~ Success is 99% failure _ Soichiro Honda
Si Merah turun berok setelah sekian tahun tak mengenal bengkel. Hari ini, di suatu siang yang jahanam bukan main panasnya, Si Merah masuk bengkel, sebuah tempat di mana ia seharusnya mematut-matut diri tapi selalu dihindarinya. Si Merah punya hubungan kurang baik dengan bengkel, serupa kambing dengan air.
Maka, di siang panas ini, Si Merah harus masuk bengkel. Tidak ada rencana sebelumnya. Tak ada juga kejadian yang mendadak seperti mesin ngadat atau tali kipasnya digigit tikus. Mungkin, satu-satunya faktor pendorong ia masuk setelah Sang Tuan pemiliknya mendengarkan dengan khusyuk khutbah Jumat tentang cara memandikan jenazah dan kewajiban-kewajiban para waris setelah seseorang menjadi jenazah. Apakah karena itu? Apakah Sang Tuan takut ditinggal pergi Si Merah suatu hari nanti?
Entahlah. Walaupun namanya Scoopy, ia tetap meminta dipanggil Si Merah. Sebagai generasi pertama Scoopy yang keluar dari kandungan sekitar delapan tahun lalu, ia ingin punya ciri khas, katanya. Ia juga antimainstream dan menolak kemapanan.
Saat dibawa ke bengkel, Si Merah tak menunjukkan tanda-tanda perlawanan. Butuh tiga kali mengengkol (dua kalinya kopong), barulah Si Merah sampai ke jalanan, memijak aspal panas, dan kebingungan mencari bengkel yang pas. Bengkel yang teduh, yang mampu menenteramkan hati Sang Tuan karena isi dompet sebentar lagi bakal terkuras.
Setibanya di bengkel, dengan lunglai Si Merah di-cagak dua diiringi tatapan memilukan tukang bengkel. Kesimpulan beliau, Si Merah kondisinya tengah menuju kritis. Ibaratnya ia mengidap kanker otak stadium satu. Mesti dioperasi segera sebelum menjalar ke jantung, paru-paru, bahkan limpa. Artinya, ia bakal mogok di jalan suatu hari kelak, ramalan si tukang bengkel yang membuat Sang Tuan manggut-manggut mengernyitkan dahi.
Setelah menimbang dengan seksama Sang Tuan pun memutuskan Si Merah boleh dioperasi. Dia pun membubuhkan jempol di atas materai enam ribu sebagai tanda persetujuan.
Seiring menyeruaknya sekumpulan debu jalanan ke muka bengkel, Si Merah pun mulai dioperasi dari perut. Ternyata ia tak mengidap kanker otak, cuma usus buntu. Perutnya dibuka, jeroan-jeroannya dikeluarkan, dan dibersihkan dengan mesin penyemprot. Melihat perutnya kosong tanpa organ, ia mirip korban tembakan shotgun. Ketika rantainya diturunkan ia pun berubah jadi bebek ompong.
Ya, Si Merah bukan macan apalagi kuda liar. Ia telah bertahun-tahun menemani Sang Tuan setelah dipingit dengan mahar muka sekira semayam emas dari sebuah rumah bordir menyaru tempat kredit milik borjuis kapalan yang kerap ngutang ke bank. Ketika itu Si Merah masih berkilap. Saat berlenggak-lenggok di bawa matahari siang kilauannya mampu menyilaukan orang-orang di jalanan. Lebih kilap dari gigi di iklan odol yang pernah terkenal itu.
Sejak hari itu hingga sekarang, bersama Sang Tuan, Si Merah mengarungi kehidupan dunia yang kejam. Ia pernah diajak ngebut dalam deras hujan, menerabas jalan berbatu, bermandikan lumpur atau sekadar jalan-jalan sore cari angin. Si Merah tak pernah ngambek ketika dipinjamkan orang. Tak terhitung berapa banyak tangan sudah mengelus kemudinya yang bulat panjang itu. Tak terhitung berapa rupiah ia dermakan untuk membantu pemerintah di sektor perparkiran. Ketika ditinggalkan Sang Tuan pulang kampung, Si Merah setia menunggu dalam debu berbulan-bulan di sebuah tempat parkir.
Sebagai aset yang bisa diperjualbelikan, Si Merah juga jadi incaran pihak asing. Ada sekitar dua kali Si Merah hampir dibawa lari orang yang hobi mengambil milik orang tanpa kasih tahu. Itu terbukti dari bekas goresan kunci T di lubang starter Si Merah. Ketika itu terjadi Sang Tuan sedang sibuk bekerja mengumpulkan beberapa lembar rupiah sebagai bekal membeli bensin Si Merah.
Namun, Tuhan masih melindungi Si Merah. Ia tak jadi dibawa lari. Sebaliknya, hal miris hampir terjadi ketika Sang Tuan menunggak cicilan kredit. Si Merah hampir dikembalikan ke rumah bordir. Malamnya, Si Merah menangis meratapi diri. Ia tak mau kembali ke sana dan menjadi pelacur sepanjang hidupnya. Rupanya, tangisan tersebut hadir dalam mimpi Sang Tuan. Keesokannya harinya, tunggakan mampu dilunasi. Sebagai bentuk kegembiraan, ia dibawa Sang Tuan ngopi di Solong.
Si Merah juga pernah ditabrak dari belakang oleh pengendara mobil di lampu merah ketika kehabisan bensin. Buntutnya, pantat Si Merah sedikit sobek dan mesti ditambal dengan lem. Uang beli lem didapat Sang Tuan dari kompensasi oleh pemilik mobil yang katanya terburu-buru. Sementara Pak Polisi di situ hanya menengahi lalu meninggalkan Sang Tuan dan pemilik mobil bernegosiasi. Uang ganti rugi sebenarnya tak cukup untuk membeli pantat baru Si Merah tapi apa daya Sang Tuan mengalah karena perut mendadak mulas.
Di lain malam, Si Merah ditabrak mobil seorang intel ketika tercagak sendiri di depan sebuah kantor menunggu Sang Tuan bermain PES 2013. Si Intel yang mungkin baru belajar mobil tak tahu cara mengintip spion ketika memundurkan kendaraan roda empat itu. Jadilah mobil Si Intel menabrak Si Merah yang kemudian terjengkang kesakitan dalam gelap malam di teras kantor yang lampunya remang-remang. Tak ada kompensasi malam itu karena tak pasti seberapa lecet Si Merah. Esoknya barulah kelihatan beberapa luka di sana-sini. Namun, Sang Tuan hanya mampu membalutnya dengan handyplast.
Si Merah tak pernah masuk geng motor atau klub ini-itu. Ia tak mau terjebak pada perilaku hedonisme berkelompok itu. Walaupun terlihat antisosial, Si Merah hanya mau berteman dengan tuannya. Di jalanan ia melaju dengan raungan normal, tak mau terlihat garang oleh orang-orang. Ia menolak dipasangkan knalpot bolong agar suaranya mengundang perhatian khalayak. Si Merah tak menonjol. Jika diibaratkan dalam sebuah kantor, ia cuma pegawai magang yang tak masuk daftar mutasi. Di jalanan, kastanya cuma paria.
Si Merah juga bukan penganut mazhab BBM SPBU. Baginya, minum di mana saja boleh karena sama-sama enak dan berenergi. Itu karena ia jarang minum banyak. Seliter saja cukup mengantar tuannya bolak-balik rumah-kantor selama beberapa hari. Ia bisa jajan bensin di kios eceran pinggir jalan. Segala jenis BBM pun oke untuknya kecuali bensin oplosan karena ia takut mabuk.
Di jalanan, Si Merah bukan pelari ulung. Ia pernah kalah dari Astuti sok cantek yang melibasnya di tikungan Seulawah. Ia juga terengah-engah mendaki jalan buatan Belanda itu dan hampir mundur teratur. Namun, ia menolak tunduk pada bebalnya aspal. Si Merah hanya mau berlari ketika jalanan sepi. Ia kadang malu dilihat orang-orang. Lebih baik tentu saja ketimbang lari dari kenyataan.
Sudah setahun ini pajak Si Merah mati. Tuannya yang miskin tak mampu lagi membayar upeti kepada negara. Kondisi ini tidak baik jika Si Merah jalan jauh melintasi kabupaten atau jalan-jalan protokol. Resikonya diciduk polisi. Namun, beberapa kali Si Merah lolos dari razia setelah Sang Tuan dengan diplomasi kejepit mencoba berkelit dari polisi tanpa perlu membayar tilang. Atau, kucing-kucingan mencari jalan tikus menghindari razia.
Bertahun-tahun bersama Sang Tuan, Si Merah merasakan pahit manis kehidupan. Di jalanan, ia melihat bagaimana mobil-mobil rakus merebut pinggir jalan. Si Merah kadang ingin melawan tapi Sang Tuan terlalu pengecut untuk adu jotos.
Bertahun-tahun bersama Sang Tuan, Si Merah juga jarang dimandikan. Apa lacur, lambat laun warna badannya memudar. Merahnya jadi merah lesu, tak lagi merah Sangobion. Ia hanya mandi ketika kotor sekali. Itu pun bisa dihitung dengan jari. Ia jelas kalah bila dibandingkan dengan kerbau.
Ketika ia perlu oli, Sang Tuan juga abai. Padahal Sang Tuan tahu suara Si Merah kian parau. Entah kenapa Sang Tuan enggan mengganti. Si Merah tak memprotes. Ia tahu diri, bisa hidup saja sudah syukur ketimbang dijual atau digadaikan atau dikembalikan ke rumah bordir.
Meanwhile in the bengkel
Kini, oli Si Merah berganti baru. Jeroan-jeroannya telah dipasang ulang. Beberapa diganti baru. Suaranya mulai membaik walaupun serak masih terasa. Ia lumayan segar setelah operasi. Apalagi di ujung-ujung mendapat pijatan kenikmatan tiada tara dari tangan-tangan berotot tukang bengkel.
Walaupun gembira Si Merah hanya mampu menekur waktu melihat raut lemas Sang Tuan di sudut bengkel. Ia tahu, beberapa lembar isi dompet Sang Tuan telah berpindah ke saku pemilik bengkel. Ketika matanya beradu dengan mata Sang Tuan, seolah-olah ia berkata,”Aku tak pernah minta banyak selama ini”. Itu benar adanya, Si Merah tak pernah minta didandani dengan pernak-pernik aneh.
Tujuh tahun menemani Sang Tuan, paling besar permintaannya hanya ganti ban belakang dan depan yang mulai gundul. Si Merah juga tak manja meminta luka-lukanya didempul. Adakalanya ia bangga memamerkan luka-luka itu ke motor ber-cc besar dan gahar tapi mulus minta ampun. Si Merah seperti veteran perang yang bangga dengan bekas-bekas luka pertempuran. Kalau iya begitu, mungkin pangkatnya cuma kopral.
Begitu keluar dari bengkel, sore menjelang. Sang Tuan terlihat puas walaupun Si Merah sebenarnya masih butuh perbaikan lagi di sana-sini. Sementara cukup itu dulu. Setidaknya performa Si Merah sudah sangat baik diajak mudik lebaran tahun 2020 nanti.[]
Diperbarui pada ( 20 Februari 2024 )
One thought on “Cerita Si Merah Masuk Bengkel”