John Wick, Sebelum Ada Jack Reacher dan James Bond

Persentuhan saya dengan John Wick agak buram. Maksudnya, walaupun bukan film favorit, John Wick yang pertama saya putar kalau ada kawan berkunjung ke rumah.

Karakter James Bond, John Wick dan Jack Reacher

~ Jangan sampai kamu Ter-John-Wick-kan atau Ter-Jack-Reacher-kan ya Bree

Hingga artikel ini tayang, John Wick sudah punya tiga seri. Dan Keanu Reeves masih keren dengan cambang hitamnya. Nggak tahu jika dipermak dengan FaceApp bakal setua apa muka beliau.

Sebelum membahas John Wick, izinkan saya ngoceh sedikit banyak soal James Bond: Agen Rahasia 007 atau “Double Oh Seven”. Film ini diproduksi sejak sebelum cekakak-cekikik Nini Pelet bikin merinding bocah-bocah zaman DOM di Aceh. Hingga era game seperti pabji levelnya menyamai mirasantika James Bond masih akan diproduksi. Katanya.

Serial James Bond hadir untuk menunjukkan kepada dunia bahwa dari tanah Inggris ada seorang agen em ai six (MI6) nan hebat. Yang sanggup mengalahkan lawan-lawannya dengan cerdik tapi terkadang terkulai tak berdaya di depan wanita.

Film-film James Bond memiliki alur dan plot yang kerap sama. Ceritanya gampang tertebak; kisah special agent yang harus mengungkapkan kejahatan dunia. Siapa pun bandit di film-film Bond akan tetap kalah karena pada akhirnya kebaikanlah yang menang.

Untuk kamu penggemar film India, plot happy ending begini mungkin sudah biasa. Namun, bagi para penonton setia Tukang Ojek Pangkalan, ini sebuah kemewahan. Nonton/unduh James Bond di situs bajakan dengan laptop bersistem operasi bajakan sambil ditemani cemilan kesayangan. Rasanya seperti ( … silakan isi sendiri … )

Seperti yang sudah kamu tahu, Bre, para pemeran James Bond selalu pria yang berbeda-beda. Tidak pernah James Bond diperankan oleh wanita. Para pemerannya tetaplah para pria yang “keeps on being natty, naughty and nifty to the end”, sebut New York Times.

Di antara aktor utama, Sean Connery paling “rakus”. Dia bermain dalam tujuh film Bond: Dr. No (1962), From Russia With Love (1963), Goldfinger (1964), Thunderball (1965), You Only Live Twice (1967), Diamonds Are Forever (1971), dan Never Say Never Again (1983).

Perbedaan lainnya yang khas dari film Bond adalah para wanitanya (yang tak perlu kita bahas) dan teknologi yang digunakan (yang bakal saya kupas walaupun tak tuntas).

Untuk menunjang aksi-aksi James Bond membekuk musuh, MI6 sebagai badan intelijen Inggris, membekali Si Agen minyak tanah Rahasia ini dengan peralatan-peralatan istimewa. Alat-alat dibuat khusus untuk Bond. Belakang, alat-alat itu dijual di dunia nyata.

Sebelum diangkat ke layar lebar, James Bond merupakan karakter fiksi yang diciptakan penulis Inggris bernama Ian Fleming pada 1953. Ada 12 novel Fleming yang bercerita tentang James Bond. Setiap novel diadaptasi menjadi film. Kurang lebihnya begitu, Bree.

Film James Bond pertama diproduksi pada 1962. Judulnya Dr. No, diperankan oleh Sean Connery. Film ini berbujet rendah tapi topik yang diangkat tentang nuklir.

Sepintas tidak aneh karena ketika itu Perang Dingin sedang berlangsung. Dunia Barat dengan “ketua kelasnya” Amerika Serikat saling lempar es dengan “Geng Blok Timur” yang dipimpin Uni Soviet.

Eh, nggak ding, Perang Dingin ini maksudnya kedua belah pihak tak terlibat perang langsung. Namun, setiap pihak memiliki senjata nuklir.

Akibatnya, dunia pun tegang. Bahkan menciptakan beberapa konflik lain di beberapa tempat. Misalnya, entah ada hubungan atau tidak, pada 1962 tercetus Perjanjian New York yang diprakarsai Amerika Serikat agar terjadi pemindahan kekuasaan atas Papua Barat dari Belanda ke Indonesia.

Mungkin kalian berpikir tema nuklir sudah usang dan James Bond tak akan memakainya lagi. Apalagi, baru saja topik ini dimunculkan dalam serial teranyar HBO, Chernobyl, yang dipercaya akan mengalahkan kedigdayaan GoT. Percayalah, tema nuklir ini akan diangkat lagi dalam film Bond edisi terakhir.

https://www.instagram.com/p/B0Aw7-4HmGJ/

Kembali ke Dr. No. Di serial ini tidak begitu jelas apa alat tempur penting yang dipakai James Bond. Kalau bicara senjata, “hanya” pistol Walther PPK. Ini senjata khas Bond. Hingga Tomorrow Never Dies (1997), pistol itu masih dipakai tapi generasi Walther P99. Beralih lagi ke Walther PPK saat Quantum of Solace tayang.

Berbeda pada cerita asli novelnya, senjata api pertama yang digunakan James Bond adalah Beretta 418. Sejak novel pertama James Bond, Casino Royal, Fleming menuliskan senjata api utama yang dipakai si jagoan adalah Beretta 418.

Alasan Beretta diganti Walther diceritakan di dalam novel From Russia, With Love. Insidennya agak sepele untuk ukuran intel kelas dunia wayang macam Bond. Gara-garanya, peredam Beretta tersangkut di ikat pinggang. Akibatnya, Bang Bond susah menarik pistolnya itu.

Teknologi yang dipakai dalam Dr. No adalah pemancar radio. Bukan radio untuk mendengar serial Nini Pelet, ya. Pemancar ini tersembunyi di balik panel palsu pada rak buku. Gunanya untuk mengirim informasi ke London.

Untuk ukuran sekarang teknologi itu terlihat vintage tapi bayangkan jika James Bond beraksi di daerah seperti Bener Meriah? Mati lampu sering, internet lelet, tentulah sebuah pemancar radio sangat berharga.

Beranjak ke Thunderball, peranti canggih lain yang digunakan adalah kamera infra merah bawah air. Kamera ini digunakan Bond untuk memotret kompartemen rahasia di bawah yacht.

Selain itu, ada kamera mini yang disamarkan menjadi pemantik api. Sepintas, alat ini menjadikan Bond mirip perokok yang Mokondo alias modal korek doang dalam Moonraker (1979).

Sejauh ini, perjuangan agen 007 selalu sukses dan diselimuti teknologi canggih yang bikin kepala geleng-geleng. Namun__tanpa bermaksud nyinyir (padahal iya), di tengah kian canggihnya dunia saat ini, timbul kejenuhan akan peralatan mutakhir Bond. Apa sisi hebatnya bila mata-mata seperti Bond selalu dibekali gadget canggih? Di manakah letak heroiknya?

Mungkin, karena Bond manusia biasa maka ia perlu dibekali dengan aksesoris atau pembeda dari Hulk, Spider Man, atau super hero lainnya.

Meme Q gadget canggih
“Maksudmu, pena yang bisa meledak? Maaf, kami tidak membuatnya lagi.” (SUmber meme: weheartit.com/entry/53679722)

Saat Skyfall diluncurkan, film ini sudah mengurangi penggunaan teknologi canggih. Bond mulai terlihat semakin “real” sebagaimana manusia biasa yang mengandalkan fisik dan strategi dari otaknya. Ada isu yang beredar, alasan direduksinya “alat tempur” Bond karena produser ingin menghemat anggaran.

Isu lainnya, banyak alat band yang dipakai Bond sejak film pertama hingga terakhir dibuat tiruannya oleh third party alias “partai ketiga” dan dijual di toko onlen. Bahkan copycat ini muncul dalam desain dan kecanggihan berlebih. Ambil contoh kamera infra merah yang disebutkan di atas tadi. Sekarang sudah banyak modelnya, bahkan mampu merekam gambar berkualitas tinggi.

Dua isu di atas memang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Namun, di sisi lain banyak fans James Bond kecewa. Mereka tertarik film-film franchise itu karena variasi sentuhan teknologi di dalamnya.

Bahkan, kekecewaan kian menjadi ketika karakter Bond diubah kian manusiawi. Fisik Si Agen digambarkan mulai lemah syahwat dan pikirannya kerap dihantui masa lalu. Karakter terburuk lain yang disematkan adalah Bond mulai menjadi pemabuk. Perubahan ini mungkin agar Bond terbiasa memakai jurus mabuk ketika berkelahi dengan musuh.

Antitesis dari James Bond adalah Jack Reacher. Ini salah satu karakter jagoan kuat, cerdas, tapi introvert. Jika kamu setuju angkat jempol tinggi-tinggi.

Reacher bisa disebut sebagai pahlawan missqueen tapi temperamental. Dia kerap kekurangan dana. Reacher tidak memiliki senjata canggih karena ia tidak menyukai teknologi. Dia berjuang sendiri mengandalkan tinju, kaki, kepala, dan barang-barang di sekitar yang bisa dipakai. Musuh-musuhnya dihukum sendiri melalui pengadilan jalanan ala Reach yang bekas polisi militer ini.

Lelaku Tom Cruise di sini berkebalikan 360 derajat dengan perannya sebagai Ethan Hunt di Mission Impossible (MI). Di MI, Ethan bergelimang peranti canggih.

Di belakangnya, ada tim pendukung dengan keahlian masing-masing. Ibarat bikin PR, Tom Cruise yang jadi ketua kelompoknya. Dia bisa bergelantungan di mana-mana, mampu menaklukkan misi paling mustahil sekali pun dan yang terpenting: Ethan Hunt tidak mati-mati. Hal ini tidak sepenuhnya salah karena para pahlawan dalam film jarang dimatikan supaya penonton tak rugi membeli tiket.

Jika Jack Reacher dilengkapi teknologi canggih seperti Ethan Hunt, rasanya kurang pas. Begitu juga sebaliknya. Beda halnya dengan mengadopsi teknologi replika wajah manusia ala Men In Black. Wajar-wajar saja digunakan dalam MI karena Tom Cruise terkadang muak melihat wajah aslinya.

Saya sendiri harus mengakui, sangat menyukai aksi Jack Reacher. Sayang, franchise Jack Reacher hanya hadir dalam dua seri: Jack Reacher dan Jack Reacher Never Go back. Apalagi dengan keberhasilan dan aksi John Wick, mustahil Jack Reacher bisa tampil lagi.

Persentuhan saya dengan John Wick agak buram. Maksudnya, walaupun bukan film favorit, John Wick menjadi film pertama yang saya putarkan kalau ada kawan berkunjung ke rumah. Aksi John Wick tanpa henti hingga menit terakhir, lebih bikin mata melek ketimbang film aksi tapi penuh dialog tentang lika-liku strategi.

Saat menulis ini, saya belum menonton John Wick: Chapter 3 – Parabellum yang sudah menggusur Avengers: Endgame dari posisi puncak box office. Hanya melihat trailernya saja. Maka mustahil saya tulis review apalagi spoiler-nya.

Dari sudut pandang sebagai penonton film, saya lebih memilih John Wick dibandingkan Jack Reacher. Kalau Anda jeli pada John Wick pertama, sosoknya betul-betul cerdas, hebat, dan super kuat.

Pada menit-menit pertama, karakter John Wick dibangun sebagai sosok yang rapuh. Setelah itu barulah terlihat ternyata John sosok yang paling ditakuti. Dia pembunuh bayaran yang mampu menghabisi lawan hanya dengan sebatang pensil. Ckckck. Jagoan hebat memang tak butuh teknologi canggih.

Di film John Wick pertama hanya dialog saja soal keahlian John membunuh tiga mafia dengan sebatang pencil. Pembuktiannya baru diperlihatkan saat John Wick Chapter 2.

Dari segi cerita, John Wick hanya mafia insaf. Namun, setelah mendapat “hidayah” John terpaksa kembali lagi ke dunia hitam. Alur cerita seperti ini sering kita temui pada film-film Hollywood lain.

Namun, kekuatan cerita John Wick terletak pada plot yang tidak biasa. Biasanya, jagoan Hollywood dibangun sosok biasa lalu menjadi luar biasa. Istilahnya, from zero to hero.

John Wick berbeda. Sebagai karakter utama, ia jagoan hebat. Sedangkan bandetnya cuma mafia hebat yang memiliki segalanya tapi ternyata sangat lemah dan rapuh. Kita sebagai penonton tidak cemas dengan si tokoh jahat.

Yang membuat kita terlena sepanjang film adalah aksi John Wick dalam berlaga, adu tembakan hingga gestur tubuh yang lelah secara alamiah sangat realistis dimainkan Keanu.

John Wick layak ditonton walaupun bukan film favorit. Apalagi, di John Wick 3, Keanu Reeves harus menghadapi mafia dari Indonesia. Belum jelas akibat sebab apa penjahat ini harus dibasmi.

Rupanya kalau terkena sentuhan FaceApp, beginilah rupa Abang Keanu, hihihi ...
Rupanya kalau terkena sentuhan FaceApp, beginilah rupa Abang Keanu, hihihi …

Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *