Di tepi sungai dengan airnya yang cukup deras, lelaki itu berjuang menarik rakit. Berusaha menambatnya pada batang pinang yang tumbuh di sisinya.
Itu adalah usaha terakhir yang bisa dilakukan lelaki itu untuk menyelamatkan rakitnya di tengah hujan yang terus mengguyur hebat dan awan hitam membentang memenuhi cakrawala.
Ia menyeringai. Sekuat tenaga tangannya memegang tali rakit, menahan desakan arus sungai yang menggila. Ia nyaris berhasil, tapi hujan terus menggenangi matanya.
Lelaki itu berteriak dengan keras, seolah menandingi gemuruh hujan yang terus mengguyur deras. Matanya kian perih.
Ia melangkah mundur menjauhi bibir sungai, merelakan rakit yang sedang dibuatnya itu hanyut terseret arus.
Sukamto nama lelaki itu. Ia telah menghabiskan 14 hari berjalan menembus hutan lebat di tengah guyuran hujan untuk mencapai rawa gambut.
Berbekal ingatan yang samar-samar, ia berjalan selama dua hari kemudian sambil menebak-nebak arah menuju sungai.
Dan ingatannya memang masih berguna. Ia menemukan hulu Arakundo; sungai yang digunakan para pemberontak lima tahun lalu saat membawanya ke hutan itu.
Namun, Arakundo terlalu lebar dan dalam. Sungai itu melintang panjang, membelah hutan, hingga menusuk jauh ke dalam belantara-belantara berkabut yang tak terjamah.
Sukamto sama sekali tidak takut pada arwah gentayangan orang-orang yang dibunuh dan dibenam di satu titik di hilir sana.
Dia hanya percaya; mengarungi Arakundo tanpa rakit yang kokoh sama dengan mengumpankan diri kepada koloni buaya yang hidup di sana.
Di tepi sungai itulah Sukamto berjuang membuat rakit. Bermodalkan parang, ia mengumpulkan akar pohon untuk dijadikan tali temali dan menumbangkan puluhan batang bambu untuk disusun menjadi rakit.
Semua itu dilakukan selama satu Minggu penuh sambil bertahan menghindari mati kedinginan dalam balutan kemah terpal bersama sisa kayu bakar yang ada.
***
Ia masih berdiri mematung menyaksikan rakitnya hanyut terbawa arus. Mukanya pucat. Ia menggigil.
Satu-satunya harapan meloloskan diri telah sirna seiring terseretnya rakit itu. Rasa takut dan putus asa berkecamuk di pikirannya.
Ia teringat orang tuanya, terbayang wajah adik-adiknya, kampung halamannya dan semua orang yang dikasihinya. Ia mengutuki diri, menyesali keputusannya menjadi tentara.
Sementara hujan kian keras menghajar bumi dan sungai dipenuhi batang kayu yang hanyut dibawa arus.
Sukamto bergegas lari menembus hamparan ilalang yang tumbuh tinggi melebihi kepalanya; menuju kemah terpal di puncak bukit yang dibuatnya Minggu lalu.
Itu adalah kemah seluas satu meter persegi yang segera digulung setelah dipakai dan terus dibawa ke mana pun.
Kemah yang telah menyelamatkan nyawanya selama lebih dari sebulan sejak ia berhasil meloloskan diri dari sekapan pemberontak.
Di dalam kemah, Sukamto menghidupkan api dan dengan sangat hati-hati menggunakan sisa ranting kering di ranselnya.
Ia lalu duduk mendekap lutut sambil sesekali mendekatkan telapak tangannya pada api. Ransel yang terletak di sisinya itu hanya berisi kayu bakar, ranting kering, dan ubi yang terus dibawanya sejak pelarian itu.
Baca Juga: Cerpen: Minimi
Sementara di luar, langit masih hitam dan hujan mengguyur deras. Sukamto tidak bisa berbuat apa-apa kecuali hanya diam merasakan putus asa yang begitu dalam.
Selama lima tahun menjadi tawanan, ia telah melihat bagaimana puncak musim penghujan menenggelamkan rawa-rawa dan membunuh hewan-hewan yang tak siap dengan air yang datang tiba tiba.
Di satu sisi, peluang melarikan diri hanya mungkin berhasil pada musim dengan cuaca buruk seperti itu.
Ia bahkan telah menunggu momen itu sepanjang waktu sejak penangkapannya, karena ia percaya para pemberontak tak akan mengejarnya hingga sejauh itu.
Mereka akan lebih senang membiarkannya mati menggigil dengan perlahan, daripada mengejarnya untuk kembali ditawan.
Namun di sisi lain Sukamto kian frustasi dengan keadaan. Dengan hujan.
***
Malam itu teramat dingin. Suhu nyaris membekukan darah. Deru angin terdengar di celah gemuruh hujan.
Namun Sukamto tak bergeming. Ia larut dalam pikirannya. Ingatannya terus berputar-putar, menghadirkan seluruh kejadian yang dialaminya selama beberapa tahun terakhir.
Ia melihat kembali detik-detik ketika pemberontak menangkapnya dalam sebuah penyergapan paling buruk pada tahun 1999. Ia merasakan lagi pedihnya penyiksaan selama menjadi tawanan.
“Asuuuu!” Sukamto berteriak marah saat mengenang teman-temannya yang mati.
Ia menyesal telah mempercayai masyarakat. Mereka bersekutu dengan pemberontak.
Sepanjang malam itu Sukamto terus duduk mendekap lutut. Rasa kantuk tak kunjung hinggap di matanya.
Ia berpikir untuk membuat rakit lagi agar bisa segera meninggalkan hutan demi mencapai desa. Dengan menyamar sebagai petani, Sukamto yakin bisa menemukan pos tentara dan hidupnya akan terselamatkan.
Tapi rencana apa pun akan menjadi sulit di hutan basah itu, terutama karena hujan tidak pernah benar-benar reda. Hujan hanya berhenti turun untuk beberapa jam, lalu mengguyur lagi dengan hebat.
Sukamto baru terbangun dari lamunannya ketika hujan tiba-tiba semakin deras. Ia bangkit dan menyadari ada yang aneh dengan hujan malam itu.
“Badai!” Sukamto menggumam dan bergegas meraih ransel. Ia dengan cepat keluar untuk membongkar kemah.
Di dalam pekatnya malam itu ia harus membuka ikatan di keempat sudut kemah. Tapi Sukamto kalah cepat. Badai mengguncang-guncang kemah terpalnya, lalu menerbangkannya.
Ia sempat berusaha mengejar meski hanya diterangi kilatan petir, tapi dengan kejam badai menghempaskan kemah terpal itu ke tengah sungai.
Sukamto berteriak keras. Ia meraung dengan marah. Ia seperti gila. Kejadian itu memaksanya kembali memasuki hutan. Tanpa kemah terpal ia tak akan mampu bertahan dari serangan hujan.
Dengan putus asa, Sukamto terus berjalan tanpa arah selama beberapa hari untuk menjauhi daerah aliran sungai.
Ia tahu, terus berada di dekat sungai akan membahayakan nyawanya di tengah puncak musim penghujan. Sukamto bukannya tidak menyadari telah tersesat jauh.
Ia tahu telah terjebak semakin dalam di hutan belantara itu. Tapi tidak ada pilihan. Ia harus terus berjalan.
Ia hanya berusaha menebak semampunya untuk berjalan ke arah yang berlawanan dengan markas pemberontak di bagian utara sungai.
Setelah sekian jauh memasuki hutan yang maha lebat, pada Minggu berikutnya, Sukamto menemukan sebuah gua. Gua yang memberinya kehangatan.
Gua penyelamat hidupnya dan gua yang akhirnya menjadi rumahnya hingga bertahun-tahun kemudian. Di balik dinding kokoh gua itu Sukamto menyimpan rapat hasratnya untuk meloloskan diri.
Ia memasrahkan diri pada nasib dengan menjadi penghuni gua itu hingga 30 tahun lamanya; sampai suatu hari dua orang pemburu bertemu dengannya.
Itu terjadi pada musim kemarau yang menyebarkan rasa hangat ke seluruh pelosok hutan tropis; suatu pagi sangat indah saat cahaya matahari menari-nari di celah daun dan berusaha menerangi wajah Sukamto.
Hari itu Sukamto sedang memanggang ayam hutan di mulut gua saat dua pemburu dengan penuh takjub mendekat dan menyapanya. Membuat Sukamto terdiam. Dadanya bergemuruh hebat.
Nasib telah membuang lebih separuh hidupnya dalam hutan itu. Tapi kini, dengan sendirinya nasib datang menjemputnya.
Sukamto saat itu telah berubah menjadi sosok tua penuh keriput dengan rambut gondrong sebahu dan jenggot awut-awutan sepanjang dada. Ia mengenakan baju dari kulit pohon.
Meski dengan logat tertahan-tahan, Sukamto masih mampu mengucap bahasa Indonesia dengan benar.
Ia lalu menjamu kedua pemburu. Mereka bermalam bersama. Menikmati rusa panggang dan bercerita tanpa henti selama berhari-hari.
Seminggu bersahabat dengan kedua tamunya itu, ia lalu memutuskan berjalan di belakang mereka. Dengan tergopoh Sukamto mengikuti kedua pemburu, membelah hutan raya hingga tiba di desa.
Tapi Sukamto benar-benar tidak siap dengan segala perubahan yang dilihatnya setelah 30 tahun.
Aku selalu berpikir perang masih terjadi. Aku juga berpikir perang telah usai, pemberontak menyerah dan kembali ke pangkuan ibu pertiwi.
“Tapi, kadang aku juga berpikir tentara telah gagal sehingga pemberontak memperoleh kemerdekaan,” tulis Sukamto pada buku kecil di atas pahanya dalam perjalanan pulangnya ke pulau Jawa.
Sukamto terus menulis di dalam kereta api, di sepanjang perjalanannya.
Ia pulang dengan bekal setumpuk dokumen yang dikeluarkan otoritas Aceh. Ia duduk persis di depan layar tv dan menyaksikan seluruh channel menampilkan dirinya sebagai berita utama.
Saat itu tanah Aceh telah tiba di pengujung. Laju kereta api melambat. Ia mengalihkan matanya ke deretan gedung yang tampak berjejer di balik jendela kereta.
Baca Juga: Gara-gara Tiket Pesawat, Aceh Akhirnya Merdeka
Tiba di perbatasan, Sukamto dan semua orang mengantre di hadapan loket imigrasi. Kibar Bulan Bintang tampak memenuhi tiang di halaman gedung-gedung yang menjulang.
“Banyak hal terus kupikirkan selama ini. Beberapa memang persis terjadi seperti yang kupikir. Beberapa meleset. Selebihnya adalah hal-hal yang sama sekali tak terpikirkan olehku,” Sukamto terus menumpahkan kata pada setiap lembar buku kecilnya.
Kereta berganti untuk kesekian kalinya. Lalu kembali meluncur hingga tanah Sumatra sampai di penghabisan.
Kereta memasuki stasiun. Sukamto dan seluruh penumpang kembali turun dan mengantre di Imigrasi.
“Oh Tuhan,” Ia bergumam dan kembali mengeluarkan buku kecilnya dari dalam tas.
Dadanya sesak. Ia terharu. Ratusan anak dengan ceria melakukan parade bendera-bendera dari Sumatra dalam sebuah olimpiade internasional di dekat pelabuhan Lampung. Sukamto tak berkedip pada kibar bendera yang terus berbeda.
Sukamto dan penumpang lain meninggalkan kereta, beralih ke kapal, dan duduk manis dalam penyeberangan itu.
Gelombang laut merayu Sukamto melamun. Matanya sembab. Hatinya larut dalam berjuta rasa. Hidupnya memang begitu rumit, tetapi ia bersyukur.
Saat itu pulau Jawa telah tampak di ujung mata. Ia akan segera pulang. Ia bangga.
Setidaknya kampung asalnya masih mengakui Ibu Pertiwi. Sukamto tak mampu menahan air mata. Kibar Merah Putih menggetarkan hatinya.
Ia bersujud. Lalu berdiri memberi hormat di hadapan presiden dan ribuan rakyat yang menyambutnya.
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )
One thought on “Cerpen: Sukamto”