya yang cekatan mengepit tali, bersiap menarik layang itu terbang ke udara.

Namun tak lama, deru mesin pesawat di kejauhan mengusik perhatian keduanya.

Pesawat milik Belanda itu terbang rendah di langit Kutaraja. Sambil melesat, burung baja itu tetiba menjatuhkan surat kaleng ke lapangan rumput tempat anak-anak bermain.

Sontak mereka menoleh, lalu memungut benda itu dan menyerahkannya ke tetua gampong yang kebetulan lewat.

Surat itu berpindah tangan dan akhirnya sampai ke sosok yang dituju, yakni Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, Mayjen Teungku Daud Beureueh.

Prolog tadi segera disusul suara datar radio manual yang melatari pemandangan jalanan Kutaraja. Semuanya disajikan dengan filter hitam putih, tampilan elegan yang menggiring penonton larut ke dalam suasana di masa-masa awal kemerdekaan RI.

Kesan inilah yang muncul saat kita menonton film Surat Kaleng 1949.

Di kediamannya, Abu menyimak isi surat kaleng itu. Penulisnya Tengku Mansur, sosok yang ditabalkan sebagai Wali Negara Sumatera Timur atas prakarsa Letnan Gubernur Jenderal Van Mook.

Dalam pesannya, Tengku Mansur meminta Daud Beureueh hadir pada Muktamar Sumatera di Medan. Abu Beureueh lalu termangu. Batinnya mulai resah. Ia ragu pada seruan bernada diplomatis itu, lantaran curiga pada niat licik Belanda di belakang Mansur.

Di sisi lain, Abu menyadari RI berada dalam situasi genting. Dengan sisa ambisi berikut kekuatan militernya, Belanda berupaya keras menguasai kembali Indonesia, tanah jajahan yang telah memproklamirkan kemerdekaan tiga tahun yang lalu.

Tak tanggung-tanggung, selain menangkap presiden Soekarno, Belanda berhasil memilah satu per satu daerah menjadi negara federasi, salah satu cara menghancurkan kesatuan RI.

Sementara, Aceh jadi satu-satunya wilayah yang belum mampu ditaklukkan Belanda.

Di sinilah semua mengacu. Perdebatan yang harus segera berujung dengan mufakat, apakah Aceh tetap berada dalam bingkai RI, atau lebih baik melepas diri.

Fiksi Pertama

Secara keseluruhan, dari pergolakan batin Daud Beureueh hingga alotnya debat para petinggi Aceh kala itu, mampu dikemas sutradara Fauzan Santa dalam Surat Kaleng 1949.

Film berdurasi 17 menit ini mereka ulang cuplikan sejarah Aceh di bawah kepemimpinan Abu Beureueh saat Agresi Militer Belanda II.

Dipicu kondisi darurat, Abu pun mengambil keputusan yang amat krusial, yakni menetap di barisan pemerintahan RI dan mendepak Belanda.

Sutradara film Surat Kaleng 1949, Fauzan Santa (tengah) bersama produser Faisal Ilyas (kanan) saat menjelaskan proses pengerjaan film tersebut, pertengahan Februari 2019 di Aula BPNB Aceh. Foto (Breedie/Fuadi Mardhatillah)

Produser film, Faisal Ilyas meyakini sejarah surat kaleng ini sudah awam di sebagian masyarakat Aceh. Ceritanya bisa didapat dari berbagai literatur.

Namun bagaimana cara menuangkan cerita itu dalam bentuk film, tentu bagian berbeda. Ada sisi personal yang dapat ditonjolkan ‘lebih nyata’, dalam hal ini potret Daud Beureueh selaku ulama kharismatik sekaligus pemimpin politik di Aceh.

Bagi pemuda di generasinya, kata Faisal, riwayat Abu Beureueh telah bercampur rupa dengan persepsi masa kini.

“Tentu ada kesan tersendiri bagi kami yang lahir di rentang tahun 80-90-an ini, untuk menilai seperti apa sosok beliau,” kata Faisal, sesaat usai penayangan perdana Surat Kaleng 1949 di aula BPNB Aceh, pertengahan Februari 2019.

Pertimbangan lain, Faisal bersama rekan-rekannya di Aceh Documentary sejak lama memendam keinginan untuk membuat film fiksi. Selama enam tahun mereka terus bergelut di ranah dokumenter.

Lantas, munculnya ide memfilmkan penggalan kisah Abu Beureueh itu, bak gayung bersambut.

Berbekal dukungan dari Direktorat Sejarah Kemdikbud RI, mulailah timnya melakukan riset.

Mereka menelusuri dokumen-dokumen sejarah, menggali kesaksian dari kerabat Abu Beureueh dan tokoh-tokoh yang tersisa, sampai tiba di proses penggarapan film yang melibatkan 40 kru dan aktor.

Semua ini memakan waktu kurang lebih satu tahun.

“Memproduksi film fiksi untuk pertama kalinya tentu sangat mengesankan, ini tantangan bagi kami,” tandasnya.

Menguak Tabu

“Haruskah film tentang Aceh yang sebagus film Cut Nyak Dhien itu, muncul 100 tahun sekali?” ujar Fauzan Santa disertai tawa kecil penonton, malam itu.

Tak ada yang salah dengan sentilannya. Produksi film kolosal tentang Aceh nyaris sunyi setelah Tjoet Nja’ Dhien (1988).

Peran Christine Hakim yang sangat fenomenal di film tersebut, patut dikenang, karena berhasil mengukuhkan narasi perjuangan gigih bangsa Aceh dalam mempertahankan tanah airnya.

Merasakan semangat yang sama dengan film besutan Eros Djarot itu, Fauzan menuturkan, Surat Kaleng 1949 ingin memantik ingatan khalayak.

Ia sadar, memfilmkan sepenggal realita sejarah yang terjadi 70 tahun lalu itu bukan pekerjaan mudah. Banyak saksi mata yang telah meninggal.

Yang tersisa hanyalah riwayatnya dalam buku-buku sejarawan. Maka dari sanalah Fauzan menggali karakter Abu Beureueh.

Sepintas, kisah surat kaleng hanya dipandang bagian kecil di antara proses timbul tenggelamnya Indonesia saat agresi militer Belanda. Namun seiring waktu, bacaan-bacaan itu menyingkap dinamika lain yang tak mungkin dilewatkan.

“Tentang bagaimana surat itu tiba, bagaimana Gubernur Militer Aceh menerimanya, serta bagaimana surat itu berujung pada alotnya blok-blok pemikiran para founding father Aceh, termasuk kalangan ulama yang sangat memahami siasah (politik) di masa itu,” kata Fauzan.

Cuplikan adegan pembicaraan antara Abu Hasan Krueng Kalee dan Daud Beureueh di film Surat Kaleng 1949. Foto (Breedie/Fuadi Mardhatillah)

Meski sesekali menyisipkan dokumentasi video dari Arsip Nasional, seperti cuplikan penangkapan Soekarno oleh militer Belanda, namun itu hanya aspek pendukung semata. Peran para aktor mampu membendung itu semua.

Apalagi, percakapan rapat antara Abu Beureueh dan Abu Hasan Krueng Kalee yang juga menghadirkan sosok Hasan Tiro, bisa saja menimbulkan feedback  yang tak terduga di batin penonton.

Namun lebih dari itu, dari munculnya pro dan kontra terhadap keputusan Abu Beureueh ini, Fauzan sebenarnya ingin menunjukkan sisi intelektualitas orang-orang Aceh di masa lalu yang kurang disoroti masyarakat hari ini.

“Kita perlu lihat Aceh masa lalu itu sarat dengan diskusi-diskusi politik yang mendalam dan sangat ilmiah. Para pendahulu kita ini juga beberapa di antaranya merupakan alumni sekolah yang banyak mengakses pemikiran luar,” kata dia.

https://www.instagram.com/p/BtyNnmyHCij/?utm_source=ig_web_button_share_sheet

Proses berikutnya jadi lebih menantang bagi Fauzan dan segenap tim, ketika T Rifnu Wikana setuju memerankan sosok Daud Beureueh. Melibatkan Rifnu bisa disebut pertaruhan.

Aktor nasional peraih penghargaan sebagai pemeran utama pria terbaik di FFI 2017 ini, adalah lelaki keturunan Aceh yang menyandang gelar Teuku.

Terus terang Fauzan membeberkan, keputusan Wisnu untuk memerankan Abu Beureueh sempat ditentang orang terdekatnya.

Jejak kelam perseteruan antara bangsawan dan ulama Aceh dalam Perang Cumbok di masa silam, kian tertanam dan memicu sentimen tak berkesudahan, hingga kini.

Namun, pensyarah di UIN Ar-Raniry yang juga penulis buku Teungku Muhammad Dawud Beureu-eh dan Perjuangan Pemberontakan di Aceh (2007), Hasanuddin Yusuf Adan punya pandangan berbeda soal ini.

Menurutnya, film Surat Kaleng 1949 telah menjelma jadi arena rekonsiliasi bagi kedua kubu.

Akademisi UIN Ar-Raniry, Hasanuddin Yusuf Adan. Foto (Breedie/Fuadi Mardhatillah)

“Menarik bukan, seorang bergelar Teuku memerankan sosok Teungku,” kata Hasanuddin yang juga hadir saat pemutaran perdana film ini di Aula BPNB.

Yang membuatnya kecewa, justru durasi yang amat singkat. Sama seperti Fauzan, ia juga berharap akan ada kelanjutan dari film ini. Karena biopik berdurasi 17 menit belum mampu menguak lebih banyak sisi tentang perjalanan Abu Beureueh.

Singkat tapi menentukan, begitulah kita melihat film Surat Kaleng 1949. Seperti kotak pandora yang menyibak tabu dalam diskursus sejarah Aceh hari ini, tiap plot yang disajikan bakal memantik tanya.

Dan agaknya, pandora yang disuguhi Fauzan bikin dahaga para peminat biopik makin menjadi-jadi.

Karena sampai hari ini pun, perasaan sesal terhadap keputusan Abu di masa lalu, masih beriak di segelintir orang. Memilih untuk bergabung, dianggap telah meneguhkan segala perilaku Jakarta, termasuk atas tragedi yang dituai tahun-tahun berikutnya.

Namun di akhir, Fauzan menimpali, “tak baik mengadili sejarah dalam bingkai masa sekarang.”

Siapa sangka jika kita harus belajar banyak dari keluhuran masa lalu, dimana perbedaan pendapat tak perlu berujung pada saling memusuhi. Seperti yang tampak pada dialog penutup, antara Abu Beureueh dan Abu Krueng Kalee.

“Kita biarkan saja sejarah bicara pada masanya. Perdebatan tajam antara kedua tokoh besar Aceh ini tak serta merta memecah belah mereka,” tandas Fauzan Santa.

Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *