I’m Still Here — Chapter 21

Nada merasa lututnya melemas. Makam! Jadi selama ini Nada melihat dan mengobrol dengan seseorang yang sudah meninggal!

Novela Misteri I'm Still Here Breedie

Nada membuka mata. Rina membungkuk ke arahnya, tersenyum: “Semua sudah beres sekarang.”

“Jadi yang mencekik Laila dan Majnun itu dia, Kak??” mata Yasmin membesar, sendok penuh kuah siomay berhenti di depan mulutnya. “Kenapa??”

“Soalnya mereka ribut terus, dia tidak pernah bisa masuk paviliun kita tanpa ketahuan oleh Laila dan Majnun,” kata Nada. “Lagipula suara mereka kan nyaring sekali. Menurut Bu Pupung, Surya tidak tahan suara senyaring itu.”

“Ya Allah,” Dini mendesis.

“Kasihan sekali….” gumam Eri. “Tapi sekarang dia sudah dirawat lagi, kan, Nad?”

Keempat gadis itu tengah berkumpul di sebuah lapak penjual siomay di daerah Setiabudi. Selain siomay dan batagor, lapak juga menyediakan macam-macam jus.

Nada minum es jeruknya, mengangguk.

“Ya,” katanya. “Abang membantu Bu Pupung mengantarkan Surya ke klinik tempatnya pertama kali dirawat dulu. Seharusnya, kalau pengobatannya tidak mendadak dihentikan oleh Tante Hanum, kondisi Surya bisa stabil.”

“Jadi kenapa Tante Hanum menghentikan pengobatan Surya??” Dini membelalak.

“Ia takut efek samping obat-obatan kimia itu akan merusak otak anaknya.” Nada mengulangi semua yang dikatakan Tante Hanum malam itu. Kawan-kawannya mendengarkan, mata terbeliak dan mulut ternganga.

Hari itu adalah hari pertama keempat gadis itu berkumpul bersama-sama lagi. Sebelumnya, seminggu setelah peristiwa di studio Surya, Nada dan Eri pindah dari De Zonnen.

Melalui Hana, Eri menemukan sebuah pondokan yang cukup nyaman di daerah Jalan Tubagus Ismail, dekat dari kampus. Mereka beruntung, karena ada tiga penghuni lama pondokan itu yang baru saja lulus, meninggalkan kamar yang selama itu mereka gunakan. Nada langsung memutuskan membayar uang muka, lalu menghubungi Dini dan Yasmin, minta izin mengakut barang-barang keduanya ke pondokan baru itu. Kedua gadis itu kontan setuju. Apalagi Yasmin, yang masih selalu berkaca-kaca bila teringat Laila dan Majnun.

Kemarin malam Dini kembali dari Meulaboh dan Yasmin turun gunung. Mereka langsung pulang ke pondokan baru. Untuk merayakan berkumpul kembalinya mereka, keempatnya memutuskan makan siang di lapak siomay itu.

“Kalian ingat waktu aku disambit tanah?” kata Eri. “Rupanya waktu itu Surya sudah lama mengintip dari balik rak. Dia sebel padaku karena sejak aku tidur sekamar dengan Nada, dia susah sekali untuk masuk ke kamar buat ngeliatin Nada tidur. Kayak vampir romantis di film.” Eri ketawa.

“Hmmm…. Kayaknya dia juga sebel sama aku ya Kak,” kata Yasmin. Dia meringis. “Aku kan sering tidur terlambat. Mungkin dia jadi susah mau masuk ke paviliun karena aku mondar mandir ke dapur ngambil makanan. Makanya Kak Eri dan aku dapat hadiah kecoak tiap hari.”

“Mak oi….” gumam Dini. “Terus kolor Nada? Dia juga yang ambil??” Dini terpekik saat dilihatnya Nada mengangguk. “Kok dia bisa tahu itu punyamu, Nad??”

“Kan dia sempat membongkar-bongkar laci lemari Nada,” kata Eri. “Ya dia tahulah yang mana saja kolor si Nada. Dia juga yang hancurkan foto Bang Ronggur, ya Nad?”

Nada mengangguk. Dini mengerang.

“Aduh…. Cemburu dia sama Bang Ronggur rupanya ya?”

“Dia menganggap Bang Ronggur mau merebut Nada darinya,” kata Eri. “Kamu disebut apa sama dia, Nad?”

“Inggit,” kata Nada. “Inggit Garnasih.”

“Yaaa… Wahamnya membuat dia merasa bahwa dia adalah Sukarno muda. Aku nggak tahu, apa miripnya Nada dengan Bu Inggit,” Eri meringis. “Bu Inggit mungil, cantik, rambutnya panjang. Nada tinggi, jelek, rambutnya pixie. Kan jauh!”

Yasmin ketawa. Nada juga.

“Namanya orang waham lagi jatuh cinta, Er,” tukas Dini. Kemudian tampaknya gadis itu teringat sesuatu. “Lalu yang mengetuk-ngetuk pintu belakang? Surya juga? Yang nakutin kalian waktu angkat jemuran?”

“Iya,” kata Eri. Disenggolnya kaki Yasmin di bawah meja. “Ya kan, Yas. Kita pikir itu jin…. Habis, dia gundul, dan jangkung sekali.”

Yasmin ketawa ngakak.

“Iya! Terus dia pake mendadak muncul lagi, di balik handuk Kak Eri. Siapa yang nggak takut coba!”

Kempatnya tertawa.

“Betul-betul pengalaman tak terlupakan,” kata Yasmin. “Dan seru!”

“Iya banget,” Dini setuju. “Kalau nggak mengalami sendiri, aku nggak akan percaya ….”

Sementara menghabiskan porsi siomaynya, Nada terdiam. Benaknya berpusing riuh. Ada beberapa hal yang tak diceritakannya pada teman-temannya. Bahkan pada Eri sekali pun.

Mereka tidak pernah tahu tentang suara bisikan itu. Juga sosok anak kecil berbuntut kuda. Tak ada penjelasan yang masuk akal, tentang apa yang menyebabkan lemari-lemari dapur terbuka sendiri, panci yang terbang dari pakunya dan bola karet merah yang berhenti di kaki Dini. Peristiwa itu terjadi tepat di depan mata mereka. Jelas, tak mungkin Surya yang melakukan.

Baca Juga: I’m Still Here — Chapter 20

Dan masih ada lagi.

Pagi itu Surya sudah dirawat, Tante Hanum tinggal di klinik bersamanya. Bu Pupung kembali ke De Zonnen untuk mengambil pakaian-pakaian Surya. Ronggur sudah berangkat ke kampus. Nada menemui Bu Pupung di halaman depan, saat perempuan sepuh itu sedang menunggu taksi untuk berangkat kembali ke klinik. Mereka mengobrol sambil duduk di bangku dekat kelompok bunga matahari, di depan teras.

Bu Pupung bercerita bahwa sepeninggal Pak Ardiwisesa, ayah Surya, ada seorang paranormal mengatakan bahwa Surya bisa disembuhkan dengan cara dinikahkan. Tante Hanum lantas sibuk mencari calon untuk Surya. Tak lama, ia berhasil mengetahui bahwa salah satu petugas keamanan di perusahaan garmentnya memiliki seorang putri yang baru tamat SMA. Tante Hanum melamarnya. Keluarga gadis itu diberi sebuah rumah besar dan sawah di kampung mereka, kendaraan bermotor dan perjalanan ibadah.

“Anak gadis itu sendiri diberi hadiah kalung berlian,” kata Bu Pupung. Alis Nada terangkat.

“Kalung??” dalam benaknya langsung terbayang kalung yang ditemukan Yasmin tergantung di meja gambarnya. Kalung itu disimpan Dini di laci lemari dapur.

“Ya, kalung berlian dan kecubung ungu, bukan main bagusnya. Cocok sekali untuk anak itu. Anak itu cantik, tak banyak tingkah. Kulitnya licin seperti kulit telur, rambutnya sepanjang pinggang. Mereka menikah di sini, di rumah ini. Gan Enung mengadakan pesta, cukup meriah,” cerita Bu Pupung. “Dang Surya juga kelihatan bahagia. Sayangnya kebahagiaan itu tidak lama….”

“Kenapa?” ujar Nada, benaknya membayangkan Surya berpakaian adat, duduk di pelaminan. Mestinya pemandangan yang mengesankan, karena lelaki itu sebenarnya berparas tampan. Ia amat mirip ibunya, baik perawakan, warna kulit mau pun potongan wajahnya.

“Karena Gan Enung yakin Dang Surya akan segera sembuh setelah menikah, seperti kata paranormal itu, Gan Enung menghentikan semua obat. Kondisi Dang Surya menurun drastis setelahnya. Episode-episode psikotiknya kembali,” kata Bu Pupung.

Nada terdiam. Angin berhembus. De Zonnen terasa sangat sunyi.

Kini Surya di Rumah Sakit, kedua jerangkong di kamar perlindugan bom akan segera diangkut Polisi. Bu Pupung akan bersaksi, kemungkinan hukumannya karena melindungi pelaku kejahatan akan dikurangi karena bersedia bekerja sama dengan Polisi.

Tentang Tante Hanum, Nada tidak begitu yakin. Bertahun-tahun menyimpan derita batin karena putra satu-satunya, yang lahir setelah menunggu sebelas tahun, ternyata mengalami gangguan jiwa, agaknya memukul keseimbangan jiwanya sendiri. Bu Pupung bercerita bahwa dokter mengatakan Tante Hanum juga harus mendapat terapi.

Saat itu Rina muncul di teras, tersenyum pada Nada. Nada balas tersenyum, melambai. Bu Pupung yang duduk membelakangi teras menoleh, lalu kembali menatap Nada. Wajahnya seperti heran.

“Neng Nada ketawa sama siapa?” tanyanya.

“Sama Rina,” sahut Nada. “Itu dia, di teras.”

Seketika, Bu Pupung terdiam. Darah menghilang dari pipinya. Bibirnya gemetar saat berkata, “Rina? Neng Nada melihat dia?”

“Iya.” Nada celingukan. Sekarang dia yang bingung. “Lho, dia anak Tante Hanum kan? Tinggal di sini? Sejak awal aku pindah kemari, Rina menemani melihat-lihat. Dia juga kadang-kadang datang ke paviliun.”

“Ah….” Bu Pupung menoleh ke arah teras. “Begitu ya….” kemudian perempuan sepuh itu bergeser mendekat. Diraihnya tangan Nada.

“Neng Nada,” katanya. “Rina itu istrinya Dang Surya. Neng Nada tahu pohon jambu di pekarangan belakang paviliun?” sinar mata Bu Pupung menusuk, tajam sekali. “Setelah menikah, Dang Surya dan Rina tinggal di paviliun. Dua bulan sesudah itu, Dang Surya kambuh halusinasinya. Ia mengamuk, menuduh Rina sebagai agen Belanda, lalu memukulinya. Setelah itu Rina diseretnya ke pekarangan belakang…. dan digantungnya di pohon jambu itu. Tembok semen pendek di bawah pohon itu, itu makam Rina.”

Nada merasa lututnya melemas. Makam! Jadi selama ini Nada melihat dan mengobrol dengan seseorang yang sudah meninggal!

Saat itu dari sudut mata Nada terlihat Rina, menuruni tangga teras, berjalan di jalan semen di antara taman bunga matahari. Sampai di depan gerbang pagar, ia menoleh. Menatap Nada. Senyumnya perlahan terkembang. Wajahnya tenang dan bahagia.

Di telinga Nada terngiang kata-katanya dini hari tadi: “Semua sudah beres sekarang.”

Rina melambai. Nada mengangkat tangan, membalas lambaiannya. Cahaya matahari menembus tubuh Rina, perlahan melebur dalam angin pagi. Menghilang.

Blang Oi, 30 Desember 2020

Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *