Awalnya Girang, Setelah itu Ku Menyesal Disemprot Cairan Disinfektan

Saya ragu awalnya. Saya cari lagi dan ketemu cara membuat cairan disinfektan. Eh, ternyata benar berbahaya. Kapalo.

Ilustrasi disinfectant chamber.

~ Pengalaman pertama dan terakhirku, huhuhu …

Saya buka tulisan ini dengan sedikit pengumuman. Mewakili Pemerintah Aceh (kalau boleh), izinkan saya mengabarkan sebuah berita positif untuk para Breeders atau pembaca Breedie, bahwasanya hingga tulisan ini tayang tidak ada lagi pasien positif corona di Aceh.

Semuanya telah sembuh. Dan ini bukan hoax. Dan ini bukan ngenyek. Saya bicara di atas nama kebenaran.

Terima kasih.

Alhamdulillah, luar biasa ya mblo, jadi sekarang kita boleh kembali berkumpul beramai-ramai di tempat umum.

Kita boleh manggang-manggang ayam, ngopi-ngopi sekelak, atau nonton bebek berenang di Krueng Aceh.

Lihat itu, Kak Nong tetangga saya dengan santuy menghayak dirinya di atas metik menuju Pasar Peunayong. Dia tidak menggunakan masker karena menurutnya corona telah fana dari bumoe Aceh.

Sesampainya di Peunayong, menunggu cabai dan bawang dibungkus, Kak Nong pun selfie. Lalu fotonya dipajang di status WhatsApp.

Kak Nong berikan (bukan ber ikan-redaksi) foto itu dengan hestek manja #dirumahaja guys, Kak Nong beli sayur dulu ya …

Ingat, titiknya ada tiga.

Seolah dengan begitu Kak Nong ingin bilang lebih lanjut kalau corona tak mampu menembus jiwa dan raga beliaw.

Seolah Kak Nong telah kebal corona dan dia salah seorang yang masuk ke dalam herd community.

Sebuah campaign yang luar binasa!

Tinggalkan Kak Nong, saya mau cerita sebuah kejadian penting sekaligus menyebalkan terkait sebuah kamar yang beberapa hari belakangan digemari banyak orang.

Itu loh, bilik kecil untuk menyemprot disinfektan yang juga dibilang dengan bahasa kerennya disinfektan chamber.

Saya tak tahu apakah laku semprot-menyemprot di bilik itu masih marak sekarang? Apakah fenomena “ngamar” bersama cairan pembasmi kuman tersebut sudah berhenti.

Saya tak tau, karena sudah lebih dari 14 hari saya tidak lagi blusukan ke mana-mana.

Apalagi setelah tahu, bahwa blusukan tidak akan mengantarkan saya ke tampuk kursi kekuasaan di ibu kota provinsi.

Contohnya, menjadi Wali Kota Banda Aceh tahun 2024 menggantikan Pak Amin. Terlebih lagi, saya masih ber-KTP Lhokseumawe.

Terkait bilik disinfektan, ada sebuah kejadian saat blusukan yang membuat saya sangat malu bingit hingga sekarang. Terutama setelah dihina oleh orang-orang terdekat saya.

Saya tidak tahu, apakah masih ada imej yang mesti dijaga. Setidaknya sebagai orang yang dikenal antihoax, sering membaca dulu sebelum beraksi dan peduli pada kesehatan, saya tampaknya setengah gagal.

Teman-teman bahkan tega berkata bahwa pengalaman saya harus ditulis supaya tercatat sejarah. Kata mereka, supaya tak ada lagi yang bahagia dan bangga saat disemprot disinfektan.

Sialnya, (kalau makian ini nggak ada berarti diedit sama editornya) saat saya hendak memberitahu kronologi kejadian tersebut, seperti mantan saya, mereka nggak mau mendengar penjelasan apa pun.

Oke, anggap saja tulisan ini sebagai klarifikasi. Hitung-hitung latihan menjadi publik figur yang hobinya kasih penjelasan saat sudah salah dan dihina khalayak.

Bulan lalu, saat separuh Banda Aceh bak kota mati sebab teror corona dan orang-orang berdiam diri di rumah, saya memutuskan blusukan. Lebih tepatnya melalak.

Saat itu, jalan-jalan kecil di beberapa kampung dikasih portal pada jam tertentu. Warung kopi sebagai tempat hedon warga Banda Aceh hanya melayani pesanan take away alias bungkus.

(Minum kopinya di rumah, macam anak kost, hehe).

Baca Juga: Mengenang Mantan di Warung Kopi

Hari itu Minggu sore. Pelalakan (kata ini tidak ditemukan dalam KBBI-redaksi) saya lakukan berdua Jacqy, sepeda motor kesayangan saya.

Tak lupa saya membekali diri dengan alat pelindung seperti masker, jaket, sarung tangan, botol mini hand sanitizer, dan air mineral. Sebagai bentuk jaga-jaga bila bertemu corona.

Helm, SIM, dan STNK juga saya bawa. Sebagai bentuk jaga-jaga bila bertemu polisi.

Sekilas setelah ngaca, saya kayaknya mirip Masked Raider Kuuga deh, tapi versi dari masa depan.

Setelah menginjak panasnya aspal jalanan, entah kenapa kedua roda Jacqy seakan menuntun saya ke Peunayong. Bukan ke pasar sayur seperti Kak Nong.

Di Peunayong saya cuma mutar dari ujung ke ujung. Sekalian mengukur jarak, siapa tau kawasan Pecinan itu sekarang sudah bertambah lebar dan panjang.

Setelah yakin lebar dan panjangnya tidak berubah, saya putuskan pulang. Namun, begitu turun dari jembatan Peunayong, saya melihat ada portal dipasang di gapura gampong Peulanggahan.

Penasaran, saya mencoba masuk. Di pikiran saya, tidak mungkin semua akses ditutup sebab warga pasti sulit keluar masuk.

Mesti ada jalan lain, nih! Iseng, saya pun berputar-putar mencari celah agar bisa masuk ke gampong tersebut.

Aha, tak jauh dari gapura ada lorong yang tidak di-portal. Saya pun masuk dan mengikuti jalannya.

Tiba-tiba tanpa disadari kami (saya dan Jacqy) terjebak pada sebuah antrian orang ramai. Mau mundur sudah tidak mungkin.

Di depan antrian terlihat tenda tertutup plastik bening. Ada sekitar empat aneuk muda di situ.

“Yang bawa makanan silakan titip ke panitia,” seorang berteriak.

Buset, ada acara maulid keknya ni ya?

Setelah semakin dekat barulah saya tau bahwa itu disinfektan chamber. Motor dan manusianya mesti masuk “ngamar” satu per satu bergantian.

Melihat bilik itu, saya mengenang percakapan dengan seorang teman beberapa waktu lalu, soal disinfektan chamber di sebuah institusi militer.

Betapa luar biasa dan kayanya institusi tentara kita sampai punya kamar penyemprotan agar terhindar dari corona.

Mereka begitu gercep di dalam kondisi seperti ini untuk memasang kamar tersebut. Salut saya.

Sempat terpikir, negara tidak adil. Kok tentara saja yang punya, masyarakat sipil kek saya ini gimana? Kami kan mau bersih dari corona juga.

“Maju kak, maju lagi!” Kaget saya. Toleh kiri kanan.

Mulanya mengira yang membentak adalah pak tentara yang saya bayangkan sejak dalam pikiran tadi.

Ternyata bukan, saya saja yang geer. Yang membentak adalah si anak muda penjaga kamar mayat.

Akhirnya hari ini semesta menjawab harapan rakyat jelita. Kamar yang saya damba-dambakan itu sekarang terconggok di depan mata.

Maafkan saya pak tentara karena telah berpikir tidak jernih terhadap Anda.

Dengan semringah, dari jarak sekira seratus sentimeter dari pintu kamar disinfektan, saya mulai merekam video proses penyemprotan orang-orang.

Di tengah bau disinfektan yang mengurung udara, mata saya berkaca-kaca karena melihat upaya kolektif masyarakat yang tidak mau kalah dengan tentara.

Ini sebuah inisiatif dari pemerintah gampong yang patut diapresiasi karena saat itu pemerintah pusat dan provinsi belum memberi kejelasan apa pun.

Tiba giliran masuk, video saya hapus, air mata saya matikan, eh kebalik.

Kan nggak mungkin merekam terus sambil disemprot. Bagaimana pun ini hape baru. Kan kasian kalau masuk air.

“Tutup mata kak!” perintah dedek pemuda gampong pada saya. Tegas tapi saya senang mendengarnya. Seperti perempuan yang akan diberikan kado oleh pacarnya, saya pun merem sambil tersenyum, hihiy.

“Preett … pssstt … prettt … pssttt.” Bunyi-bunyi ini berdesah-desah di sekitar ubun-ubun saya dan mengirimkan sinyal kegembiraan tiada tara. Saya dengan riang menyambut percikan-percikan cairan pembasmi kuman itu.

Usai ritual semprot-semprot, saya pun keluar dari kamar dengan bahagia.

Seperti Kak Nong, saya ingin membagikan kebahagiaan tersebut dengan kawan-kawan saya. Saking euforianya sebab pertama kali disemprot.

Rekaman video tadi pun saya bagi ke mereka melalui status WhatsApp. Langsung bertubi-tubi dapat respon pertanyaan, “Eh, itu di mana?”

Saya jemawa, sebab telah termasuk ke dalam golongan manusia yang disemprot disinfektan.

Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama.

Tak lama saya dapat berita, bahwa WHO “mengharamkan” penggunaan disinfektan bagi manusia. Selain karena belum teruji secara ilmiah, komposisinya berbahaya.

Saya ragu awalnya. Saya cari lagi dan ketemu cara membuat cairan disinfektan. Eh, ternyata benar berbahaya.

Kapalo.

Setelah itu, semakin banyak yang saya baca, semakin saya pusing. Rasanya kosong. Telinga berdenging, jantung berdetak kencang, suhu tubuh rasanya turun beberapa derajat.

Di mata saya kini terbayang bilik disinfektan yang menggunakan oplosan cairan wipol, posrtex, bayclin, dan saudara-saudara mereka yang seiman sebagai sesama pembersih toilet dan lantai, bersatu padu membaluri tubuh manusia.

Baca Juga: Rawon-rawon Corona: Dari Rembele, Depok Hingga Mandasyeh

Di titik itulah saya merasa telah tertarik balik ke dalam alam kebodohan, alih-alih alam berilmu pengetahuan, seperti yang sering disampaikan dalam pembukaan sebuah pidato.

Bagaimana mungkin saya mampu bersuka ria sesudahnya? Saya tidak habis pikir. Ini aib bagi keluarga.

Di keluarga saya menjadi patron buat adik-adik saya. Mereka diminta untuk selalu mencontoh saya.

Sekarang, jika mereka tau kejadian ini, pastilah saya dicoret dari daftar suri tauladan. Semoga ini menjadi rahasia di antara kita saja ya, Bree.

Sebagai penutup, saya ingin mengajak kita semua kalau masih menemukan bilik seperti itu, hindarilah, jangan masuk. Jangan biarkan dirimu disemprot.

Please, jangan girang saat disemprot disinfektan. Bahaya, Nong!

Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *