Myanmar Mencekam, Tentara ‘Teroris’ Junta Kepung Desa

PBB belum mengambil tindakan konkrit dan sejauh ini hanya sebatas mengutuk. Sementara setiap hari warga Myanmar mati ditembak tentara atau polisi.

Demonstran ditahan polisi saat unjuk rasa di Mawlamyine, Myanmar, 12 Februari 2021. @france24.com

BNOW ~ Penduduk lima desa di kota Depayin wilayah Sagaing, Myanmar, meninggalkan rumah mereka Jumat pekan lalu, 19 Maret 2021, setelah tentara junta “teroris” Myanmar datang mengepung.

Dilansir Myanmar Now, sekitar 180 tentara tiba di Desa Thabyaygone dengan 13 kendaraan militer sekitar pukul satu Jumat dinihari. Tentara kemudian menempati sebuah biara dan sekolah dasar. Mereka mendesak warga tetap tenang dan berjanji tidak akan menyakiti. Namun, seorang penduduk mengatakan semua warga memutuskan mengungsi.

“Itu seperti medan perang. Kami mengambil tas dan sapi kami lalu melarikan diri pada pukul empat pagi,” ujar pria itu. Dia menambahkan, hanya delapan dari 180 warga Thabyaygone yang tidak meninggalkan desa.

Menurut seorang warga yang tetap tinggal, tentara mengambil alih rumah-rumah kosong setelah para pemiliknya melarikan diri. Tentara juga mulai menjarah barang-barang dari toko desa. Bahkan, mereka meminta diberikan seekor babi.

Kemunculan tiba-tiba tentara kurang dari sehari setelah penduduk setempat bentrok dengan polisi di jalan antara Thabyaygone dan desa terdekat, Ti Taw. Insiden itu menewaskan dua polisi, satu orang selamat.

Baca Juga: Kisah Para Polisi Myanmar yang Menolak Perintah Tembak Mati Demonstran

Menurut Kementerian Penerangan yang dikendalikan junta, polisi yang terbunuh itu “diteror” oleh sekitar 100 orang sebelum diserang. Adapun polisi yang selamat dari insiden itu sedang dirawat karena tujuh luka akibat sabetan pisau.

Tentara Myanmar juga mengepung Desa Ti Taw. Sebanyak 15 truk tentara tiba Jumat malam. Ketika warga hendak pergi, tentara mulai menembakkan senjata di dekat gerbang desa.

Warga harus menunggu sampai malam tiba agar bisa mengungsi. “Ada yang menggendong anak-anaknya, ada yang membawa kantong beras. Kami harus mengambil beberapa pakaian dan kebutuhan lainnya. Kami bahkan tidak berani memegang senter. Terkadang hanya menggunakan lampu sepeda motor di sepanjang jalan. Kami harus lari untuk hidup kami,” ujar seorang penduduk Ti Taw yang ikut mengungsi.

Desa dengan sekitar 600 rumah itu sekarang benar-benar kosong, hanya berisi para tentara yang ditempatkan di sisi barat desa. Hal yang sama terjadi di desa Oak Si, Thayet Kan, dan Chaung Ni. Para warganya juga meninggalkan rumah karena takut tentara Myanmar juga mengepung desa mereka.

Pengunjuk rasa dengan busur panah. (©Reuters)
Pengunjuk rasa dengan busur panah. (©Reuters)

Julukan Teroris

Sementara di tengah tindakan represifnya dalam menekan warga Myanmar yang memprotes kudeta, rezim junta kini mendapat julukan baru sebagai “teroris”. Label ini disematkan oleh Committee for Representing Pyidaungsu Hluttaw atau CRPH—pemerintahan sipil paralel Myanmar.

Segera setelahnya, julukan junta teroris langsung diteriakkan di banyak platform media sosial, salah satunya Twitter. Di Twitter, banyak netizen membeberkan bukti kekejaman aparat junta dalam bentuk foto dan video melalui #WhatsHappeningInMyanmar. Jika mengulik tagar itu, akan terpampang banyak konten yang menampakkan korban tewas dan terluka akibat tindakan keji aparat junta.

Konten-konten itu—yang tidak dapat ditampilkan di sini dan belum diverifikasi kebenarannya—memperlihatkan ceceran darah para korban yang tewas, penangkapan dan penculikan warga sipil, penemuan selongsong peluru tajam, dan penampakan tentara yang membidik pendemo dari balik barikade.

Ada foto-foto yang memperlihatkan tentara dan polisi Myanmar merampas banyak sepeda motor, kemungkinan milik masyarakat. Sepeda motor tersebut selain dinaikkan ke atas truk juga dikendarai para aparat.

Beberapa foto memperlihatkan segerombolan tentara memamerkan smartphone yang tampaknya mereka “curi” dari sebuah counter HP. Sementara di sudut kota, sebuah foto yang dijepret dari atas rumah atau toko memperlihatkan korban tergeletak bersimbah darah. Diduga, korban tewas setelah peluru sniper menyasarnya.

Di sebuah kedai teh, rekaman video menunjukkan seorang anak muda dipukuli dengan kursi plastik oleh para polisi yang marah. Tidak jelas apa kesalahan yang dilakukan si pemuda.

Ada juga warga yang diperintahkan jalan jongkok di depan para petugas tanpa jelas apa kesalahannya. Sebuah cuplikan video juga memperlihatkan seorang polisi memerintahkan rekannya menembak ke arah demonstran, yang tidak tampak dalam video. Tidak diketahui apakah ada korban dalam penembakan tersebut.

Baca Juga: Junta Myanmar Tutup Lima Media Lokal

Hingga kini korban tewas akibat peluru rezim teroris junta semakin bertambah. Menurut kelompok advokasi Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik atau AAPP, rezim tersebut telah menewaskan sedikitnya 247 orang sejak kudeta militer.

Aksi brutal junta sepertinya belum mampu menggerakkan dunia berbuat lebih banyak. Kecaman demi kecaman memang terus datang dari negara-negara barat yang memperingatkan konsekuensi tindakan junta tersebut. Namun, semuanya masih belum jelas.

Perserikatan Bangsa-Bangsa bahkan belum mengambil tindakan konkrit dan sejauh ini hanya sebatas mengutuk. Sementara setiap hari tetap ada warga Myanmar yang mati ditembak tentara atau polisi.

Sembari tangan kekuasaannya mengucurkan darah sipil yang tak bersalah, para pemimpin junta tetap melenggang santai. Beberapa hari sebelumnya, Bos Junta Min Aung Hlaing tampil melalui konferensi video dalam acara pertemuan kepala pasukan pertahanan Asean ke-18. Sungguh disayangkan, di konferensi itu tidak ada pejabat militer Asean lainnya yang menyinggung situasi Myanmar.

Mungkin, yang mereka bahas adalah cara membuat peyek.

Selain menindak warganya dengan buas, rezim teroris Myanmar kini meningkatkan pemblokiran internet menjadi 24 jam untuk data seluler dan berbagai jenis layanan WiFi. Seorang pejabat senior dari sebuah perusahaan operator telekomunikasi seluler mengatakan kepada Myanmar Now bahwa direktorat telekomunikasi junta telah melarang akses internet dan penggunaan VPN atau jaringan pribadi virtual.

“Surat yang memerintahkan kami untuk memblokir internet masuk sekitar pukul tujuh setiap malam. Ribuan alamat IP harus diblokir. Memblokir banyak alamat IP dapat memperlambat kecepatan internet.”

Sementara itu, di balik barikade dan perlawanan warga Myanmar yang kini sangat membenci tentara dan polisi negaranya, berkembang semangat membentuk “tentara rakyat” yang diisi beragam etnis. Pasukan federal ini diharapkan menjadi pelindung warga sipil dari kekejaman Tatmadaw atau militer Myanmar, yang kini dipandang sebagai satu-satunya sumber masalah utama di negara tersebut.

Diperbarui pada ( 13 Maret 2024 )

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *