Mengapa Junta Militer Myanmar belum Berhenti Meneror Rakyatnya?

Negara-negara barat boleh marah dan menujukkan keprihatinan mendalam dan menjatuhkan sanksi terhadap aksi teror junta militer Myanmar.

Pengunjuk rasa Myanmar berhadapan dengan polisi.(@news.sky.com)

~ Teror junta militer Myanmar tetap “aman terkendali” selama ada Rusia dan China

BNOW ~ Sehari sebelum perayaan hari angkatan bersenjata Myanmar, wakil menteri pertahanan Rusia Aleksandr Fomin berjabat tangan dengan bos junta militer Min Aung Hlaing.

Dalam video yang ditayangkan TV Zvezda milik kementerian pertahanan Rusia, anak buah Vladimir Putin itu menerima medali dan pedang seremonial dari Hlaing di ruang pertemuan yang penuh perwira militer berseragam hijau, Jumat pekan lalu.

“Anda, jenderal senior yang terhormat, ambil bagian dalam parade kami tahun lalu memperingati 75 tahun kemenangan Perang Patriotik Hebat,” ujar Fomin ke Hlaing, mengacu pada kemenangan Rusia saat Perang Dunia Kedua. “Dan kunjungan kami kali ini sebagai balasan untuk Anda.”

“Rusia adalah teman sejati,” ujar Hlaing keesokan harinya ketika ia dan Fomin menghadiri pawai di Naypyitaw, ibu kota Myanmar.

Selain Rusia, ada tujuh negara lain yang juga mengirim utusan yakni China, India, Pakistan, Bangladesh, Vietnam, Laos, dan Thailand. Namun, Rusia satu-satunya sekutu yang mengirim pejabat sekelas wakil menteri ke parade hari angkatan bersenjata, yang memperingati perlawanan Burma—sebutan Myanmar dulu yang kemudian diubah militer—terhadap pendudukan Jepang pada 1945.

Saat Hlaing menyematkan medali ke seragam Fomin, aparat junta mengumumkan di televisi MRTV yang dikelola pemerintah bahwa pengunjuk rasa yang menentang mereka akan ditembak. “Anda harus belajar dari kematian buruk sebelumnya bahwa Anda bisa terancam ditembak di kepala atau punggung,” bunyi pengumuman itu.

Baca Juga: Myanmar Mencekam, Tentara ‘Teroris’ Junta Kepung Desa

Aleksandr Fomin (kiri) menerima medali dari bos junta militer Burma Min Aung Hlaing, pada 26 Maret. (©RFERL)
Aleksandr Fomin (kiri) menerima medali dari bos junta militer Burma Min Aung Hlaing, pada 26 Maret. (©RFERL)

Keesokan harinya, ancaman itu menjadi kenyataan. Setidaknya 114 orang, termasuk seorang gadis berusia 13 tahun, dibunuh pasukan “teroris” junta di seluruh negeri ketika perayaan hari angkatan bersenjata ke-76 berlangsung.

Ini penumpasan paling brutal terhadap pengunjuk rasa prodemokrasi sejak kudeta militer bulan lalu. Dan di hari yang sama, Min Aung Hlaing dalam pidato parade mengatakan militer akan melindungi rakyat dan memperjuangkan demokrasi.

Tentu sulit dan terlalu celaka rasanya mempercayai seorang jenderal militer seperti Hlaing berbicara tentang “memperjuangkan demokrasi”. Sementara di saat yang sama, peluru-peluru bawahannya terus mengucurkan darah para sipil Myanmar.

“Junta membunuh kami seperti burung atau ayam, bahkan di rumah kami,” ujar Thu Ya Zaw, pengunjuk rasa di pusat kota Myingyan, seperti dikutip Reuters. “Kami akan terus memprotes…Kami harus berjuang sampai junta jatuh.”

Kematian pada Sabtu menjadikan jumlah warga sipil yang dilaporkan tewas sejak kudeta menjadi lebih dari 440 orang. Kecaman telah datang dari negara-negara barat. Diplomat Amerika Serikat, Inggris, bahkan UNICEF ikut menambah kecaman karena aparat junta juga menewaskan anak-anak.

Tapi kecaman-kecaman itu sepertinya tak akan membuat Min Aung Hlaing gentar. Kunjungan Fomin dan pernyataan yang dilontarkan keduanya memberikan isyarat bahwa di belakang junta ada negara besar yang bersedia “pasang badan”.

Negara-negara barat boleh marah dan menujukkan keprihatinan mendalam terhadap aksi teror junta militer Myanmar. Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Uni Eropa boleh menjatuhkan sanksi kepada junta dan jaringan bisnis militer yang luas. Tapi kunjungan Fomin menjadi tanda terkuat dari bentuk dukungan Rusia bagi penguasa militer baru di Myanmar tersebut. Min Aung Hlaing punya “kawan main” yang tidak main-main.

Baca Juga: Kisah Para Polisi Myanmar yang Menolak Perintah Tembak Mati Demonstran

Bagi Rusia, kata Fomin, Myanmar adalah sekutu yang dapat diandalkan dan mitra strategis mereka di Asia. “Federasi Rusia berkomitmen pada strategi yang bertujuan untuk memperkuat hubungan antara kedua negara,” ujar Fomin.

Mungkin, itu salah satu sebab Min Aung Hlaing tak sedikit pun menunjukkan niat  mengurangi tindakan brutal terhadap pendemo.

Selain Rusia, China juga menahan diri dari kritik terhadap aksi junta. Bagi Min Aung Hlaing dan para pembokatnya ini penting karena kedua negara tersebut anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Jika sewaktu-waktu Dewan Keamanan PBB menindak junta, China dan Rusia setidaknya dapat menjadi penghalang.

Hubungan Rusia dan Myanmar telah tumbuh dalam beberapa tahun terakhir dalam bidang pertahanan. Rusia tidak hanya memberikan pelatihan militer tapi juga menjual senjata ke Tatmadaw, militer Myanmar yang kini masuk daftar hitam beberapa negara Barat. Bahkan menurut riset Stockholm International Peace Research Institute, Rusia menjadi penyuplai sekitar 16 persen persenjataan Myanmar sejak 2014 hingga 2019.

Yadanar Maung, perwakilan Justice for Myanmar menilai Rusia melegitimasi keberadaan junta. “Rusia terlibat dalam kampanye teror militer terhadap rakyat. Kami terkejut para pejabat Rusia melakukan perjalanan ke Myanmar untuk melegitimasi junta militer ilegal.”

Kekagetan Maung juga pertanda bahwa hingga detik ini tidak ada yang dapat menghentikan Min Aung Hlaing beserta mesin militer junta. Dan rakyat Myanmar, seperti dinilai beberapa pengamat, harus berjuang sendiri menjemput demokrasi ke tanah air mereka.[]

Diperbarui pada ( 13 Maret 2024 )

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *