Gadis Graffiti: Novela Dian Guci — Bagian Enam Belas

“Bunda emang sudah ga ada, Ayah. Tapi aku, anaknya, masih hidup. Dan aku nggak suka Ayah begitu sama cewek lain.”

Dinda gadis grafiti

Ayah mendongak. Menatap Dinda. Dinda hampir meleleh melihat sinar mata dan senyum Ayah. Sinar mata Ayah begitu menyayang.

“Apa, nak?”

Dinda menelan ludah. Menegarkan diri. Aku harus ngomong, pikirnya. Demi Bunda.

“Ayah, boleh nggak aku minta supaya Ayah nggak masak nasi goreng lagi?” Dinda berpikir sedetik, menyadari bahwa permintaannya ada kelemahannya. Kalau dia hanya melarang Ayah masak nasi goreng, bagaimana kalau nanti dia memesan masakan lain dan Ayah tetap membuatkannya? Huh. Sebal. Buru-buru Dinda menyambung:

“Maksud aku–boleh nggak aku minta supaya Ayah nggak masak lagi di sini? Biar Bang Irfan aja…?”

Dinda merasakan suasana dapur langsung berubah. Dedek, Bang Tareq, dan bahkan Cik Anwar, menatapnya.

“Kenapa?” Ayah terdengar agak heran. “Kau nggak suka lagi masakan Ayah?”

“Uh—bukan begitu. Maksud aku, justru itu. Aku mau Ayah masak cuma untuk aku sama Abang dan Dedek aja,” kata Dinda. “Nggak usah masak untuk orang lain lagi.”

“Hah?”

Muka Dinda memerah.

“Bunda emang sudah ga ada, Ayah. Tapi aku, anaknya, masih hidup. Dan aku nggak suka Ayah begitu sama cewek lain,” suara Dinda tercekat di tenggorokan. Untuk sesaat Ayah tampak makin tercengang. Begitu juga Bang Tareq. Namun kemudian ekspresi Ayah berubah jadi selembut mentega.

Baca Juga: Gadis Graffiti: Novela Dian Guci — Bagian Empat Belas

“Maksud Adek….?” kata Ayah. Nadanya bingung. “Begitu bagaimana?”

“Aku nggak suka Ayah pamer kebisaan Ayah masak, tebar pesona sama cewek-cewek. Buat Ayah mungkin Bunda sudah nggak ada artinya lagi. Nggak usah dipikirkan lagi. Tapi buatku, perempuan yang boleh dimasakkan sesuatu sama Ayah, cuma Bunda. Nggak boleh ada orang lain lagi!”

Mulut Ayah terbuka secelah. Lalu tertutup lagi. Di balik kaca matanya, tatapan Bang Tareq  tercengang sekaligus mendadak paham. Dedek kelihatan menelan ludah. Lalu Ayah tersenyum kecil.

“Baikah. Kalau menurut Adek begitu, Ayah nggak akan masak lagi,” ujarnya.

“Bukan begitu,” potong Dinda. “Ayah boleh masak. Cuma nggak boleh buat…. buat…. Tante itu.”

“Adek—” terlompat lirih dari mulut Bang Tareq. Ayah cepat menepuk lengannya. Kode agar Bang Tareq diam. Dinda berdiri kikuk, tidak tahu harus melepaskan pandang ke arah mana.

“Ya sudah. Aku mau sarapan sekarang,” kata Dinda. Melirik ke meja tempat meracik bumbu. Ada sebuah termos penghangat nasi di situ. “Aku minta nasi goreng,” dengan langkah kaku Dinda mencari piring, sendok, membuka tutup termos nasi dan menyendok nasi kemerahan menebarkan harum bumbu, yang ada di dalamnya. Menambahkan telur mata sapi. Menuangkan kopi ke cangkir, menuangkan susu. Lantas membawa semuanya ke lantai dua. Saat meletakkan semua itu ke atas meja di balkon yang menghadap laut, Dinda tersadar bahwa selama itu matanya terus-menerus mengalirkan air.

Di dapur, Bang Tareq meletakkan tangannya di atas lengan Ayah.

“Aku akan bicara dengan Adek,” katanya lembut. Ayah menggeleng.

“Nggak usah. Nggak apa-apa,” katanya. “Biar Ayah saja. Tapi tidak sekarang. Nanti.”

“Oke,” Bang Tareq menatap Ayah. Ayah berpaling, membawa mug kopinya keluar dapur. Ia kelihatan letih. Tapi cukup tegar. Bang Tareq tercenung sebentar. Lalu memutuskan untuk menyusul Dinda.

Saat menapak tangga terakhir ke lantai dua, Bang Tareq melihat Dinda, makan perlahan-lahan seraya menatap laut. Bang Tareq mendeham. Duduk di samping Dinda.

“Ngapain, Dek,” katanya. Lalu mengernyit sendiri, menyadari kekonyolan kalimatnya. Bang Tareq mendeham.

“Dek,” katanya. Dinda melirik dingin.

“Aku tahu Abang mau apa,” katanya.

“Memangnya apa, coba?”  Bang Tareq mencoba bergurau.

“Pasti Abang mau bilang, jangan bersikap kayak tadi pada Ayah,” ujar Dinda. Dia tak menyambut nada canda abangnya. “Nah, biar Abang tahu, ya. Di keluarga ini harus tetap ada yang setia sama Bunda. Dan orang itu aku,” Dinda mendengus. “Biar pun Ayah, Dedek, dan mungkin Abang sendiri juga, sudah lupa sama Bunda, tapi aku nggak akan pernah khianati Bunda.”

“Ada sesuatu yang Abang ingin bicarakan, yang mungkin Adek belum tahu, Dek,” kata Bang Tareq. “Beberapa hari ini Ayah lebih gampang tersenyum. Kemaren dia bahkan bisa ketawa ngakak, balas-balasan bercanda dengan kawan-kawannya yang datang ngopi ke kafe. Abang nggak ingat kapan terakhir kali Ayah ketawa begitu. Kayaknya, sudah lama sekali. Abang lebih sering lihat Ayah melamun. Atau duduk menyendiri. Bahkan dulu waktu masih di Jakarta, waktu kawan-kawannya datang menyambangi ke rumah, Ayah hampir nggak bisa mengobrol. Ingat, Dek?”

Dinda diam saja. Mengaduk-aduk kopinya.

“Sejak… hmmm….” Bang Tareq berhenti sejenak. “Dek, ingat apa kata Bunda, waktu Bunda dibawa ke IGD?”

“Aku nggak mau ingat-ingat itu,” tukas Dinda pedas. Tapi tak urung bayangan Bunda memejam seraya mencengkeram bahunya melintas jelas dalam ingatan Dinda. Dinda mengucek matanya yang langsung terasa panas.

“Bunda bilang kita harus akur,” Bang Tareq nekat melanjutkan. “Dan kemudian Bunda bilang, kita harus kompak mendukung Ayah.”

“Diam, Bang,” Dinda mendesis. “Itu nggak adil. Abang gunakan kata-kata Bunda buat bikin aku merasa bersalah….? Nggak bisa, Bang. Nggak adil. Abang sadar nggak sih, Bunda belum lama pergi, dan Ayah sudah mau menggeser kedudukan Bunda di keluarga kita dengan cewek lain?” Dinda mendengus lagi. “Silakan saja kalau Abang mau khianati Bunda juga. Aku sih enggak. Kalau cewek itu berani mendekati Ayah, lihat saja–” Dinda tak melanjutkan bicaranya. Terus terang saja, ia kehilangan kata-kata. Kalau nanti ternyata bibi Razak memang mendekati Ayah, lalu apa yang akan dilakukannya? Meracuni nasi gorengnya? Mustahil. Tapi pokoknya ia akan melakukan sesuatu. Sesuatu yang buruk.

“Siapa sih yang bilang Tante Dian bakal menggeser Bunda?” kata Bang Tareq. Dinda mengangkat alis.

“Tante Dian siapa?”

“Orang yang Adek sebut ‘cewek itu’ tadi,” sahut Bang Tareq. Dinda memonyongkan mulut.

“Oh, cewek itu.”

Baca Juga: Gadis Graffiti: Novela Dian Guci — Bagian Lima Belas

“Ya, cewek itu. Namanya Deianira. Panggilannya Dian,” Bang Tareq agak jengkel. “Setahu Abang dia dan Ayah cuma berteman. Ayah memang sering ngobrol dengannya. Tapi Ayah kan memang selalu luangkan waktu, ngobrol dengan pelanggan yang datang. Apalagi, Tante Dian itu, abang iparnya kawan main Ayah waktu SMA. Jadi wajar ‘kan kalau Ayah mengobrol dengannya.”

“Kedengarannya Abang sudah akrab sekali dengannya, ya? Sampai tahu soal abang ipar orang itu kawan main Ayah segala,” Dinda sinis. Bang Tareq menatap. Sunyi sesaat. Nampaknya Bang Tareq tengah memutar otak, mencari kata-kata yang tepat. Diam-diam Dinda juga pasang kuda-kuda. Pokoknya, apa pun yang dikatakan Bang Tareq, akan dibantahnya. Ia tak bisa terima kenyataan bahwa Ayah sudah mengkhianati Bunda. Dan gilanya, Bang Tareq malah mendukung!

(Bersambung ke Bagian Tujuh Belas)

Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *