Menjelang waktu berbuka di hari pertama puasa, saya duduk rapi di hadapan segelas air putih dan lima potong risol.
Satu menit, dua menit, tiga menit berlalu… masih belum terdengar juga suara sirene dari toa masjid, yang menjadi tanda bolehnya membatalkan puasa.
Air putih, yang berada di atas meja, menunjukkan ketenangan di dalam wadahnya. Saya ingin menjadi air dalam menjalani kerasnya kehidupan ini.
Kata Tetsuya, tokoh dalam bukunya Paulo Coelho, The Way of the Bow, “They have the qualities of water: flowing around rocks, adapting to the course of the river, sometimes forming into a lake until the hollow fills to overflowing, and they can continue on their way, because water never forgets that the sea is its destiny and that sooner or later it must be reached.”
Risol, dengan minyaknya yang meleleh-leleh, membaringkan dirinya di piring dengan pasrah. Mereka seperti kebanyakan memakai minyak rambut, yang ujung-ujungnya membuat piring becek di seluruh area.
Tidak tahu kenapa, tiba-tiba saya berpikir untuk memeras muka saya, dan membandingkan berapa liter minyak yang ada di muka saya dengan minyak di risol.
Setelah lama mengamati air putih dan risol, saya merasa bahwa takjil berbuka puasa saya ini sangat sederhana.
Saya membayangkan Henry David Thoreau berkata kepada saya, “Simplicity, simplicity, and simplicity,” lalu mengangkat jempol tangan dan membalikkan badan dan pergi.
Tentu, saya senang dipuji oleh Thoreau, tetapi di saat bersamaan pula, air mata saya keluar bercucuran membasahi pipi. Sampai kapan saya sanggup bertahan berbuka puasa hanya dengan air putih dan risol? Sampai takbiran Idul Fitri?
Sekonyong-konyong, saya teringat, puasa tahun lalu, mata saya memancarkan binar-binarnya. Mulut saya mengeluarkan bunyi, “Sluurp-sluurp” saat menikmati seporsi salad buah. Kata saya dalam hati, ini takjil terbaik dan terlezat yang pernah saya santap.
Saya bertekad akan membelinya setiap hari, meski untuk ukuran saya, yang perekonomiannya compang-camping, harga satu salad buah bisa membikin kantong saya koyak.
Dan memang benar, pada akhirnya kantong saya menjerit sekeras-kerasnya, dengan koyakan yang lebar sekali. Saya tidak mungkin menyiksanya lagi.
Maka untuk mengakalinya, saya berniat untuk membuat sendiri salad buah. Ini tidak susah, pikir saya. Saya cuma memerlukan buah-buahan sebagai bahan dasarnya.
Saya pun, dengan keyakinan yang tumpah ruah, melongok ke kebun belakang rumah untuk mencari buah-buahan, dan menemukan: buah pare, cabai rawit, daun sirih, singkong…
Saya juga mengingat, puasa tahun lalu, betapa bahagianya saya dan teman saya, ketika menenteng goodie bag takjil gratis yang dibagikan oleh satu perusahaan. Isinya ada sebotol air mineral, kolak, kurma, dan beberapa kue.
“Beginilah yang betul,” kata teman saya. “Yang punya rejeki berlebih, dibagikan ke orang-orang. Apalagi untuk yang kayak kita-kita ini. Miskin.”
“Emangnya kita miskin, ya?” tanya saya.
Dia tak menjawab.
Kami mulai terdiam, dan larut dalam pikiran kami masing-masing. Menghangatkan suasana yang sunyi, saya iseng menanyakan lagi ke teman saya, “Kau tahu nggak? Berbagi, berbagi apa yang orang nggak mau atau menolak?”
“Hah? Berbagi apa?” tanya dia balik. Mukanya kelihatan penasaran.
“Berbagi keranda,” jawab saya.
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )