~ Untuk sebuah kursi yang sangat berharga
Saya belajar puasa usia empat tahun. Motivasinya saat itu sederhana, ingin duduk bermartabat di meja makan dan punya piring sendiri waktu berbuka.
Di keluarga kami, barang siapa yang berpuasa mendapat kursi prioritas di meja makan saat berbuka puasa bersama. Bagi yang tidak berpuasa dipersilakan “mengungsi” ke ruangan lain dulu.
Proses belajar puasa dimulai dengan latihan bangun sahur. Ibu menugaskan kakak nomor dua__yang lebih dekat usianya dengan saya__membangunkan saya setiap sahur.
Bangun sahur ternyata sungguh berat Dilan. Saya kerap terjebak pada fase setengah sadar antara kantuk dan halu.
Satu kali, kakak nomor dua membangunkan saya dengan cara menggoyang-goyangkan badan saya sambil bilang, “Dek, beudoh pajoh bu saho (Dek, bangun makan sahur).”
Karena pancaindera masih loading, yang terdengar di telinga saya adalah “sawo” bukan “saho”.
Sungguh senang sahur kali ini akan mencicipi buah sawo nan manis seperti saya, uhuk. Sawo adalah buah favorit saya waktu kecil. Saya rela memanjat pohonnya, meskipun setelah itu bingung gimana turunnya, asal dapat buah sawo saya senang sekali.
Karena sangat ter-hawa, saya pun bergegas bangun, cuci muka lalu cepat-cepat ke meja makan. Setelah itu saya baru tahu kalau telinga saya telah dengan sukses menipu tuannya sendiri.
Saya sedikit kecewa tapi tidak menyurutkan niat bangun sahur setelah itu. Lalu, puasanya sendiri apakah lancar? Di sinilah dimulainya “Ramadan Fasting Advanced Training”.
Jangan bingung yah, istilah ini saya adakan sendiri tidak melalui panitia pengadaan anggaran daerah. Pesertanya saya sendiri, begitu juga dengan panitianya.
Jika latihan basic-nya adalah bangun dan mamam sahur secara disiplin, advanced training adalah proses berpuasa itu sendiri.
Baca Juga: Apa yang Harus Disiapkan Menyambut Puasa?
Awalnya setengah hari saja. Maklumlah masih bocah. Tepat jam 12 siang saya sebagai peserta training sudah bersiap menyantap makan siang lengkap dengan es sirup kurnia.
Ini sirup terfavorit berbuka puasa di Aceh yang kadang tertukar dengan nama armada bus antarprovinsi.
Setelah itu seolah-olah dunia kembali cerah berwarna setelah sebelumnya berwarna hitam putih karena efek lapar dan dahaga.
Season pertama latihan puasa setengah hari saya lalui dengan lancar.
Pada season kedua puasa tahun berikutnya mulailah saya ikut ujian akhir: puasa seharian penuh layaknya orang dewasa.
Biasanya, pagi hari sampai siang wajah anak-anak yang berpuasa masih santai dan fresh aja. Tapi bakda zuhur mulai ada yang mengeluh haus dan merengek ingin buka puasa.
Ada yang diam-diam buka kulkas. Ada yang pura-pura lupa kalau lagi puasa dan minum air di dapur. Ada juga yang ke sumur nimba air lalu meminumnya.
Saya tak termasuk dalam ketiga tipe yang ada tersebut. Saya patuh saja meskipun terkadang sudah tidak kuat menjalani hidup ini puasa.
Wajah lesu, badan lemas, mata sayu, bibir kering, dunia seakan hitam putih bukannya extravaganza.
Melihat anaknya menderita sedemikian rupa, ibu langsung bergegas menyiapkan makanan kesukaan saya berupa es campur yang banyak kolang-kaling. Tujuannya tiada bukan agar saya lebih termotivasi dan mampu bertahan sampai waktu berbuka tiba.
Satu lagi motivasi saya seperti yang telah tersebutkan di awal tulisan, mendapatkan kursi sendiri di meja makan keluarga. Tak semata sederhana tapi ini motivasi yang sangat ter-niat.
Ternyata, sebuah kursi menjadi sangat berarti di mata kecil saya. Kelak, hal ini mengajarkan kepada saya bahwa ada kursi-kursi yang memang harus jadi rebutan oleh orang-orang. Walaupun harus nyogok untuk mendapatkannya.
Tapi, kursi yang saya dapatkan ini tidak melalui proses korupsi, ya. Semuanya diperoleh secara halal.
Setelah mendapatkan kursi sendiri, saya merasa seperti benar-benar diakui sebagai anak. Sebelumnya sempat berpikiran, jangan-jangan saya cuma anak pungut.
Ternyata, puasa adalah alasannya. Ayah dan Ibu, maafkan daku yang lebay ini, ya.
Namun, muncul persoalan lain setelah saya menduduki kursi tersebut. Ketika waktu buka masih belasan menit lagi, duduk saya makin gelisah bagai disengat ulat panah.
Padahal, segala menu berbuka yang tersaji di atas meja sudah suit-suit manis memanggil saya agar segera menyantapnya.
Saya bolak-balik melihat jam seakan jarumnya tak bergerak. Seakan baterainya telah habis. Sesekali mengecek imsakiyah memastikan jadwal magrib yang tepat.
Gelisah itu seketika sirna saat sirine tanda buka puasa meraung-raung dari radio. Adakalanya, bunyi khas yang sangat saya tunggu-tunggu dengan hati yang senang itu sering ditirukan oleh kakak nomor dua.
Baca Juga: Sahur Stories: Takjil
Keusilan beliau supaya saya terkecoh dan mengira waktu buka telah tiba. Kalau saya mulai manyun, kakak saya akan terkekeh-kekeh karena berhasil mengerjai.
Ketika waktu buka datang, di hari itu saya akhirnya lulus puasa seharian penuh. Dari sehari menjadi sepekan lalu sebulan penuh tanpa bolong. Tanpa puasa notnot atau puasa-puasa jenis curang lainnya.
Setelah lulus, tidak ada sertifikat, medali, atau sekadar perayaan kecil. Hanya pujian kecil dari ayah, ibu, dan kakak-kakak serta hati yang senang karena lulus ujian.
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )
One thought on “Motivasi Belajar Puasa Demi Sebuah Kursi di Meja Makan”