Sahur Stories: Antrean

Daripada pingsan disergap macet, saya dan Jacqy meloloskan diri saja ke Lambhuk, lalu Lampineung.

Sahur Stories

Ini Ramadan pertama di tengah status bencana nonalam pandemi corona. Masih dalam suasana imbauan pemerintah agar jaga jarak dan bekerja dari rumah.

Awalnya, saya kira akan sedikit orang yang lalu lalang di jalan-jalan mencari penganan berbuka, sekaligus menunggu waktu berbuka atau ngabuburit.

Fyi, saya baru kenal kata “ngabuburit” ini beserta artinya setelah dewasa. Waktu kecil saya belum paham karena kan masih ingusan.

Awalnya, hati saya agak yakin walau sempat nggak yakin (hadeuh, gimana sih ini maksudnya-red).

Maksud saya, pastilah lapak-lapak takjil akan mengalami penurunan omzet. Atau tidak banyak lapak yang buka.

Atau, lebih gawat lagi, jika pembelinya cuma mau melihat-lihat saja sambil mencari inspirasi untuk bikin penganan serupa.

Istilah yang dikenal di dunia para IRT, nyuri reseplah, gitu Bree.

Untuk membuktikan hipotesis di atas, hari pertama puasa saya memutuskan mengecek ombak bersama Jacqy_sepeda motor metik kesayangan saya.

Kami berkeliling dari Seutui, Neusu, Peuniti, Lampineung, hingga Lambhuk. Kelima lokasi ini setidaknya dikenal sebagai hotspot takjil Banda Aceh.

Seutui dan Neusu masih dalam kategori normal, belum merah. Ramainya masih seperti puasa tahun lalu.

Nah, berbeda dengan Peuniti. Kawasan ini, tepatnya di depan taman makam pahlawan berjejer penjual kuliner, dikenal sebagai zona merah kemacetan saat puasa.

Suasananya sangat ramai. Macet sudah pasti, karena tak jauh dari situ ada perempatan lampu merah.

Hari-hari biasa saja, lampu merah di situ sering tak dipedulikan orang (karena mereka sukanya lampu ijo-red) konon lagi sedang puasa.

Inilah hotspot macet numero uno.

Daripada pingsan disergap macet, saya dan Jacqy meloloskan diri saja ke Lambhuk, lalu Lampineung.

Di depan dinas pertanian bahkan sepanjang Jalan Nyak Makam memang jamak dikenal sebagai lokasi penjual kelapa muda, air tebu, dan aneka kue.

Saking saktinya kawasan tersebut, semua jenis kue ada di sana.

Jeng…jeng…jeng!

Satu hal yang pasti, hipotesis saya di awal tadi akhirnya patah. Boleh dikata, corona tidak bikin sepi lapak-lapak takjil. Pengunjung tetap ramai dalam antrean tanpa jaga jarak.

Mereka nggak risih berdesak-desakan beradu bahu tanpa memakai masker. Bahkan, saya menemukan pembeli yang tidak bermasker dan bertransaksi seolah-olah wabah corona belum menyerang bumi.

Kesimpulan sementara, corona makin nggak ada harga dirinya sama sekali di mata warga Banda Aceh.

Dan saya, akhirnya masuk ke dalam salah satu antrean tersebut. Soalnya, jika tak ikut antre, saya pasti akan absen mencicipi kue kesukaan saya pas bukan nanti.

Bukhan maen!

Ini sejatinya rubrik baru yang dibuat mendadak. Rencananya tayang selama Ramadan sebagai tempat menampung cerita-cerita terkait puasa. Buat Breeders yang mau berbagi cerita, email saja tulisanmu ke [email protected]. Panjangnya cukup 300 kata, ditunggu ya 🙂  

Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *