Pengusir Setan itu Bernama Ceudrie

Padahal, teungku yang mengajar di balai itu terkenal killer. Sosoknya saja sangar betul. Brewok yang menghiasi muka ditambah kulit beliau yang hitam bikin saya meutat tat bulee kok watee takalon (merinding bulu kuduk kalau dilihat).

Ilustrasi ceudri

~ Ini bukan ritual pengusiran setan, ya

“Ku ceudrie enteuk (saya ceudrie nanti).” Ini salah satu kalimat orang tua yang hendak memberi hukuman kepada anaknya karena berbuat kesalahan.

Sebagai putra asli Pidie, saat masih berusia delapan hingga sembilan tahun, saya kerap menyaksikan ceudrie dilakukan. Ceudrie seperti sebuah adat berbentuk hukuman fisik bagi anak-anak yang nakal, lalai, dan beu o seu iet alias malas jinak.

Kadang kala, kenakalan si anak sudah tak bisa ditolerir atau melampaui batas. Ada juga karena dianggap mempermalukan nama baik keluarga. Atau anak tersebut melakukan kejahatan yang merugikan orang banyak seperti mencuri, mencopet, dan menganggu kenyamanan orang lain.

Ceudrie artinya melibas atau memukul. Sebagai kata kerja, ia hampir mirip dengan seupot atau seupeut yang artinya kurleb sama.

Di-ceudrie artinya dilibas dengan alat. Jadi bukan pukulan tangan kosong ala Iko Uwais. Nah, alat yang digunakan untuk ceudrie ini tidak sembarangan. Ada dua pilihan yang kerap tersedia: lidi dan ranting pohon on keureundong atau kuda-kuda. Jarang terdengar ada anak terkena sebat (bukan akronim sebatang) dengan batang bambu, batang kelapa, atau batang-batang lainnya seperti batang seledri.

Ceudrie biasa dilakukan di area tubuh yang keras atau lebih empuk. Misalnya punggung dan pantat, tangan, dan betis.

Jika sasarannya betis, penyebatan dengan memakai lidi bakal menimbulkan rasa sakit yang tidak romantis. Pedih plus perih. Tapi masih pedih ditinggal mantan kawin, sih. Kulit seperti dikuliti dan biasanya meninggalkan bekas merah mirip sayatan.

Bagaimana jika alatnya memakai ranting kuda-kuda? Tergantung ukuran rantingnya. Makin besar ukuran ranting persentase perih dan pedih pada tubuh juga bertambah. Bahkan, bisa saja menimbulkan getaran-getaran tambahan pada tulang selepas “eksekusi”.

“Pelaku” ceudrie bukan hanya orang tua. Ceudrie juga dilakukan oleh guru di sekolah dan teungku di balee beut (balai pengajian).

Biasanya murid atau santri yang terkena ceudrie adalah mereka yang tidak membuat tugas, pekerjaan rumah, atau tidak menghafal apa yang diperintahkan. Di sekolah atau di balee beut, ceudrie bisa dilakukan secara langsung (dalam proses belajar mengajar) dan tidak langsung (ancaman bagi yang tidak membuat PR).

https://www.instagram.com/p/BzfiMwAH0BA/

Ceudrie secara langsung dilakukan ketika guru atau teungku sedang menjelaskan pelajaran atau mensyarah kitab, ada murid atau si santri malah asyik ngobrol dengan temannya. Secara spontan murid yang demikian langsung didatangi oleh guru dan ditanyakan dengan nada keras “Sampai di mana tadi kujelaskan, kenapa tidak disimak?,” ujar si guru sambil menceudrie si murid.

Nah saya sendiri sudah pernah merasakan ceudrie ini baik dilakukan oleh Allahuyarham Ayah saya maupun oleh teungku di balai pengajian.

Saya di-ceudrie oleh ayah karena telat pulang sekolah gara-gara pergi ke rumah teman untuk main Playstation. Keasyikan bermain, saya lupa pulang. Tiba-tiba Ayah nongol. Beliau rupanya datang dengan misi mulia untuk menjemput anaknya yang sedang “les private”.

Belum habis kaget, setiba di rumah saya langsung menjalani “prosesi” ceudrie. Rupanya Ayah sudah menyiapkan on keureundong yang ditaruh di jerjak pintu. Batang kuda-kuda itulah yang dipakai untuk men-ceudrie saya. Untung Ummi saya melerai cepat dan melepas saya. Alhamdulillah, ceudrie tidak tuntas. Saya kapok sesudah itu. Tak mau lagi keluyuran selepas bubar sekolah.

Ceudrie selanjutnya saya rasakan saat di balee beut. Waktu itu saya tidak bisa menghafal isi kitab tapi malah sibuk berbicara dengan teman di sebelah. Ya biasalah, anak-anak memang susah fokus. Cicak lewat pun jadi bahan obrolan.

Padahal, teungku yang mengajar di balai itu terkenal killer. Sosoknya saja sangar betul. Brewok yang menghiasi muka ditambah kulit beliau yang hitam bikin saya meutat tat bulee kok watee takalon (merinding bulu kuduk kalau dilihat). Malam itu, saya lupa itu semua karena sebuah topik obrolan yang asyik. Akibatnya, saya harus merasakan kebengisan ceudrie beliau.

Belakangan ini saya tidak tahu pasti, apakah ceudrie masih dilakukan. Jika iya tentu itu termasuk kekerasan pada anak-anak. Telah ada regulasi yang mengatur hak-hak dan perlindungan anak.

Terlepas dari itu, saya tidak pernah mendendam terhadap orang-orang yang men-ceudrie saya. Apalagi, melakukan hal serupa kepada anak saya. Ceudrie telah saya anggap sebagai penawar melawan malas dan hukuman pengingat jangan sampai melakukan kesalahan tingkat dewa alias batat that. Kalau kata teungku di balai pengajian, “Ceudrie nyak jiplueng jen lam badan (ceudrie biar lari setan dari badan).” Karena setan dianggap membawa sifat malas dan penyakit tidak baik lainnya. Jika dulu kamu sering di-ceudrie, Bree, tinggal hitung saja berapa jumlah setan yang sudah diusir dari badanmu 🙂

Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *