Bahagia dan Sedih Menjalani Kerja dari Rumah

Di titik ini saya merasa ada hikmahnya di balik wabah corona sehingga memaksa kita untuk melakukan working from home.

Work from home. (Freepik)

~ Working from Home ditemani Kapten Ri Jung Hyuk

Sejak Gubernur DKI Jakarta mengimbau sekolah diliburkan sebagai upaya pencegahan penyebaran corona, seketika itu juga kantor saya dengan senang hati mengikuti imbauan tersebut.

Keluarlah kebijakan bekerja dari rumah atau Work From Home (WFH). Saya tak tahu harus bahagia atau khawatir dengan peraturan ini.

Sebenarnya, WFH bukan barang baru di kantor saya. WFH diberikan apabila karyawan butuh istirahat setelah melakoni international duty trip yang cukup melelahkan. Sementara masih banyak deadline pekerjaan yang harus diselesaikan.

Inilah WFH yang bisa saja disebut sebagai terapi. Namun, kali ini tentu berbeda.

Pemberitahuan WFH terkait corona diawali dengan pemberitahuan Executive Director (ED) melalui grup WhatsApp kantor. Setelahnya baru disusul memo resmi via email.

Inilah yang namanya birokrasi, selalu ada kata pengantar sebelum tiba di pendahuluan (emangnya skripsi).

Sebagian staf sudah menduga peraturan ini akan dikeluarkan oleh Sang ED. Meskipun awalnya baru sekedar becandaan di Group Sehat Bersamah yang berisi ciwi-ciwi pengen punya body goal ala cewek Korea tapi hobi ngemil boba.

Kebijakan dadakan tersebut membuat beberapa staf tidak siap, termasuk saya. Sebab, tidak ada persiapan apapun seperti membawa pulang laptop ke rumah.

Terpaksa, saya dan beberapa staf harus masuk kantor pada hari pertama WFH untuk mengambil laptop dan berkas-berkas yang saya perlukan selama WFH nantinya.

Kalau tidak, kami bisa berdalih tidak bisa bekerja dan hanya gabut alias makan gaji buta saja.

Hari pertama WFH, pagi-pagi saya sudah ke kantor dengan kendaraan pribadi. Saya menghindari naik Kereta Commuter Line seperti biasanya karena sudah mulai ngeri-ngeri sedap dengan berita-berita yang saya baca tentang ganasnya corona.

Jalanan Jakarta hari itu masih seperti hari biasa. Seolah tidak ada kejadian apapun. Mungkin saja banyak orang yang sama seperti saya yang harus mengambil laptop dan berkas-berkas yang diperlukan selama WFH.

Baca Juga: Tips Menghemat Baterai Smartphone

Sampai di kantor saya langsung menuju meja kerja dan membuka laci untuk mengambil barang-barang yang ingin saya bawa pulang.

Beberapa teman yang saya temui di kantor masih mengerjakan tugas-tugas rutin seperti menelpon stakeholders, scan dokumen, dan lain-lain.

Setelah menyelesaikan keperluan yang diperlukan, saya langsung tancap gas balik ke rumah yang berjarak 34 kilometer dari kantor.

Sebuah rute yang dekat untuk ukuran para budak korporat Jakarta.

Hari itu sebenarnya masih lumayan banyak pekerjaan yang pending dan harus segera diselesaikan. Namun perjalanan pergi-pulang dari rumah-kantor-rumah banyak menyita waktu.

Tidak terasa sudah sore saja.

Kebetulan setiap Senin ada jadwal staff weekly meeting. Dan untuk pertama kalinya, rapat ini digelar secara online dari rumah masing-masing.

Suasananya memang masih terasa sama seperti in-person meeting yang biasa kami adakan di kantor.

Tapi di tengah jalan muncul beberapa kendala yang membuat meeting tidak berjalan mulus, semulus jalan tol Pak Jokowi.

Breedie loading image 1
Internet lelet. (@Breedie)

Internet Lelet

Salah satu kendala utama, koneksi internet yang timbul tenggelam. Apalagi jika cuaca tidak mendukung seperti hujan dan petir, peserta rapat kehilangan koneksi internet hampir setengah bagian meeting.

Bahkan ada yang hampir tidak bisa mendengar keseluruhan meeting.

Team IT kantor pun berusaha tidak gabut. Mereka selalu mengupayakan hal yang terbaik demi kelancaran meeting-meeting selanjutnya.

Mereka menyuarakan hak-hak anggota meeting dengan mengajukan proposal agar biaya internet ditanggulangi kantor.

Sebelumnya mereka menyurvei biaya setiap peserta rapat sekali meeting.

Tentu tidak boleh menyebutkan angka semaunya karena umumnya anggota meeting mengandalkan internet dari smartphone yang kuotanya bukan untuk keperluan kantor saja.

Meskipun ada juga anggota meeting yang berharap biaya langganan Netflix untuk nonton drakor ‘Crash Landing on You’ yang lagi hits itu, ikut di-cover oleh kantor. (Hiks, namanya juga usaha).

Syukurnya, Sang ED kami sangat pemurah akhir-akhir ini. Proposal dikabulkan dan anggota meeting pun kegirangan. Meskipun biaya Netflix tetap ditanggung sendiri karena ED tidak tertarik drakor.

Bagi Sang ED, Kapten Ri Jung Hyuk yang diperankan Hyun Bin itu gantengnya kalah jauh dibandingkan suami beliau.

Demi kuota gratis kami tak boleh membantah hal ini. Ya kan, man-teman?

Selama WFH saya mendapati para peserta rapat umumnya serius mengikuti meeting hingga selesai.

Walaupun di tengah-tengah rapat muncul lagi kendala-kendala tambahan seperti ada yang skip karena harus ke toilet, ambil minum, cebokin anak, hingga menerima telepon masuk dan meminta penelepon menghubungi kembali setelah meeting selesai.

Lah, si penelepon kan tidak tahu Anda lagi meeting WFH.

Tentunya, kejadian-kejadian tersebut tidak terlihat melalui video conference oleh mata pimpinan rapat karena semua staf menyetel hide camera agar wajah tidak kelihatan. Yang tampak cuma wajah pimpinan meeting.

Biarlah beliau saja yang nampang. Kami ini apalah, cuma remah-remah risol.

Hari pertama WFH saya jalani dengan agak sedikit ringan.

Warung Mi Ayam

Hari kedua ceritanya sedikit berbeda. Saya kebetulan ada rapat khusus tentang sebuah proyek di mana saya sebagai koordinator meeting. Jadi, dibutuhkan banyak berbicara selama meeting berlangsung.

Saya awalnya sedikit bingung bagaimana caranya melakoni meeting dengan perasaan damai tanpa ter-distract dengan panggilan-panggilan semacam, “Bunda mau eek,” atau “Bunda, kakak pinjam dunk laptopnya, please.”

(Emang anak-anak generasi alfa udah pinter akting sedari kecil, ya, Bu-Ibu).

Ketimbang rapat tersendat-sendat, akhirnya saya memutuskan untuk melakukannya dari warung mi ayam depan kompleks. Ini juga setelah direkomendasi adik saya yang beberapa kali pernah nongkrong di warung itu.

Menurut adik saya, warung itu cenderung sepi, jadi memungkinkan untuk social distancing. Dan jadilah warung mi ayam sebagai venue meeting online di hari kedua WFH.

Sebagai kenang-kenangan karena meeting berjalan lancar, saya pun berfoto ria dan upload di sosmed seperti kebiasaan mamak-mamak sosmed lainnya.

Saya taburi foto itu dengan bawang goreng caption penjelasan kenapa harus meeting online di warung mi ayam.

Tidak disangka tak diduga berbagai komentar pun muncul di postingan itu. Ada yang tertawa santai. Ada juga yang ngotot berpendapat bahwa saya tidak peduli dengan keselamatan diri.

Bahkan saya dianggap tidak bersyukur dengan peraturan WFH dari kantor karena bukannya meeting di rumah malah di warung. Na saja.

Saya berusaha mengerti dengan keadaan ini. Setiap orang punya pendapat berbeda dalam menghadapi setiap masalah.

Ada kaum santuy dan ada juga kaum panikwan dan panikwati. Wajar saja, ini merupakan kasus pandemi terbesar sepanjang hidup saya, juga bagi kaum panikwan-panikawati.

Hari-hari selanjutnya kerja dari rumah berjalan lancar (masih selancar jalan tol Pak Jokowi, hee…).

Di titik ini saya merasa ada hikmahnya di balik wabah corona sehingga memaksa kita untuk melakukan working from home.

Ini seperti doanya mamak-mamak pekerja yang dikabulkan Allah. Mereka bisa mendedikasikan diri mengurus keluarga tapi masih dapat gaji karena bekerja dari rumah.

Anak saya salah satu yang paling bahagia mungkin dengan kebijakan ini. Karena permintaan dia di hari-hari sebelumnya, “Bunda kalau siang jangan kerja ya”, sekarang saya kabulkan.

Tentu ibu-ibu pekerja lainnya juga merasakan kebahagiaan senada. Meskipun bagi yang memiliki anak-anak usia sekolah, cukup menyita waktu.

Selain bekerja dari rumah menyelesaikan tugas kantor, juga mesti sigap mendampingi anak belajar. Sekaligus mengawasi apakah mereka mengerjakan PR atau tidak.

Belum lagi menghadapi stresnya anak karena dilarang bermain dan berkumpul dengan teman-temannya. Semua ini membutuhkan kesabaran tingkat dewa.

Apalagi bagi pasangan yang sering berselisih paham kalau sering bertemu, WFH mungkin sebuah hal yang sangat tidak mengasyikkan.

Tentu berbeda dengan pasangan yang selalu ingin bersama. Mungkin WFH akan menjadi kesempatan untuk saling bermanja yang berujung pada, “Selamat Pak, istri Anda hamil”.

Cuti Bergaji

WFH seperti cuti bergaji yang dipaksakan dan membuat sebagian besar aktivitas orang berkurang. Untungnya hal ini terjadi di era industri 4.0. Masa ketika masyarakat tak hanya berpetualang di dunia nyata tapi juga dunia maya.

Masyarakat dunia maya atau netizen punya kebiasaan memperbarui status, memasang foto dan mengunggah informasi-informasi dari berbagai topik. Seperti orang yang berinisiatif menjadi wartawan tanpa gaji.

Fenomena ini membuat aktivitas di dunia maya seolah lebih sibuk dibandingkan dunia nyata, dalam situasi yang memaksa semua orang berdiam di rumah demi mendukung imbauan social distancing.

Hari-hari ini, netizen juga mulai memanfaatkan dunia maya untuk bersosialisasi dengan teman, keluarga, maupun saudara yang tidak bisa ditemui secara langsung.

Hal ini dilakukan untuk mengurasi stres karena tidak bisa melakukan aktivitas sosial seperti hari-hari biasanya.

Dari pengamatan saya ada beberapa aktivitas para netizen yang dilakukan selama WFH untuk meminimalisir stres, antara lain: upload foto selfie WFH dengan caption kocak, ikutan challenge yang viral di sosmed, dan update daily activity ke fitur insta story.

Mulai dari memasak, olahraga, mengasuh anak, merawat tanaman, membuat prakarya, sampai mencoba membuat video-video tutorial seadanya untuk membahagiakan diri meskipun fail.

Secara kasat mata, WFH terkesan berjalan dengan baik dan seolah tidak menjadi masalah bagi sebagian orang. Namun sepertinya ada kerinduan bagi setiap orang untuk bertemu satu sama lain.

Rindu ini bukan hanya berlaku bagi sepasang kekasih saja, tapi juga berlaku bagi orang tua dan anak, kakak dan adik, bos dan bawahan, guru dan murid, senior dan junior. Antarteman baik teman kerja, teman sekolah, teman nongkrong, teman arisan, maupun teman lama.

Baca Juga: Menyesap Arabika di Pantai Kuala Jangka

Semakin hari orang terlihat lembut dan penyayang. Banyak pesan menyentuh tersebar di sosmed agar menghargai kebersamaan, tidak saling menyalahkan, dan selalu saling memberikan dukungan materiel maupun mental.

Beberapa orang berinisiatif membantu orang-orang yang kehilangan pendapatan hariannya akibat terdampak situasi ini, seperti driver ojek online (ojol), pedagang keliling, dan masyarakat duafa lainnya.

Ada pula yang berinisiatif memesan makanan secara online dan diberikan kepada driver ojol karena mereka tahu susah bagi ojol untuk makan di luar tanpa pemasukan sama sekali karena sepi orderan.

Ada juga yang menggalang dana membelikan paket sembako untuk dibagi-bagikan bagi masyarakat kurang mampu.

Padahal, hari-hari sebelumnya, hal ini jarang terjadi. Hari-hari sebelum wabah ini datang, kita terlalu sibuk dengan diri dan keluarga kita sendiri.

Kita lebih fokus menghabiskan uang untuk belanja keperluan pribadi, mengikuti tren dan memuaskan keinginan-keinginan yang lain.

Sekarang kita justru berubah menjadi sangat memiliki empati yang tinggi. Tampaknya pandemi ini membuat semua orang berubah menjadi lebih baik.

Dan lagi-lagi saya bingung, entah harus sedih atau bahagia dengan situasi seperti ini.

Saat situasi tidak semakin baik, orang-orang mulai gelisah karena WFH tidak kunjung usai. Banyak yang berdoa pandemi segera berakhir sebelum Ramadan.

Kebijakan meniadakan salat Jumat saja sudah banyak membuat orang sedih. Apalagi kalau tahun ini terancam tidak bisa salat tarawih dan salat ied.

Pemerintah mengimbau masyarakat tidak banyak bepergian dulu dan itu artinya kemungkinan tidak ada mudik dan silaturahmi khas lebaran tahun ini.

Entah kapan situasi ini akan berakhir. Yang jelas saya memanjatkan doa yang sama setiap harinya dan selalu optimis bahwa Allah sudah menyiapkan jalan keluar terbaik untuk permasalahan ini.

Kita hanya perlu sabar dan tidak berputus asa. Semua pasti ada hikmahnya. Harapan saya semua hikmah kebaikan setelah kejadian ini akan menjadi kebiasaan bagi semua orang.

Dunia pun semakin damai dan penuh kasih sayang, ouh so sweet, Bre.

Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *