Cerpen: Anomali dari Langit

Ini sesuatu yang lebih baik. Bagian terpenting dari seluruh rangkaian peristiwa yang terjadi pada malam itu, sebuah raungan. “Ya, sebuah raungan.”

Alien turun ke bumi. (Freepik.com)

“Kalian tahu dari mana asalnya suara raungan itu?” tanyanya.

“Dari sana.., ya, dari sana, dari tengah-tengah gurun,” ia menjawab sendiri pertanyaan tersebut sambil mengangguk-angguk, seolah-olah jawaban itu baru saja melintas di dalam kepalanya.

Lelaki itu duduk di seberang meja, menghadap dua lelaki bergaya rambut pompadour mengenakan setelan double breasted. Cahaya dari lampu yang menggantung rendah di atas kepala mereka jadi satu-satunya penerangan di tempat itu.

“Maaf,” kata lelaki itu lagi, “Keberatan jika aku bertanya jam berapa sekarang?” Ia berbicara sembari memukul-mukulkan ujung puntung rokok yang terkepit di jari kanannya ke bibir asbak.

“Ayolah, kawan, adakah yang salah untuk seseorang yang menanyakan waktu?” sambungnya lagi sambil memundurkan posisi duduk, menyembunyikan wajahnya di balik cahaya.

“Well, mungkin saja jam satu atau dua pagi. Entahlah,” ucap salah satu lelaki berjas.

“Aku tidak tertarik untuk melihat jam untuk saat ini,” timpal lelaki berjas satu lagi.

“Ya, kau tahu, kami lebih menyukai jika kau segera mengakhiri semua ini,” tindih temannya.

“Hei! Tidak, tidak, please,” ia mendekatkan wajahnya, lalu berkata, “Kupikir kalian akan menyukainya, ayolah.”

Kedua lelaki itu saling berpandangan satu sama lain.

“Aku tidak tertarik, kau?”

“Entahlah,” kata temannya, mengangkat bahu.

Lelaki berjas yang duduk di sebelah kiri menunjukkan gelagat gelisah, mengetuk-ngetuk meja dengan ujung pulpen, merapikan tumpukan dokumen lalu menyelipkan tumpukan dokumen tersebut ke dalam sebentuk map berlogo sebuah agensi.

Ia menghela napas. “Menurutmu?”

“Apa?” Temannya mengerutkan dahi, kedua alisnya saling berdekatan.

“Aku cuma ingin merebahkan diriku di atas kasur untuk saat ini,” kata temannya lagi.

“Semua orang membutuhkan itu untuk saat ini,” balas temannya dengan nada yang terdengar kesal.

“Ya, semua orang,” timbrung lelaki yang terborgol, dibalas tatapan tak berekspresi dari kedua lelaki tersebut.

“Well,” gumam salah satu lelaki berjas dengan ujung lidah ditekan ke dinding pipi kiri serta dagu bertelekan tangan, “Setelah dipikir-pikir, kami biarkan kau melantur sekali lagi. Tetapi,..ah, terserahlah,” lanjutnya.

“Nah.” Wajah lelaki itu terlihat semringah.

“Kami mendengarkan.”

“Oke, oke. Biar kumulai dengan Marashida.”

Kedua lelaki itu memperbaiki posisi duduknya masing-masing.

Itu sebuah kota berdebu di tepi Sungai Eufrat. Setahuku, malam itu hanyalah salah satu dari banyak malam terkutuk yang ada di Damaskus.

Ada delapan tawanan yang meringkuk di dalam bangunan sebentuk sel sebelum seseorang datang dengan suara sepatu lars yang kentara. Aku tahu ini bukan saatnya untuk sebuah kunjungan keluarga yang manis.

Setiap tangan diikat dengan seutas kabel yang saling tersambung satu sama lain. Orang-orang itu digiring ke sebuah lubang di tengah gurun di dalam udara yang terasa menusuk hingga ke benak tulang.

“Kalian tahu Burlaki na Volge [1]?”

“Lanjutkan saja ceritamu.”

“Ayolah, kawan. Kalian terlampau kaku untuk ukuran seorang birokrat Langley.”

Barisan itu persis pria-pria kepayahan dalam lukisan Burlaki na Volge. Hanya saja, yang diseret itu bukanlah sebuah tongkang, tetapi kereta dewa kematian berkepala jakal, menuju Duat, tanah di mana setiap jiwa akan dihakimi.

Bagaimana pun, aku sempat membayangkan para pesakitan ini adalah Dasher, Dancer, Prancer, Vixen, Comet, Cupid, Donner, dan Blitzen, rusa-rusa penarik kereta Santa Claus. Sayangnya, tidak ada natal yang cukup menyenangkan yang pantas dirayakan di tengah gurun terkutuk seperti itu.

Namun, dari semua hal terkutuk di tempat itu, yang paling terkutuk tentu saja aku. Seorang latin juga desertir yang fasih berbahasa Arab di dalam sebuah gerombolan pemberontak belum cukup sial dibanding menjadi eksekutor di bawah tekanan.

Andai dapat memilih, aku ingin menjadi anak muda berkacamata di agensi sana, yang kerjanya cuma mematung di depan layar sambil membalas surel berisi pesan porno dari kekasih virtual mereka, ditemani Starbucks setengah panas dari tumbler bergambar burung elang dengan perisai dan kompas, sedangkan agen lapangan sepertiku berhadapan dengan pilihan-pilihan yang sulit dan nonsens.

“Semua orang pernah mengalami situasi pelik seperti itu.”

“Oh, ya?” Ia memelotot, memperlihatkan senyum miring yang mengejek.

“Ya, kau sendiri tahu itu. Tidak ada yang perlu diperdebatkan mengenai hal-hal patriotik seperti itu.”

“Ya, dan, kalian tahu apa paling kusukai dari hal-hal patriotik seperti itu?” Kedua lelaki itu mengangkat bahu dengan alis yang terangkat dan mulut mengecil.

Gestur kedua lawan bicaranya yang acuh tak acuh membuatnya tersenyum tipis. Ia pun mengambil jarak, menyelonjorkan tubuhnya dengan salah satu kaki ditekuk.

“Kalian tahu? Aku sering melihat orang-orang ini menengadah sambil berdoa sebelum menghabisi seseorang. Aku berharap orang-orang di agensi sana menggantikan posisi orang-orang yang akan kuhabisi itu. Oh, Tuhan, betapa beruntungnya aku karena tugasku cuma membenamkan peluru berkaliber 5,56 milimeter ke kepala para tawanan itu, tidak lebih. Tidak lebih.”

Orang-orang itu disuruh melutut dengan tangan di belakang kepala. Kurasa itu adalah lubang yang sama, yang digunakan untuk ritus penguburan seseorang satu pekan sebelumnya.

Terlepas dari itu, untukku, mereka hanyalah sekelompok turis yang terlalu banyak minum vodka sehingga terlalu mabuk untuk menyadari bahwa mereka telah mendatangi tempat yang salah.

Untuk sepersekian detik, para idiot ini mungkin telah menyadari jika lubang itu adalah lubang kematian yang telah digali semenjak mereka memutuskan datang ke tempat itu.

Aku ingin sekali mengatakan bahwa aku pernah digembleng setengah mati di Sherman, Naval dan lainnya, namun, tidak pernah diajari bagaimana membunuh orang-orang tolol seperti mereka.

Orang-orang ini telah dengan senang hati membuat orang sepertiku menanggung rasa bersalah seumur hidup.

Aku ingat seorang jurnalis idiot yang rela mempertaruhkan nyawa demi mengeksploitasi kesedihan orang-orang di balik palagan. Lalu, apa hasilnya? Hanya sebuah cerita yang tak lebih lucu dibanding berita koran kuning yang menuliskan affair seorang demokrat dari Arkansas dengan seluruh fantasi liarnya?

“Fokus, kawan. Kami hanya ingin tahu detail kematian orang-orang tersebut. Itu saja.”

“Hei…, tenanglah, aku tak ingin cerita ini berakhir dengan bodoh,” ujar lelaki itu dengan kedua tangan diangkat sejajar bahu.

Sampai di situ, tidak pernah ada permintaan terakhir atau kalimat-kalimat melankolis. Semua melutut dalam hening, sementara aku bersiap-siap dengan moncong senjata yang mengarah ke horison.

“Wayl lilkafirin! [2] Kalimat itu diucapkan berkali-kali oleh seseorang berserban di samping.

“Sawf tamut allayla!”

Ya, “Sawf tamut allayla!” Kalian akan mati malam ini juga! Ya!

https://www.instagram.com/p/B9QmSVQnGYy/

Oh Tuhan, aku tidak punya sesuatu untuk diucapkan kecuali sebuah keinginan berkunjung ke Maalula, menghabiskan waktu di sebuah kapel sederhana, mencuri-curi tempat di sudut altar, berharap sang mesias datang dengan cawan suci berisi air penebus dosa. Di mana semua ini akan berakhir, lebih baik atau lebih buruk.

Aku ingat pernah ke La Capilla del Santo Caliz [3]. Diriku saat itu ialah seorang anak berumur sepuluh tahunan, yang datang ke katedral bersama kedua orang tuanya, mencari-cari kursi kosong di tengah misa Sabtu Suci usai sebuah angjangsana keluarga Spanyol yang tidak terlalu penting.

“Aku berharap ada di situ lagi. Setelah semua ini. Aku ingin ke sana. Satu hari menjelang Minggu Paskah.”

“Apa yang terjadi setelah itu?”

Lelaki itu tiba-tiba berhenti, merasa terusik.

“Apa yang ingin kalian ketahui?”

“Well, tentu saja nasib para tawanan itu. Bukan ocehanmu tentang dosa dan segala hal mengenainya. Kau mulai membuat kami bosan, agen Niguel.”

“Aku belum sampai di situ.”

Ini sesuatu yang lebih baik. Bagian terpenting dari seluruh rangkaian peristiwa yang terjadi pada malam itu, sebuah raungan.

“Ya, sebuah raungan.”

Raungan yang lebih mirip deruman hoovercraft milik Navy SEALs itu semakin memekakkan telinga, seiring munculnya bulatan-bulatan kemerahan di permukaan pasir, membentuk sebuah pola lingkaran seperti gelang dengan bulatan yang lebih besar di tengah.

Benda aneh itu sebentuk kerang raksasa yang mendaratkan keempat kaki panjangnya di atas pasir sebelum menurunkan tangga otomatis berbentuk pipih, membawa dua makhluk kerdil berkepala cyclop dengan senjata aneh.

Moncong kedua makhluk hijau itu mengeluarkan bunyi seperti gelembung lumpur yang mendidih, dan mata yang sangat lonjong. Mereka mirip seorang penyelam dengan masker dan regulatornya, tapi, aku lebih suka menyebutnya seorang ibu dengan alat penyedot debu.

Dua makhluk buruk rupa itu mulai menyorotkan sinar dari senjata mereka ke orang-orang. Itu sinar hijau yang mengeluarkan bunyi seperti efek laser dalam film-film sci-fi.

Sinar itu menarik orang-orang. Aku bisa melihat seseorang melayang-layang di udara, menggapai-gapai sesuatu lalu berteriak-teriak, meminta tolong, sebelum tubuhnya perlahan mengecil, semakin kecil, lalu menghilang di dalam sebentuk kotak yang ada di punggung makhluk tersebut.

“Hujum! [4]” Seseorang tercegak, kami pun mengambil ancang-ancang.

“Hujum!” pekik yang lain.

“Percuma! Lihatlah, kedua iblis itu tidak dimakan oleh peluru! Lihatlah!” Orang-orang pun berlarian.

“Tunggu!

“Kurasa kau masih belum mengerti.” Salah satu lelaki berjas berdiri, menyandarkan pantatnya ke tepi meja dengan tangan diselipkan di saku celana.

“Dengar, kami tidak peduli dengan igauanmu soal anomali yang tiba-tiba muncul dari langit dan memakan orang-orang. Kami hanya ingin tahu nasib para tawanan yang hendak di eksekusi itu.”

Lelaki itu tersenyum dengan tatapan sayu yang serius. Ia kembali menyembunyikan wajahnya di dalam kegelapan, menenggelamkan mukanya dalam kepulan asap rokok yang baru diembuskannya.

Baca Juga: Cerpen: Pos Jaga

“Aku sudah mengatakannya barusan, mereka diambil oleh makhluk aneh itu.”

“Kau telah mengeksekusi mereka, agen Niguel?” tanya lelaki yang berdiri tadi.

“Berapa kali harus kukatakan, mereka dibawa pergi oleh benda asing yang datang dari langit.”

“Baiklah, anggap kami percaya, lalu, kenapa kau dan orang-orang Arabmu itu tidak ikut diambil oleh UFO seperti ceritamu itu?”

“Itu gampang kawan, karena aku dan orang-orang Arab yang tergila-gila dengan utopia kekhalifan itu semuanya tak bertuhan.” Ia tertawa terbahak-bahak lantas menekur, menatap lekat-lekat rantai pendek yang menjadi penghubung kedua gelang besi yang melingkar di pergelangan tangannya.

“Well,” Lelaki berjas di sebelah kanan berdiri lantas memasukkan seluruh dokumen yang ada di atas meja ke dalam tas kulit yang ada di atas meja, sementara yang satu lagi terlihat sibuk mengutak-atik layar dari benda persegi berwarna keperakan yang menyembul dari balik mansetnya.

“Kurasa cukup untuk malam ini.”

——————————————————————-
1. Lukisan karya Ilya Yefimovich Repin
2. Celakalah orang-orang kafir!
3. Katedral di Valencia
4. Serang!.

Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )

Facebook Komentar

One thought on “Cerpen: Anomali dari Langit

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *