Seratus tahun lalu, tepatnya 1 Juni 1921, komunitas kulit hitam Amerika Serikat yang tinggal di Distrik Greenwood, Tulsa, Oklahoma, dibantai secara keji oleh massa kulit putih. Rumah-rumah di Greenwood rata tanah. Ratusan orang kulit hitam tewas tanpa pernah mendapatkan keadilan.
Para pejabat kota, polisi, dan aparatur berkulit putih lainnya mendukung pembantaian itu. Tragedi itu tidak pernah diceritakan dan ditutup-tutupi. Bukti-bukti berupa foto disembunyikan polisi agar tak diketahui publik. Bahkan, mereka mengubah narasi kejadian itu dari pembantaian menjadi “pemberontakan” orang kulit hitam.
Hingga seratus tahun kemudian, pelaku tragedi yang menjadi sisi terkelam dari wajah “demokrasi” Amerika itu, belum juga dihadirkan ke pengadilan. Sementara korban-korban yang selamat, selama bertahun-bertahun, menyaksikan sendiri para pelaku berkeliaran di depan mata mereka.
Pembantaian Ras Tulsa, begitu media-media Amerika menyebutnya, dipicu isu tuduhan “penyerangan” terhadap perempuan kulit putih bernama Sarah Page, 17 tahun, oleh pria kulit hitam bernama Dick Rowland, 19 tahun, di sebuah lift.
Satu detail yang menceritakan kisah itu menyebutkan, pada 31 Mei, Rowland yang saban hari bekerja sebagai penyemir sepatu, tersandung dalam lift dan tangannya secara tidak sengaja menyentuh pundak Page.
Page berteriak dan Rowland melarikan diri. Dia kemudian dilaporkan ke polisi dan ditahan. Page sempat dipanggil polisi tapi dia menolak mengajukan tuntutan.
Ketegangan kian meningkat setelah koran komunitas kulit putih, Tulsa Tribune, menyematkan berita provokatif di halaman depannya yang berjudul “Nab Negro for Attacking Girl In Elevator”. Koran ini juga menulis editorial menghasut yang berjudul “To Lynch Negro Tonight”. Artikel-artikel ini dipercaya sebagai salah satu pemicu pembantaian.
Segera setelah berita itu dibaca banyak orang, desas-desus tentang tentang hukuman gantung untuk Rowland menyebar ke seluruh Tulsa. Massa kulit putih kemudian berkumpul di luar gedung pengadilan tempat Rowland ditahan. Jumlahnya, kata Profesor Scott Ellsworth, sejarawan Universitas Michigan, sekitar seribu orang.
Baca Juga: Payah, Baru Sekarang Amerika Punya Wapres Perempuan
Di sisi lain, sekelompok penduduk kulit hitam Tulsa juga datang ke sana untuk membantu melindungi Rowland. Beberapa membawa senjata. Tapi rencana itu berubah kacau saat seorang pria kulit putih tua berusaha merebut senjata dari seorang pria kulit hitam yang tinggi. “Dan senjata itu meledak,” ungkap Ellsworth.
Terjadi baku tembak. Orang-orang kulit hitam terpaksa mundur ke Greenwood. Lingkungan ini dipisahkan oleh rel kereta api yang membagi kota antara masyarakat kulit putih dan kulit hitam. Saat itu, walaupun perbudakan telah dihapus, banyak negara bagian di Amerika Serikat memberlakukan ‘Jim Crow’, undang-undang yang menerapkan pemisahan ras dalam segala bidang.
“Di Greenwood, beberapa penduduk mempersiapkan diri mempertahankan rumah dan kehidupan mereka, sementara yang lain memutuskan melarikan diri,” ujar Ellsworth.
Lalu pada dini hari, ribuan perusuh kulit putih yang bersenjata menyerang Greenwood. Selama delapan jam, perusuh menembak dan membunuh penduduk, menjarah dan membakar rumah di 35 blok. Saksi mata menyebut mereka juga dibantu polisi kulit putih yang berseragam.
Sebanyak 300 orang tewas. Ribuan orang kehilangan tempat tinggal. Lebih dari 1.200 rumah hancur. Sementara 215 rumah dijarah tapi dibiarkan berdiri.
Setelah pembantaian, sekitar 6.000 warga kulit hitam ditahan di kamp-kamp interniran. Menurut Oklahoma Historical Society, beberapa dari mereka dipaksa bekerja oleh Garda Nasional, membersihkan puing-puing yang ditinggalkan massa. Sebagian besar penduduk yang tidak melarikan diri, tinggal di tenda-tenda Palang Merah, yang dibangun di atas abu membara Greenwood selama setahun.
Penduduk berhasil menyelamatkan nyawa Rowland. Dia didakwa atas tuduhan percobaan pemerkosaan pada 6 Juni 1921. Namun tuduhan dibatalkan setelah Page menolak bekerja sama dengan penuntutnya.
Baca Juga: Empat Orang Tewas dalam Kerusuhan di Gedung Kongres Amerika Serikat
Tak ada warga sipil kulit putih yang didakwa atas keterlibatan mereka dalam Pembantaian Ras Tulsa. Bahkan, laporan media pun dengan cepat beralih dari seruan perdamaian menjadi menyalahkan penduduk Greenwood. “Sangat sulit membuat orang kulit putih mengakui keterlibatan mereka dalam kerusuhan, atau bahkan keturunannya pun enggan mengakui fakta itu,” ujar Ellsworth.
Menurut Wall Street Journal, Pembantaian Ras Tulsa sedikit banyak dilatari kecemburuan finansial. Kurang dari 60 tahun setelah perang saudara berakhir, Greenwood menjelma sebagai salah satu komunitas kulit hitam paling makmur di negara itu.
Di sana terdapat toko-toko mewah, hotel, pengecer perhiasan dan pakaian, restoran, ruang biliar, perpustakaan, rumah sakit, sekolah, dan kantor pos sendiri. Karena itu, Greenwood dijuluki “Black Wall Street”.
Seminggu setelah pembantaian, kepala polisi Tulsa memerintahkan anak buahnya pergi ke semua studio foto dan menyita gambar-gambar yang diambil dari tragedi tersebut. Foto-foto itu, yang kemudian ditemukan dan menjadi bahan Komisi Oklahoma untuk mempelajari pembantaian tersebut, akhirnya mendarat di pangkuan Michelle Place di Tulsa Historical Society & Museum pada 2001.
Setelah sekian lama ditutup-tutupi, barulah pada tahun 2000 kisah Pembantaian Ras Tulsa dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah umum Oklahoma. Sedangkan Komisi Kerusuhan Ras Tulsa yang dibentuk untuk menyelidiki kejadian itu, secara resmi baru mengeluarkan laporan pada 2001.
Baca Juga: Krisis Krimea: Rusia Sebut Amerika Serikat Sebagai Musuh
Alicia Odewale, arkeolog di Universitas Tulsa mengatakan, para pejabat kulit putih Tulsa selain menutupi pertumpahan darah juga mengubah narasi pembantaian menjadi “kerusuhan”. Mereka juga yang menyalahkan komunitas kulit hitam atas apa yang terjadi.
Pembantaian juga tidak dibahas secara terbuka di komunitas Afrika-Amerika untuk waktu yang lama. Akibatnya, beberapa keturunan korban pembantaian tidak mengetahui kejadian itu sampai mereka berusia 40-an dan 50-an.
Salah satu sebab hal itu tidak diungkap karena ketakutan hal serupa bakal terjadi lagi. “Anda melihat para pelaku berjalan bebas di jalanan. Anda berada di wilayah selatan Jim Crow, dan ada teror rasial di seluruh negeri saat ini. Mereka melindungi diri mereka sendiri karena suatu alasan,” ujar Odewale.
“Trauma sejarah itu nyata dan trauma itu tetap ada terutama karena tidak ada keadilan, tidak ada akuntabilitas, dan tidak ada reparasi atau kompensasi.”
Sejarawan dan arkeolog kini terus menggali apa yang hilang selama beberapa dekade. Oktober tahun lalu, sebuah kuburan massal ditemukan di pemakaman Oklahoma. Diduga, di situ terkubur selusin korban pembantaian dari kalangan kulit hitam, baik yang teridentifikasi maupun tidak.