~ Kebahagiaan, Di Manakah Engkau Berada?
Masa kuliah dulu, ada satu kejadian yang abadi di dalam pikiran saya. Bukan tentang masa terseok-seok menyelesaikan kuliah, tentunya. Ini setitik kejadian dari banyak titik kejadian di proses kuliah yang hampir abadi. Ingat, yang ini hampir abadi.
Suatu siang yang panasnya menyedihkan, segelas teh dingin telah kandas tersedot di depan saya. Dan, hanya beberapa belas menit selanjutnya, di antara riuhnya suasana di dalam kantin kampus, gerah yang menerpa sekujur tubuh saya berangsur-angsur menghilang. Saatnya untuk pergi ini, pikir saya. Secara bersamaan pula, saya bangkit dari kursi dan bergegas menuju meja kasir.
Di meja kasir yang bututnya sekelam arang, Abang Penjaga Kantin berbasa-basi sekenanya. Ada sedikit omongan-omongan kelas receh yang memancing tawa antara kami. Yang pastinya, duit segera berpindah tangan. Seraya mengambil duit, suatu pertanyaan meluncur dari Abang Penjaga Kantin: “Apa, sih, tujuan hidup ini?”
Terus terang, saya tak menduga pertanyaan ini dan saya tak bisa menduga-duga juga bagaimana bentuk muka saya. Ini pertanyaan yang sangat dalam, sedalam sumur bor yang sering diiklankan jasa pengeborannya. Bagaimana mungkin memikirkan jawaban pertanyaan sedalam itu, jika hidup saya hanya berkutat di sekitar linangan air mata karena ditinggal pacar dan puisi-puisi cinta karya sendiri yang noraknya naudzubillah.
“Segitu aja nggak tau. Tujuan hidup ini untuk mendapatkan kebahagiaan,” jawabnya sendiri, setelah yakin saya tak mampu menjawab.
“Ohh, mendapatkan kebahagiaan.”
Mendengar jawabannya, saya seperti menemukan sebongkah emas di padang pasir yang kering kerontang. Sebuah jawaban yang mewah, berkilau, dan berkelas. Saya angkat salut sama Abang Penjaga Kantin, sebab ia mampu menjawab pertanyaan yang, bagi saya, sangat berat. Saya kagum.
Semenjak kejadian itu, kata-kata “mendapatkan kebahagiaan” menjadi andalan saya sekiranya ada orang, atau teman sejawat, atau calon mertua, atau tukang bakso, atau maling, atau siapalah itu yang menanyakan apa tujuan hidup ini.
Padahal, kalau misalnya ditanya lebih detil lagi, saya sendiri tidak tahu apa itu kebahagiaan dan bagaimana caranya mencari atau mendapatkan kebahagiaan.
Bedebahnya, sekian lama menunggu, menunggu, dan menunggu bagai kodok burik merindukan bulan, tak seorang pun yang menanyakan apa tujuan hidup ini kepada saya. Sampai akhirnya, seorang teman menjumpai saya. Bukan, teman saya bukan ingin menanyakan apa tujuan hidup ini. Ia sedang mengampanyekan hidup dengan sepeda.
Memang, sebelumnya, ia pernah mengirim satu dua video tentang sepeda, khususnya tentang bikepacking. Katanya, ia sudah lama merenungkan “jalan mulia” ini. Ia tidak seperti orang lain yang mengejar kecepatan dan jarak tempuh yang jauh dalam bersepeda. Ini bukan kompetisi. Ia menjadikan bersepeda sebagai cara menikmati hidup.
Mulanya, saya berpikir, sepertinya teman saya ini kesepian. Ia butuh teman bersepeda yang bisa menemaninya kala ban bocor di tengah jalan. Tapi, Tuhan menampakkan yang lain. Tuhan menampakkan keceriaan dari raut mukanya. Ada semangat yang menyeruak ketika ia membicarakan filosofi dan gaya hidup bersepedanya. Apakah ini yang namanya kebahagiaan? Apakah ini yang namanya mencari dan mendapatkan kebahagiaan sebagai tujuan hidup?
Entahlah, saya tak tahu. Kalau pun itu kebahagiaan dan teman saya berhasil mendapatkannya, saya hanya bisa merayakannya dengan suka cita. Bisa jadi, saya akan membuat film serupa film Filosofi Kopi yang dibintangi Chicco Jerikho dan Rio Dewanto. Filmnya, barangkali berjudul Filosofi Sepeda, atau Sepeda dan Kopi, atau Ngopi di Atas Sepeda atau apalah itu.
Namun, semakin berjalannya waktu, tampaknya perkara film atau raya merayakan ini harus diabaikan terlebih dahulu. Baru-baru ini, ada hal lain yang mengganggu pikiran saya. Kata Rafael Euba, seorang konsultan dan dosen senior Old Age Psychiatry di King’s College London, dalam tulisannya di The Conversation, kebahagiaan adalah rekaan manusia, gagasan abstrak yang tidak ada padanannya dalam pengalaman manusia yang sebenarnya. Perasaan positif dan negatif memang ada di otak, tetapi kebahagiaan yang berkelanjutan tidak mempunyai dasar secara biologis.
Katanya lagi, manusia tidak didesain untuk bahagia, atau bahkan merasa puas, melainkan didesain utamanya untuk bertahan hidup dan bereproduksi, sama seperti setiap makhluk lainnya di dunia. Kondisi merasa puas dihalangi oleh alam, karena kepuasan akan menurunkan pertahanan kita menghadapi ancaman keberlangsungan hidup. Fakta bahwa evolusi sudah memprioritaskan perkembangan lobus frontal (yang memberikan kita kemampuan memutuskan dan menganalisis yang sangat bagus) daripada kemampuan alami untuk merasa bahagia, secara jelas, menerangkan banyak kepada kita tentang prioritas alam. Area dan sirkuit berbeda yang berada di otak dihubungkan dengan fungsi neurologis dan intelektual tertentu, tapi untuk kebahagiaan, tidak bisa ditemukan di jaringan otak. Ia semata-mata hanyalah rekaan tanpa dasar neurologis.
Saya sempat tergeletak di tempat tidur untuk memikirkan apa yang dikatakan Rafael Euba. Benarkah manusia didesain utamanya untuk bertahan hidup dan bereproduksi? Tidak ada sedikit pun untuk bahagia?
Kalau urusannya bereproduksi, saya tahu, manusia pasti mempunyai keinginan bereproduksi. Alat-alatnya juga sudah terancang sedemikian rupa, tinggal niat dan nyali saja yang dibutuhkan. Secara sah, tentunya, yaitu menikah. Bukan hanya alat-alatnya saja, alarmnya alias orang-orang pun selalu siap mengingatkan dan menanyakan di hampir setiap waktu: Kapan kawin? Kapan menikah? Kapan bereproduksi? Kapan berkembang biak?
Sedangkan untuk urusan bertahan hidup, saya kira, dalam menjalankan kehidupan sehari-hari saja, dari pagi ke pagi, kita tidak putus-putusnya berhubungan dengan bertahan hidup. Selalu saja ada masalah-masalah yang hadir atau situasi-situasi yang sulit di kehidupan kita dan semuanya membutuhkan pemecahan.
Saya jadi teringat dengan peristiwa pekan kemarin. Ceritanya kira-kira begini. Lari pagi saya yang biasanya lancar sejauh lima kilometer, mendadak kacau balau di jarak dua kilometer. Sesak berak menyerang saya.
Dengan tetap berlari, saya memutuskan kembali ke rumah. Yang membuat hati saya perih adalah, semakin saya berlari, guncangan di perut makin membuat sesak berak bertambah parah. Mau tak mau, saya harus berhenti berlari dan kemudian berjalan kaki. Ini otomatis berakibat pada semakin lambatnya perkiraan waktu tiba di rumah.
Saya terus memutar otak supaya saya bisa bertahan sampai ke rumah. Saya mencoba cara ancient local tradition yang, katanya, belum terkontaminasi budaya global, yaitu memungut satu kerikil, lalu menjepitnya kuat-kuat dengan jari tengah dan jempol. Hasilnya tidak begitu menggembirakan.
Kemudian, saya mengombinasikan lagi dengan STOP (Sit, Thinking, Observe, Plan), yang kerap dipakai untuk bertahan hidup di alam liar. Untuk Sit, saya melewatkannya, karena sama saja dengan bunuh diri. Sedang untuk Thinking, Observe, dan Plan, saya melakukannya secara bersamaan. Saya terus berpikir tentang rute paling dekat ke rumah, mengamati lokasi-lokasi WC umum yang mungkin bisa disinggahi jika terdesak, menyusun rencana-rencananya dan apa resikonya. Pada ujungnya, saya berhasil juga sampai di rumah, melepaskan berak, dan lega selega-leganya.
Dari cerita tersebut, untuk keluar dari situasi sulit, saya melakukan pemikiran mendalam yang melibatkan pengambilan keputusan, analisis, pengamatan, dan rencana-rencana. Agak-agaknya, Lobus frontal, yang kata Rafael Euba diprioritaskan perkembangannya oleh proses evolusi, telah memainkan perannya. Ini baru setingkat bertahan hidup tidak ingin belepotan tae di tempat umum, belum lagi dengan masalah-masalah atau situasi-situasi sulit yang lebih rumit lainnya. Manusia, saya rasa, memang didesain untuk bertahan hidup, tidak didesain untuk bahagia.
Dengan menyesal, jawaban “mendapatkan kebahagiaan” dari Abang Penjaga Kantin harus saya buang ke tong sampah. Satu jawaban yang, akhirnya saya sadari, mengawang-ngawang di langit, tapi tidak pernah turun ke bumi, ke dunia nyata.
Mungkin ke depan, andaikata ada orang-orang yang bertanya kepada saya: Apa tujuan hidup ini?
Jawaban saya: Ya, untuk bertahan hidup dan bereproduksi, karena cuma itu modal yang kita punya.
Kalaupun ada yang membantah: Bagaimana dengan perasaan lega setelah berak dan keceriaan dan semangat yang dirasakan teman saya sang pengayuh sepeda? Bukankah itu kebahagiaan?
Jawaban saya: Ah, itu hanyalah perasaan positif, sama positifnya dengan perasaan saya ketika menjitak kepala Abang Penjaga Kantin, jika kelak kami bertemu.
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )
One thought on “Benarkah Tak Ada Kata Bahagia dalam Kamus Hidup Manusia?”