Cerpen: Kelompok 27

Rumor-rumor pun berkembang liar perihal masa hibernasinya sebagai musisi. Sebagian besar tudingan yang keliru, meski ada pula sangkaan yang benar.

Ilustrasi Cerpen Kelompok 27.

Sudah lewat jam 10 malam. Aku keluar dari kamar dan mencari-cari keberadaan Gari, suamiku. Sesaat kemudian, aku pun menemukannya masih terjaga di dalam ruang studio musik kami yang remang-remang, di lantai dua rumah kami. Seperti biasa, ia terlihat duduk termenung di sebuah kursi yang menghadap tepat ke kaca riben jendela. Ia tampak memandang keluar melalui gorden yang sedikit tersingkap, entah pada langit yang lengang, atau pada halaman depan kediaman kami yang kini dihuni beberapa orang penggemarnya.

“Kenapa belum tidur?” tanyaku, lantas merangkulnya dari sisi belakang, kemudian mengecup pipi kanannya.

Ia bergeming saja. Masih dengan tatapan yang menjurus ke arah depan.

“Apa kau belum mengantuk?” tanyaku lagi, seolah-olah tidak memahami kekalutan hatinya.

Ia pun menghela dan mengembuskan napas yang panjang, kemudian menuturkan kegundahannya seperti yang sudah kuterka, “Aku takut menghadapi kenyataan masa depanku. Besok, atau hari-hari kemudian, semua orang akan tahu tentang keadaanku yang tak seperti dahulu lagi,” tuturnya, dengan suara pelan dan sedikit parau, lantas mengempaskan tubuhnya pada sandaran kursi. Ia lalu menengadah, kemudian memandangi foto Kurt Cobain dan Jim Morrison, idolanya.

Aku lantas berlutut di sampingnya, kemudian menggenggam tangannya. “Sudahlah, Sayang. Jangan risaukan soal itu. Toh, besok-besok, kondisimu pasti membaik, dan kau akan kembali mempersembahkan karya terbaikmu untuk mereka,” pesanku, mencoba membesarkan hatinya.

Ia sontak menggeleng dengan raut sayu. “Suaraku tak akan kembali seperti dahulu. Aku tak akan lagi bisa bernyanyi dengan kualitas seperti yang mereka inginkan. Mereka pasti akan kecewa, lalu mencampakkan dan melupakanku,” tanggapnya, dengan pandangan yang jatuh ke arah bawah, pada sejumlah orang penggemarnya yang terdengar menyangikan lagu-lagunya dengan iringan gitar akustik, sembari menanti pergantian hari untuk merayakan hari ulang tahunnya yang ke-28.

Baca Juga: Cerpen: Esa Historia

Lagi-lagi, aku jadi bingung untuk meruntuhkan keputusasaannya, sebab aku pun memahami bahwa mustahil kualitas suaranya kembali seperti sediakala. Hingga akhirnya, aku hanya mengutarakan kata-kata motivasi yang sepatutnya, “Kau jangan berpikiran macam-macam tentang pendapat mereka kepadamu, Sayang. Kau hanya perlu menghadapi dan menerima kenyataan di hari esok dengan apa adanya. Apalagi, di hari-hari kemarin, kau telah memberikan karya dan pertunjukan terbaikmu untuk mereka. Yakinlah, kalau mereka memang penggemar sejatimu, mereka akan mencintaimu dalam keadaan apa pun.”

Ia sontak merenung-renung, seperti sedang mencerna pesan-pesanku. Ia lantas membalas gengggamanku, kemudian bertanya dengan raut prihatin, “Tetapi apakah ketika mereka melupakanku, kau masih akan tetap mencintaiku?”

Aku lekas mengangguk. “Tentu saja aku akan tetap mencintaimu, Sayang. Aku lebih dari sekadar penggemarmu. Aku adalah istrimu.”

Perlahan-lahan, ia pun merekahkan senyuman yang kaku dan tanggung.

“Sudahlah, jangan banyak pikiran. Tidurlah, agar kau merasa nyaman,” saranku, lantas mengusap-usap lengannya.

“Kau tidurlah dahulu. Aku masih ingin di sini,” balasnya, dengan tatapan yang sendu.

Aku lalu mengembuskan napas yang panjang. Pasrah. “Baiklah. Aku menunggumu,” kataku, lantas pergi ketika ia masih dengan posisi dan sikap tubuh yang sama.

Sesaat berselang, aku pun kembali berada di dalam kamar, dan kembali merebahkan tubuh di atas kasur.

Akhirnya, detik demi detik, aku terus memikir-mikirkan dan merasa-rasai perihal kegalauannya. Aku mengerti bahwa sebagai seorang vokalis band rock, suara adalah nyawanya. Namun kemalangan telah datang menimpanya. Pita suaranya rusak, dan ia mesti menjalani operasi. Tetapi upaya itu, tak akan cukup untuk mengembalikan kualitas vokalnya. Bahkan mungkin tidak untuk selamanya.

Sudah enam bulan lebih ia terpaksa menghindar dari sorotan kamera. Ia tidak ingin para penggemarnya tahu tentang kondisinya. Ia tidak ingin mereka kehilangan ekspektasi atas dirinya. Karena itulah, tak pelak, rumor-rumor pun berkembang liar perihal masa hibernasinya sebagai musisi. Sebagian besar adalah tudingan-tudingan yang keliru, meski ada pula sangkaan-sangkaan yang benar.

Sebagai pendamping hidupnya, aku sungguh memahami kekalutan hatinya. Di puncak karirnya, ketika ia masih begitu bergairah untuk berkarya demi tetap mendapatkan penghargaan orang-orang, ia tentu tidak sanggup kehilangan pamornya begitu cepat. Ia masih sangat ingin menyuguhkan persembahan terbaiknya, agar para penggemarnya tetap bersetia kepadanya, tetapi suaranya tak lagi mendukung cita-citanya itu.

Belum lagi, aku pun tahu kalau ada trauma di dalam benaknya perihal popularitas.  Aku tahu bahwa ibunya meninggalkan ayahnya begitu saja ketika ia masih berusia delapan tahun. Itu karena ayahnya kehilangan kepopuleran sebagai aktor setelah mengalami kecelakaan tragis yang membuat rupa fisik berubah drastis. Ayahnya pun kehilangan segenap kemewahan, hingga ibunya jadi tak tahan untuk hidup bersama.

Tetapi aku tak akan menjadi seperti ibunya untuk ayahnya. Aku tetap bertekad untuk menjadi istri yang setia untuknya, entah bagaimana pun keadaannya. Apalagi, ia telah melakukan segalanya untuk menyenangkan dan membahagiakan diriku selama ini. Ia telah memberikan kesejahteraan hidup untukku, juga kebanggaan diri sebagai istri seorang bintang musik rock yang terkenal di seluruh penjuru negeri.

Terlebih lagi, aku punya peran besar sampai ia berada di puncak kepopulerannya. Akulah yang dahulu selalu memompa semangatnya untuk berjuang agar menjadi seorang bintang. Akulah yang memintanya meneriakkan suara-suara terbaiknya di bilik rekaman ataupun di panggung konser. Karena itulah, aku merasa bersalah telah menuntutnya begitu keras, hingga ia hilang kendali dan suaranya menjadi rusak.

Baca Juga: Cerpen: Sukamto

“Aku takut tentang hari esok,” katanya, setelah merangkul tubuhku, pada satu malam, tujuh bulan yang lalu, saat kami berbincang-bincang di ruang studio sembari mendengarkan lagu Janis Joplin, sebelum ia memutuskan untuk menjalani operasi pita suara.

Aku pun terenyuh mendengar kekhawatirannya. “Takut karena apa, Sayang?” tanyaku, pura-pura tidak paham.

“Aku takut kehilangan pencapaian yang telah kuperjuangkan sekian lama. Aku takut jika harus hidup dalam kesepian, dan terlupakan,” terangnya, dengan raut muram. “Aku ingin berada di puncak karirku, selamanya.”

Aku pun tersenyum simpul, kemudian mencoba menegakkan harapannya, “Setelah operasi, aku yakin, suaramu akan kembali seperti dahulu.”

Ia hanya mendengkus keras, kemudian terdiam lesu.

Sampai akhirnya, kini, keadaannya ternyata jauh dari harapan kami. Suaranya tak juga membaik seperti dahulu, hingga ia semakin gusar atas masa depannya sebagai musisi.

Tetapi malam ini, aku yakin, ia akan mendapatkan semangat besar untuk menghadapi kehidupannya di hari esok. Ia akan mulai mengabaikan ambisi-ambisi kepopulerannya, dan mulai menerima keadaannya tanpa rasa khawatir. Pasalnya, diam-diam, aku tengah mengandung buah hati kami, setelah kami menanti selama empat tahun. Aku akan memberitahukannya soal itu setelah hari berganti, dan ia pasti akan mendapatkan gairah hidup di usianya yang baru.

Beberapa saat kemudian, menjelang penyingkapan kejutan besarku untuknya, aku pun menoleh pada jam dinding. Tiga puluh menit lagi menuju jam 12 malam. Aku pun bangkit dari pembaringan, kemudian mengambil dan menyembunyikan bukti tes kehamilanku di dalam kantongku. Nantinya, tepat sedetik lewat jam 12 malam, selepas obrolan tentang masa depan, aku akan menunjukkan tanda positif itu kepadanya, hingga ia merasakan kesan yang luar biasa di awal waktu usianya yang ke-28 tahun.

Baca Juga: Cerpen: Makeup

Akhirnya, dengan langkah pelan, aku pun melangkah keluar kamar, menuju ke ruang studio, untuk mulai menyongsong waktu penyingkapan kejutanku untuknya. Tanpa perlu lilin atau kue, nantinya, aku akan menuturkan kata-kata pengantar berisi harapan-harapan untuknya, lantas memperlihatkan kado spesialku. Meski ia sudah tahu bahwa hari nanti adalah hari ulang tahunnya, tetapi aku yakin bahwa ia akan terkesan, sebab ia pasti tak menyangka bahwa aku akan memberikan hadiah berupa kehamilan untuknya.

Namun sesaat kemudian, setelah aku mengintip dari balik gerbang pintu studio, aku malah menyaksikan kenyataan yang membuatku terkejut setengah mati. Aku melihatnya terbaring di lantai dengan tubuh yang kejang-kejang, di samping kursi favoritnya, di sekitar butir-butir obat yang berserakan. Aku lantas menghampirinya, hingga aku melihat busa mengalir dari mulutnya. Aku pun menangis dengan perasaan yang kacau. Aku sungguh tak menyangka bahwa hidupnya akan berakhir dengan caranya sendiri, menjelang hari istimewanya.

Dengan kekalutan hati dan pikiran, aku pun mengontak layanan panggilan darurat. Sekejap berselang, sebuah ambulans datang. Beberapa petugas kemudian menggotongnya ke dalam mobil, lantas melarikannya ke rumah sakit. Hingga akhirnya, setelah penanganan sigap sekian lama, ia pun terbaring saja di atas kasur perawatan, di antara hidup dan mati. Namun di tengah perjuangan napasnya itu, berita-berita ternyata telah menyebar di media sosial sebelum pergantian hari, bahwa ia yang seorang bintang rock dikabarkan telah meninggal bunuh diri dan menambah daftar bintang musik yang meninggal pada usia 27 tahun, sebagaimana beberapa artis idolanya.

Ramli Lahaping. Lahir di Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis di blog pribadi sarubanglahaping.blogspot.com.

@ramlilahaping

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *