Rona Perempuan Puisi: Catatan Hidup Wiji Thukul

Dalam ‘Istirahatlah Kata-Kata’, saat menyaksikan adegan Sipon yang diam, saya bertanya-tanya, apa yang dirasainya. Jika itu kengerian dalam senyap, mengapa ia kuat?

Ini pertama kalinya aku menangis….
Ketika kamu pergi, aku tak nangis,
justru waktu kamu kembali, aku malah harus nangis.”

Ucapan itu yang terakhir ditoreh Siti Dyah Sujirah kepada suami yang ia rindukan. Kalimat yang seraya menyudahi perjamuannya. Sipon, nama aliasnya, teramat bersahaja meniup asap dapur sepeninggal lelakinya yang diburu tentara.

Sipon dituduh lonte, karena mengerjap diam-diam masuk hotel sampai semalaman. Tak ada yang tahu ia padahal membesuk Wiji, bahkan membawanya pulang berselindung. Namun, dalam perihnya cibiran tetangga, Sipon tetap diam.

Di hadapan anak, ia berupaya tegar. Ia hanya bungkam saat suaminya dicari-cari, rumahnya digeledah, buku dibredel, puisi diboikot.

Sipon tak menunjukkan barang secuil perlawanan pun. Ia bungkam saat anak-anak mungilnya diintimidasi. Sepatah katapun enggan dilayangkan, hanya sekilas wajahnya yang memelas perlahan. Dalam sunyi itu pula ia terus membendung air matanya berminggu-minggu demi Wiji Thukul, suaminya.

Perempuan itu seakan pagar kukuh saat diterjang badai represi. Tahun 1996, perlawanan mulai meruak dimana-mana. Buruh dan mahasiswa menyesalkan kekang penguasa yang telah merambat ke titik nadir.

“baju lain
celana lain
potongan rambut lain
buku yang dibaca lain
bahan percakapan lain
nama lain
identitas lain
ekspresi lain
menjadi
diri
sendiri
adalah tindakan
subversi
di negeri ini”

..tukas Wiji dalam pelariannya, 20 September 1996. Sepenggal puisi ‘Buron’ ini tepat menggambarkan latar bikinan sutradara Yosep Anggi Noen yang gelap, senyap, dan was-was sepanjang perjalanan sang sastrawan.

Film itu berjudul ‘Istirahatlah Kata-Kata’. Yosep merilisnya di Januari tahun 2017 lalu. Setelah sekian kali menyaksikannya, saya kian sulit menyekat imaji dan realita. Pertama kali seseorang menyuguhkannya pada saya beberapa waktu lalu. Sampai sekarang, saya tak bisa melupakan gejolak batin para pemeran yang ditampilkan film ini. Decak kagum tak habis-habisnya.

Gunawan Maryanto, hampir menjadi Wiji Thukul seutuhnya. Tatapannya yang kosong, renungannya, mimpi-mimpinya dalam temaram berteman lilin di gubuk-gubuk persembunyian, adalah pemandangan ala kadar yang menyirat sejuta pandang. Gunawan menyerap kegamangan Wiji yang lebih banyak berbicara dengan hatinya sendiri, dalam masa-masa perburuan itu.

Tak banyak percakapan, ‘Istirahatlah Kata-Kata’ nyaris sunyi dari musik latar. Yosep ingin menampilkan utuh adegan demi adegan, tegar, tanpa merengek-rengek. Tak perlu dawai biola untuk melunakkan hati, seperti film-film kebanyakan. Ia membiarkan rona dinihari dan redupnya lampu sebagai pengaya suasana. Kepulan asap rokok, deru mobil, hingga desir angin yang dipecah kayuh sepeda tua yang dititip untuk Wiji, telah cukup menjadi irama latar di film ini.

Yosep merangkai oase dalam pertunjukan karyanya. Kita dapat meresapi alur film hanya bermodal raut wajah dari masing-masing pemeran. Suara puisi yang menyelinap di sela perjalanan Wiji, adalah satu di irama itu sendiri.

Meski hanya sekelebat, kehadiran Sipon yang diperankan Marissa Anita diakui berbeda. Yosep sengaja membiarkan perempuan ini meresapi sendiri karakter istri dari aktivis dari Partai Rakyat Demokratik (PRD) itu.

“Sipon juga seorang aktivis, meski tak sepopuler Wiji. Sikap tegarnya menghadapi situasi sulit menjadi landasan untuk saya menampilkan karakter dia apa adanya,” kata Marissa seperti dilansir CNN silam.

Apa yang dialami Sipon, sahut dia, jauh lebih berat. Ia potret tak tepermanai dari perempuan di masa konflik. Dibekap perih dan tetap diam, Sipon terjerat dilema.

Dalam keadaan itulah perempuan ini jadi tameng bagi murka penguasa terhadap Wiji. Murka yang tak akan menjawab rintihan buruh, tani, dan mereka yang diculik di jalanan dan rumah-rumah. Kuasa, memang terlampau pongah saat si Jenderal menertibkan segala.

Dan dalam beberapa rentang, sisi subordinat kian kentara dalam kedigdayaan patriarki yang mengungkung situasi perempuan, terlebih di masa konflik. Dr Yakin Erturk, seperti dikutip dalam ‘Jalan Panjang Menuju Kesetaraan’ (Kompas: 2004) memastikan militerisme dan fundamentalisme sebagai konco yang saling mengisi untuk menindas perempuan, sekaligus sebagai alat melanggengkan kekuasaan sebuah rezim.

Perempuan ini ditinggalkan di rumahnya, dan sewaktu-waktu distigma dalam kesendirian itu. Dalam ‘Istirahatlah Kata-Kata’, saat menyaksikan adegan Sipon yang diam, saya bertanya-tanya, apa yang dirasainya. Jika itu kengerian dalam senyap, mengapa ia kuat?

Yang hanya mengobati, barangkali adalah kata-kata yang belum beristirahat selama lelakinya bergerilya. Puisi-pusi Wiji meruap dalam udara, mengiring sunyinya hari-hari yang redup di Jakarta dan belahan tempat jelang kerusuhan, beberapa saat sebelum penguasa orba, Soeharto lengser.

Rona Wiji mungkin redam, tapi pena terus menoreh di lembar-lembar kertas. Sipon menyambutnya, perlahan hidup sebagai perempuan puisi. Ia membait di detik-detik kerinduan Wiji, seperti saat lelaki itu terpana melihat bayi di gendongan seorang perempuan paruh baya tak jauh di luar persembunyiannya. Tepat ketika lampu padam, ia menyalakan lilin, lalu menyingkap tirai dan melihat bayi itu menangis karena takut gelap.

“Iya, kalau mati lampu, anak saya nangis,” kata perempuan itu saat disapa Wiji.

“Ayahnya mana, buk?” tanya Wiji.

“Ndak tau, udah berhari-hari nggak pulang,” balasnya.

Wiji tercenung. Ia membatin, barangkali Sipon mengalami kegalauan yang sama nun jauh di sana. Wiji, ternyata jauh lebih lemah ketika dihadapkan dalam jarak dan situasi yang serba sulit itu.

Ia tak tahan untuk pulang. Tapi Sipon, perempuan yang terlampau tegar. Hanya sepintas guratan senyum yang menyambut persuaan mereka. Setelahnya, Wiji harus kembali buron, menyambut kejatuhan penguasa dengan deretan puisi-puisinya, lalu hilang entah kemana.

Tangis Sipon akhirnya pecah juga. Tapi kalimat terakhir yang menyambut kegelapan di akhir film, senantiasa saya ingat. Karena kalimat itu barangkali yang menggambarkan perasaan hampir semua perempuan yang kehilangan, seperti Sipon terhadap Wiji, juga Suciwati terhadap Munir, Sumarsih terhadap Wawan.

“Entahlah, aku ndak tahu harus bahagia atau sedih..

….aku ndak pernah mau kamu pergi, tapi aku juga nggak mau kamu pulang,

….aku cuma mau..kamu ada..”

Sipon berkata lirih. Tangisnya tumpah, lama.

Ia kembali tegar, kembali kesepian, meraih gagang sapu dan membersihkan lantai. Mungkin isak tangisnya bisa reda perlahan. Ia kembali senyap dihantar rona sebagai perempuan puisi. Yang tenang dalam temaram, dalam rasa penuh ketidakpastian, menyisakan wajah Wiji ke anak-anaknya, hingga kini.

Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )

Facebook Komentar

One thought on “Rona Perempuan Puisi: Catatan Hidup Wiji Thukul

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *