Cerita Para Mualaf Korea Tentang Islam di Negeri K-Pop

Di tengah kesalahpahaman dan diskriminasi, Federasi Muslim Korea mencatat sebanyak tiga ribu warga Korea Selatan masuk Islam setiap tahun.

Muslim Korea salat Idul Adha di Masjid Pusat Seoul. Foto: Korea.net

Dia bersembunyi di toilet umum stasiun kereta bawah tanah, mencari perlindungan dari tatapan orang-orang. Itu pertama kalinya dia mengenakan jilbab. “Semua orang menatap saya, membuat saya merasa sangat malu. Jadi, saya bersembunyi dan menunggu kerumunan itu bubar,” kenang Song Bo-ra.

Karena sepotong kain yang sederhana, perempuan Korea Selatan tersebut tiba-tiba menjadi orang asing di kota kelahirannya, kota pelabuhan Busan di tenggara.

Song, yang berusia 30-an, masuk Islam pada 2007 setelah mempelajari agama selama bertahun-tahun. Sejak muda, ia tertarik pada sejarah dan budaya Arab dan menemukan Islam sebagai agama yang tepat baginya.

Pindah agama sebuah keputusan yang sangat pribadi bagi orang Korea. Namun, mengenakan jilbab sebagai simbol iman membuat Song menonjol di tengah keramaian Busan. Dia juga mendengar komentar menyakitkan tentang agama barunya itu.

Baru setelah pindah ke Seoul sekitar tujuh tahun lalu, Song mulai mengenakan jilbab setiap hari. Dia tinggal di Itaewon, lingkungan paling multikultural di Korea Selatan. Di sana juga berdiri masjid pertama di negara itu: Masjid Pusat Seoul.

Orang Islam di Seoul berkumpul di masjid itu saban Jumat. Sebelum pandemi, turis Muslim berbondong-bondong ke Itaewon mencari makanan halal. Dan di Itaewon, Song tidak lagi menjadi pusat perhatian dengan jilbabnya.

Meski begitu, dia dibombardir pertanyaan dari rekan senegaranya tentang pilihan penutup kepalanya itu. “Banyak orang Korea memiliki kesalahpahaman besar tentang Islam. Mereka bertanya mengapa saya memakai hijab. Mereka pikir jilbab digunakan untuk mengontrol perempuan dan kebebasan mereka, dan kami dipaksa memakainya,” ungkap mantan guru Islam yang sekarang bekerja di Pusat Bisnis dan Budaya Korea-Islam.

Dia menyayangkan jilbab kerap dipandang sebagai simbol terorisme. Song pernah ditanya apakah ia mendukung ISIS atau pernah bertemu dengan anggota kelompok teroris tersebut. “Saya akan tertawa dulu, lalu menjelaskan bahwa… kami ingin hidup damai.”

Baca Juga: Longgarkan Aturan Pekerja Asing, Korea Selatan Siapkan Visa Nomad Digital

Mayoritas orang Korea Selatan menganut Buddha dan Krsiten. Banyak orang Korea mengaitkan Islam dengan terorisme setelah penculikan 2007 terhadap 23 misionaris Korea Selatan oleh anggota Taliban. Dua orang tewas sebelum pemerintah Korea Selatan mencapai kesepakatan pembebasan kelompok itu. Kisah tersebut mendominasi berita utama selama berpekan-pekan, menciptakan kesan negatif tentang Islam yang bertahan hingga hari ini.

Namun, kisah negatif itu berubah sebaliknya pada diri Lee Seul. Perempuan 32 tahun ini mengingat momen tujuh tahun lalu saat bertemu seorang pria Malaysia yang terang-terangan mengaku sebagai Muslim.

Sementara Lee baru mengungkapkan agamanya kepada Muhamad Khalid Ismail, pria Malaysia yang kini menjadi suaminya itu, setelah mereka menjadi teman.

Saat itu, selain terkejut, di kepala Lee muncul pertanyaan. “Bagaimana mungkin pria baik dan lucu ini, yang lulus dari Universitas Korea dan bekerja di Samsung, menjadi teroris?”

Antara bingung dan tidak percaya, dia mencari tahu lewat Naver, mesin pencari paling tepercaya di Korea. “Tetapi semua berita, artikel, dan blog hanya berbicara tentang sisi buruk Islam,” ujarnya kepada The Straits Times.

Setelah mencari lewat Google, barulah Lee menemukan artikel-artikel berbahasa Inggris yang menjelaskan tentang Islam sebenarnya. Dia juga mencari kejelasan tentang Islam pada Khalid.

Melalui pria 33 tahun itulah, Lee akhirnya mendapat gambaran sangat jelas tentang Islam. Dia semakin tertarik dan memutuskan menjadi mualaf pada 2017.

Menurut Federasi Muslim Korea, jumlah penganut Islam di Korea Selatan berada di bawah angka 200 ribu orang. Hanya 0,38 persen dari populasi. Mayoritas adalah pekerja dan mahasiswa dari negara-negara seperti Turki, Pakistan, dan Uzbekistan. Sekitar 10 ribu dari mereka memperoleh kewarganegaraan Korea.

Baca Juga: Anak-anak Terakhir Pulau Nokdo Korea Selatan

Islam dilarang di Korea selama berabad-abad selama dinasti Joseon (1392-1910) sebagai bagian dari kebijakan isolasionis atau pemisahan diri. Baru sejak abad ke-9 hingga ke-11, orang-orang Arab yang melakukan perjalanan di Jalur Sutra memperkenalkan Islam ke semenanjung Korea. Lalu usai Perang Korea (1950-1953), dari 15 ribu tentara Turki yang memutuskan menetap sebagai sukarelawan PBB, beberapa di antaranya memperkenalkan Islam kepada penduduk lokal.

Wakil Direktur Federasi Muslim Korea Jang Huseyin mengatakan, warga Korea tersentuh oleh pasukan Turki yang dengan gagah berani melindungi mereka dari bahaya. Para prajurit juga membuka sekolah bagi anak-anak yatim piatu dan merawat mereka.

“Tentara Turki juga berbagi makanan karena dalam Islam kami diajarkan berbagi makanan dengan tetangga jika kami tahu mereka lapar,” ujar Jang, yang lahir di Turki tapi telah mengambil nama Korea sebagai warga negara yang dinaturalisasi.

Bahkan, sebuah film Turki berjudul Ayla: The Daughter of War, memberikan penghormatan akan ikatan antara seorang anak Korea dan wali Turki-nya. Momen ini didasarkan pada kisah nyata seorang tentara Turki yang datang ke Korea Selatan mencari gadis enam tahun yang ditempatkan di bawah asuhannya selama perang.

“Dia baru saja mendapatkan fotonya dan ingin melihatnya lagi,” kenang Jang. Pencarian besar-besaran pun terjadi, dan reuni keduanya disiarkan stasiun TV MBC pada 2010. “Mereka bertemu di Turki. [Momen] Itu sangat emosional. Mereka berpelukan dan menangis, dan dia mengundangnya ke Korea. Itu cerita yang sangat indah.”

Islam di Korea Selatan
Itaewon, lingkungan paling multikultural di Korea Selatan. Foto: The Straits Times

Persentuhan orang Korea dengan Islam kembali terjadi pada 1970-an ketika harga minyak meroket. Perusahaan-perusahaan Korea harus mengekspor produk dan mengambil proyek infrastruktur di Timur Tengah.

Pembukaan Masjid Pusat Seoul pada 1976 juga membuka lebih banyak peluang interaksi bangsa Korea dengan negara-negara Islam. Namun, selama dua dekade terakhir, upaya pemerintah memanfaatkan kedekatan dengan Islam, terhenti akibat tentangan sengit dari kelompok agama mayoritas.

Baca Juga: Pasukan Iran ‘Bajak’ Kapal Tanker Korea Selatan

Pemerintahan Lee Myung-bak (2008-2013) mencoba menerapkan sistem keuangan Islam pada 2012 untuk mendatangkan uang dari negara-negara kaya minyak. Rencana itu gagal karena tentangan sengit dari anggota parlemen Kristen.

Periode berikutnya, pemerintahan Park Geun-hye (2013-2017), mencoba mengubah Korea Selatan menjadi pusat halal untuk merayu turis Muslim. Namun mereka juga menghadapi keberatan keras dari kelompok Kristen dan Buddha.

Tapi, di tengah kesalahpahaman dan diskriminasi, Federasi Muslim Korea kini mencatat sebanyak tiga ribu warga Korea Selatan masuk Islam setiap tahun. “Orang Korea Selatan juga mulai menyadari Islam adalah cara hidup, tidak hanya di Timur Tengah tetapi juga di seluruh Asia Tenggara,” ujar Yu Hong-jong, pemilik restoran Korea bersertifikat halal pertama di negara itu, yang masuk Islam pada 2014.

Sementara itu, popularitas drama Korea dan musik pop mulai menarik wisatawan Muslim ke Seoul. Sekitar satu juta turis Muslim mengunjungi Korea Selatan pada 2019.

Lee dan suaminya kini menjalankan perusahaan perjalanan membantu turis Muslim menjelajahi Korea Selatan, dan dengan mudah menemukan makanan halal serta tempat salat.

Namun, dia belum siap mengenakan jilbab setiap hari. “Saya akan berhijab di Malaysia karena tidak ada yang akan mengganggu saya. Tapi di Korea, orang mungkin menyerang saya. Mereka mungkin melepas jilbab saya, mengatakan bahwa saya gila, memarahi saya, memaki saya, atau mengatakan hal-hal seperti, ‘jadilah orang Korea yang normal jika Anda orang Korea’. Saya tidak siap untuk itu, saya tidak begitu berani.”

Jadi, kata Lee, jika berjilbab dia hanya akan berbicara bahasa Inggris. “Sehingga orang Korea mengira saya orang asing. Lebih mudah seperti itu.”

Baca Juga: Korea Selatan Luncurkan Kapal Selam Berbobot 3.000 Ton

Adapun Song, yang memiliki 198 ribu pengikut di Instagram, menggunakan media sosial itu untuk mempromosikan saling pengertian antara Muslim Korea dan non-Muslim. Selain itu, untuk membantu Muslim asing memahami Korea Selatan dengan lebih baik.

Dia sering memposting foto dirinya memakai hanbok, pakaian tradisional Korea Selatan, dan ternyata cocok dengan hijabnya. Terlepas dari niat baik itu, Song pernah menerima komentar dari haters yang menuliskan: “Saya yakin Anda akan memakai jaket bom suatu hari nanti”. Song menertawakan komentar itu dan melihatnya sebagai kesalahpahaman. “Saya akan mencoba menjelaskan Islam kepada mereka.”

Namun, Song mengatakan dia mungkin akan bermigrasi jika memiliki anak. Dia takut anaknya yang terlahir Islam akan mendapat intimidasi selama bertahun-tahun di sekolah Korea Selatan.

Diperbarui pada ( 13 Maret 2024 )

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *