Bohong, Dari Ketawa Lalu Teperdaya

Selagi memantau akun medsos artis idola, alangkah baiknya memastikan setiap kabar burung yang beredar liar mengepak-ngepakkan sayap dan berak di kepala.

Ilustrasi Freepik

Bohong, kamu tukang bohong
Bohong, ku tak percaya
Katanya hanya diriku
Pacarmu satu-satunya……..

Jika Anda penggemar berat musisi kawakan Deddy Dhukun, tentu lirik lagu ini tak asing. Pria yang membentuk trio “maut” Kelompok Tiga Suara (K3S) bersama Bagoes AA dan Dian Pramana Poetra ini lihai menggubah lagu-lagu yang membuat pendengarnya berjoget ria.

Sembari membayangkan nuansa tahun 80-an ketika diva pop kenamaan Vina Panduwinata menyanyi dan berdansa di lantai yang memantulkan kelap-kelip lampu disko, saya menyanyikan lagu Bohong ini dengan genit, di…kamar mandi.

Menariknya, K3S jelas-jelas tidak mendendangkan lagu Bohong dengan komposisi musik yang melankolis, seperti Tenda Biru-nya Desi Ratnasari atau balada kepergian sang kekasih yang dinyanyikan lirih oleh Betharia Sonata.

Jika Anda mendengarnya, terungkap K3S menguak kebohongan (sifat yang sama sekali tak terpuji) dengan komposisi yang ceria.

Sebentar, maksudnya ada segelintir orang yang memilih menertawakan dirinya sendiri usai dibohongi? Bisa jadi.

Sebagai penikmat lagu-lagu lawas, saya akui kerap mengoleksi karya-karya komposer yang terdengar menggelitik. Namanya saja proses abstraksi dari realita yang dirasakan.

Seorang seniman tentu mampu mereguk hal-hal penting dan meresahkan dalam hidup ini, kemudian menyusunnya dalam bentuk lirik-lirik yang indah. Meski nantinya tergantung cara menyajikan hasil karya itu ke orang-orang.

Sebagian lirik cenderung deskriptif, lainnya bisa klise disertai bumbu-bumbu pengaya rasa, mau yang serius atau kocak.

Selain itu, menertawakan diri-sendiri, seperti yang disebut komedian Ernest Prakasa, bisa jadi bagian dari terapi psikologi.

Pelawak bermata sipit ini punya pengalaman menyakitkan di masa lalu. “Ernest bisa dengan mudah melontarkan lawakan soal matanya yang sipit, kulitnya yang putih, atau pengalaman buruknya dikata-katai China,” tulis cnnindonesia.

Nah, Breeders, ternyata kesedihan bisa dikemas ceria.

Sampai di situ, saya akhirnya maklum dan pelan-pelan menyanyikan lagu Bohong-nya K3S yang liriknya sebetulnya sendu, yakni bercerita tentang lelaki yang terkibul sang kekasih (dan yang lebih menyakitkan, menangkap basah perempuannya yang tengah bercumbu dengan lelaki lain), tapi dinyanyikan dengan irama riang dan jenaka.

Sarkas bukan? Semudah berucap, “Saya diselingkuhi ya? hehehe..lucunya hidup saya.”

Lantas, apakah semua contoh pengibulan kasih-kekasih ini cukup ditertawakan? Mungkin iya. Tapi, jika ini dijustifikasi oleh misalnya, catatan 2015 bahwa potensi angka jomblo yang mencapai 52 juta orang (dengan rentang usia 18-40 tahun) dan berimbas pada meningkatnya intensitas keaktifan di situs-situs biro jodoh di Indonesia, maka, percayalah Breeders…ada masalah serius pada “percumbuan dengan orang lain”.

Baca Juga: Hajat dan Jatah Mampu Mengubah Orang Menjadi Jahat

Kita perlu berpikir keras untuk mengantisipasinya, sebelum kecemburuan sosial membludak di kemudian hari.

Oke, selesai membahas trio K3S, sebaiknya saya tidak berpanjang-panjang. Karena di lagu Bohong, Dian Pramana Poetra dan kawan-kawan juga tak bermaksud gusar selain dalam persoalan hubungan sepasang manusia, yang rada-rada kurang sehat di akal itu.

Lagipula, jika kita menarik dua kata saja dalam pembahasan ini, ‘bohong’ dan ‘tertawa’, kadung mengingatkan saya pada kebohongan-kebohongan lain yang baiknya kita tertawakan saja, ketimbang diserapahi.

Apalagi, jika ada kebohongan yang berhasil mempecundangi orang banyak.

Tentang ini, apa-apa yang terjadi hingga berdampak pada pengibulan secara massal, selalu bikin kita terpingkal-pingkal. Bukan saja karena ada peran manusia yang telah dianugerahi akal pikiran namun tak kunjung mau melakukan verifikasi di situ, tapi tertawa juga tanda dari kepasrahan yang tak tepermanai.

Karena pengibulan yang memakan korban secara massal cukup menentukan jalan sejarah, sebagaimana kata Joseph Goebbels, “kebohongan yang disampaikan berulang-ulang, akan jadi kebenaran.” Setelahnya Nazi pun berjaya di Jerman, menuruti angan-angan Hitler yang megalomaniak.

Namun, sungguhkah kita bersenang-senang di balik tertawaan itu? Mungkin. Tapi porsi keprihatinannya mesti lebih besar, saya kira.

Apalagi, era Post-Truth__di mana keyakinan lebih didasari emosional ketimbang rasional__yang hadir belakangan ini amat mendukung merebaknya kebohongan kentara (obvious lies), yang memang direncanakan untuk membangun ketakutan.

Sampai di sini, masihkah Anda tertawa? Hehe.

Beberapa pekan ke depan kita bakal akrab tentang bahasan teknik propaganda Firehose of Falsehood, yakni upaya menjejali orang-orang dengan kebohongan yang jelas secara bertubi-tubi hingga membuat mereka yang melawannya, harus menyerah, lalu malah berbalik membenarkannya.

Duh, kok bisa?

Ilmuwan senior dari RAND Corporation, Christopher Paul bilang, sebuah kebohongan mampu memperdaya massa jika ia disampaikan dengan volume tinggi dan dalam jaringan yang luas (high volume and multichannel).

Sembari itu, konten bohong pun perlu disampaikan secara cepat, berkelanjutan, dan berulang-ulang (rapid, continuous, and repetitive).

Berikutnya, karakter dari teknik Firehose of Falsehood adalah tidak adanya komitmen, baik terhadap realita objek (no commitment to objective) maupun soal konsistensi. Jadi, sedari awal niat mengibuli orang sudah membara dalam dada.

Tahu kan wadah apa yang mampu menampung jalannya teknik ini? Ya, Media Sosial!

Baca Juga: Media Sosial Alternatif Agar Tetap Eksis

Karenanya, selagi memantau akun Instagram ataupun Twitter milik artis idola, alangkah baiknya juga memastikan setiap kabar burung yang beredar liar mengepak-ngepakkan sayap dan berak di kepala.

Caranya, perkayalah informasi dan baca sumber-sumber yang terverifikasi. Lakukan berulang-ulang dengan giat. Segiat pembohong yang juga mengibuli kita  berulang-ulang.

Sulitkah?

Jika sulit, maka baiknya tertawa saja, jika menurut kita tertawa usai dikibuli itu lega rasanya. Setelah lega, tunggu saja dikibuli lagi dan tertawa lagi. Toh, pembohong juga butuh kita kan.

Tanpa kita, bagaimana mereka bisa mengelabui lebih massal, dan berulang-ulang. Karena jika tak berulang, tak bisa dibangun pembenaran.

Dan tak dapat dipungkiri bahwa pembenaran, seiring berjalannya era Post-Truth, memang ada dan dipercaya beramai-ramai.

Memangnya apa yang lebih lucu dari hidup mengejar realitas yang diinginkan sesuai selera, ketimbang kebutuhan akan kebenaran (tapi kita tak selera menerimanya)?

Ada pesan bijak, “bencilah sekedarnya, dan cintailah sekedarnya.” Tapi, jika itu berat, maka tertawalah dengan kebohongan yang didapat hari-hari ini. Mungkin itu bisa bikin lega. Selega berak pagi-pagi sambil mendendangkan lirik dengan genit,

Bohong….kamu tukang bohong…tak dung-dung..

Diperbarui pada ( 25 Maret 2024 )

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *