~ This is it! Telur dadar untuk John
Cerita ini dimulai ketika sirene pertanda masuk waktu sahur tengah meraung-raung: “Nguuuung,” suaranya sustain, seperti nada gitar yang dimanipulasi dengan pedal freeze Elektro-Harmonix.
“Wah, udah sahur!” gumam saya dengan setengah terkejut. Saat itu saya sedang menonton anime One Piece episode 929. Oke, baiklah, saatnya masak. Tapi, cek logistik dulu:
– Telur
– Micin
– Cabai merah
– Cabai ijo
– Bawang merah
– Bawang putih
– Pisau
– Talenan
– Minyak goreng
– Kompor + tabung gas
– Kuali
– Spatula.
Aman. Dimulai dengan mencacah secara sembarang bawang merah dan putih, berikut pula cabai-cabainya di atas talenan.
Sekadar saran, baiknya kemiringan mata pisau diatur sedemikian derajat sehingga hasil potongan khususnya cabai berbentuk jajar genjang bukan trapesium.
Potongan cabai yang berbentuk jajaran genjang dengan sudut lancip nan tajam akan lebih estetis dipandang mata.
Oke, lanjut. Adon bahan yang sudah dipotong-potong dengan telur.
Tentu saja telur di sini adalah putih dan kuning telur, yang awalnya terkurung di dalam cangkang yang dipecahkan__sedikit__dengan jalan diketok-ketok ke dinding beton, bidang meja, kaki meja, sendok, atau semacamnya.
Cangkang dikoyak melalui bagian yang telah cerah sehingga meluberlah segala sesuatu yang terdapat di dalamnya.
Aduk-mengaduk adonan harus dilakukan dengan telaten serta penuh konsentrasi. Bagian ini cukup menguras tenaga dan pikiran.
Saya biasa memanfaatkan sendok, tapi, kalau lagi pas kepala, saya lebih suka menggunakan jari biar terkesan lebih berkearifan lokal dan bersahaja.
Kali ini saya mengaduk dengan sendok garpu. Sendok biasa dengan cekungan oval atau bulat lonjong itu bolehlah kiranya jadi pilihan kedua atau pilihan kapan-kapan saja, atau terserah.
Toh, saya juga mengaduk dengan gagang sendok. Ya udah, lupakan that shit!
Tahap awal dimulai dengan memutar sendok dari kanan ke kiri, atau dari kiri ke kanan, manasuka saja.
Proses ini harus berkesinambungan, kecepatannya mestilah konstan, dengan hitungan empat per empat untuk tiap satu putaran penuh, dua per dua untuk setengah putaran, satu per satu untuk seperempat putaran, jika saya taksalah hitung.
Inilah waktunya. Adonan siap dituang ke dalam kuali, minyak telah panas sempurna.
Suara minyak yang mendidih persis suara tetesan air hujan di atas kaleng kosong samping rumah, atau, saya membayangkan, bubble wrap, plastik khusus yang memiliki tonjolan-tonjolan kecil itu tengah diinjak mobil giling.
Baca Juga: Tips Menggoreng Ikan Ala Breedie
“Creeesssh.” Adonan telah dituang dengan senyum yang dikulum.
Begitu indah bin haru rasanya saat melihat adonan itu pipih melebar, kuning merona, sedikit hitam, dan beraroma hangus. Perfek! Wah, sahur kali ini bertambah bahagia rasanya ditemani segelas sirop “abece.”
“Tapi, yang terbaik dari semua ini tentunya sebatang gepe sisa tadi malam.” Saya berujar sendiri, dengan penuh kebanggaan.
Dadar kali ini dapat dibilang salah satu masterpiece selama saya berkecimpung di dunia pedadaran. Soal pemakaian awalan dan akhiran “pe-an” sebagai konfiks pembentuk nomina “dadar” kiranya tak usah didebat.
Tapi, lihatlah, secolek saus bumbu mi sedaap bekas kemarin telah bertakhta di atasnya. Menggoda sungguh.
“Tunggulah sebentar lagi, abang akan memamahku dengan cinta dari empat musim.”
Tapi, fucek! Segala rencana saya gagal total. Semua gara-gara si John yang, ah, andai bukan bulan puasa, cerita ini akan saya penuhi dengan makian dari segala penjuru negeri.
Setidaknya, c*k*ma* saya ganti dengan ckuimai, cmuikai, cuki-cuki, coki-coki, cokolato, comunih, atau apalah itu namanya.
John adalah kucing oren berekor sejengkal penghuni kantor lembaga nonpemerintah tempat saya menumpang tinggal. Perihal pemberian namanya, kami sering bertukar pendapat.
Menurut saya, nama panjang John patutnya John Petrucci, mengikuti nama gitaris band beraliran progresif metal Dream Theater.
Tapi, orang-orang lebih setuju jika nama panjangnya Johny Playboy. Menaruh kata Playboy di belakang nama kucing tersebut tentu punya alasan tersendiri.
Sejak kapan ia resmi menabalkan dirinya sebagai kucing kantoran? Entahlah.
Yang pasti, John adalah perayu ulung nomor wahid. Padahal ia tak segagah dan setampan Batu’ut, anjing kampung yang dulu suka keliar-keliur di sekitar kantor.
Tak bisa ditampik, John adalah Don Juan. Ia dapat meluluhkan hati wanita dengan cara yang sebenarnya tak berkelas sama sekali.
John akan mendekati para gadis ketika mereka sedang duduk mengaso di undakan pintu kantor. Ia tidak mengeong atau mengelus-eluskan kepala ke betis lazimnya yang dilakukan seekor kucing.
John cuma menelentang, membuka lebar-lebar kedua tangan dan kaki sehingga bulu-bulu mulus yang menghampar lembut di sepanjang leher dan perutnya itu kelihatan.
Para gadis pun masuk perangkap. John tinggal menunggu sebungkus whiskas ditaruh di atas kardus kesayangan keesokan hari.
Baca Juga: Hajat dan Jatah Mampu Mengubah Orang Menjadi Jahat
Tapi, John telah membuat saya berang bukan kepalang. Saat saya buang air kecil sembari membayangkan nikmatnya sahur dengan dadar ala kos-kosan, apalagi saat berbuka perut belum jua terisi oleh nasi karena suatu hal, John rupanya telah beraksi.
Telur dadar satu-satunya telah raib. Tinggal piring hampa dengan sedikit remah-remah berminyak.
“Ckuimia, Joooohn!!!”
Secepat kilat saya melompat ke ruang tengah dari pintu dapur. Kucing itu mestinya tidak akan pergi ke mana-mana.
Namun, saya tak menemukan John di mana pun. Di bawah meja, sudut lemari, dapur, dipan samping, balai, tong sampah. Nihil.
Mata mulai berkunang-kunang. Perut bergemuruh seperti suara pertempuran terbuka di film-film kolosal.
Saya kalah. Di saat yang sama, waktu imsak seteguk lagi mendekati. Tidak ada pilihan.
John tidak hanya telah mengutil dadar. Nasi yang saya campur dengan gulai ikan kemamah sisa bukaan tadi juga tampak acak-acakan. Tinggal segenggam yang tak berarti.
Tapi, puasa tetap harus dilakukan dengan atau tanpa sahur. Saya harus tidur.
Saya tengah di awang-awang ketika sesuatu mengendap-endap ke atas badan saya. Lama-kelamaan sosok tersebut kian menggerayang dibarengi suara dengkuran.
Saya tahu itu John. Tapi, saya tak sanggup lagi untuk membuka mata. Amarah sudah terkuras habis. Lagian, marah hanya akan menghabiskan energi, pun perut telah kosong belaka dari asupan penghasil energi.
Saya lelah John. Saya capai.
Tiba-tiba, kucing bangsat itu telah meringkuk di antara pinggang dan perut saya, seperti orang kedinginan. Dengkurannya terasa semakin deras dan bikin nyaman.
Dalam hati saya tersenyum. Saya yakin John telah mengakui kesalahannya.
“Tenang, John, tenang, semua akan baik-baik saja,” ujar saya sembari menepuk-nepuk kecil pundak kucing tersebut. Sambil menahan perih yang kian membabi-buta di perut, saya sadar kalau saya telah masuk perangkap.
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )