~ Pengalaman yang sungguh menggetarkan bulu mata
Tentang toilet “sultan” yang senilai 20 USD—atau sekitar 270 ribu rupiah menurut kurs saat itu—ini sebenarnya pengalaman temanku saat pertama kali menginjakkan kaki di negeri asal kebab, Turki.
Awalnya, gadis yang sampai sekarang masih betah menjomblo—pake b atau nggak ya—ini, enggan bercerita lebih lanjut karena takut bakal dijadikan bahan gibah.
Tapi, demi kemaslahatan bersama akhirnya dia bersedia meneruskan ceritanya. Minimal, kata dia, kejadian itu bisa jadi bahan pelajaran memasak tahu bagi kita-kita yang nantinya bakal melancong ke luar Indonesia.
Gadis itu—sebut saja Bungong—harus disamarkan namanya karena ia tak mau dikenal oleh publik akibat dari sebuah kekonyolan dalam hidupnya.
Katanya, sih, malu sama IQ-nya yang nyaris menyentuh angka 132, berdasarkan tes di situs tak resmi yang beberapa waktu lalu viral di platform milik Mark Zuckerberg.
Pun, bakal tercoreng nama baik kampungnya yang berada di seputaran Ulee Lheue itu jika ada yang tau kalo dia sempat menjadi korban penipuan kelas udang sabu.
Walaupun sebenarnya cerita ini sudah masyhur di kalangan mahasiswa penerima beasiswa YTB angkatan 2017.
Jadi gini, Si Bungong adalah salah satu penerima beasiswa magister dari Pemerintahan Turki. Secara otomatis, dia harus kuliah di Turki, dong, bukan di Belanda.
Nah, perkara berangkat ke Turki bukan ecek-ecek segampang naik robur ke Darussalam. Bagi Bungong, ini ibarat tukang bubur berangkat haji. Sebuah ritual yang mesti disiapkan secara matang.
Persiapan dia sudah oke sebenarnya. Kalau nggak gitu bukan anak Ulee Lheue namanya.
Eh, kamu tau di mana Ulee Lheue kan, Bree? Ini salah satu tempat paling asyik di Banda Aceh untuk kamu menyaksikan senja dan kopi.
Cuma satu hal saja yang bikin hati Bungong kebat-kebit sejak awal.
Di antara tiga temannya yang berdomisili di Banda Aceh, hanya dia yang berangkat Selasa, yang lain mendapat tiket keberangkatan hari Jumat.
Kegalauan itu sedikit terobati manakala ada infomasi yang beredar di grup WhatsApp, ada mahasiswa program doktor juga berangkat di hari yang sama.
Sedikit lega. Akhirnya Bungong dan mahasiswa tersebut janjian untuk bertemu di Malaysia.
Maka, di hari yang cerah, berangkatlah Bungong dari Bandara Sultan Iskandar Muda, disertai tatapan keluarganya yang penuh haru saat melepaskan kepergian si aneuk dara menuntut ilmu di negeri orang.
Beberapa lembar tisu ikut basah di hari itu.
Sesampainya di Bandara Kuala Lumpur, Bungong yang masih dibalut perasaan melow mendadak kaget oleh bunyi alarm “krok-krok-krok” yang muncul dari perut keroncongannya.
Tengok jam, sudah waktunya zuhur. Sementara, dua travel bag berisi beberapa harta karunnya tak mungkin ia tenteng sendirian. Berat.
Lapar melanda di tengah kegusaran itu. Ia celingak-celinguk memutar pandangan ke hamparan manusia yang bergerak ke sana kemari. Tak ada yang dikenalnya.
Di tanah kelahiran Upin Ipin ini, Bungong berharap ada sosok baik macam Tok Dalang datang dengan “kereta astuti” saktinya dan mau membantu menjaga beberapa barang bawaan.
Ada semacam telepati yang terbangun di sini. Bagaikan pungguk merindukan Pluto, tiba-tiba sesosok malaikat tak bersayap yang diharapkan Bungong muncul di depan matanya.
Tapi “malaikat” itu sudah tua dan tak bersayap pun. Bungong jelas kaget. Ini keajaiban pertama yang dialaminya setelah berjarak seribu kilometer lebih dari rumahnya.
Tak hanya bersedia melindungi harta karun si Bungong, lelaki paruh baya itu berbaik hati mentraktirnya makan siang.
Ternyata idiom “no free lunch” tak selamanya benar. Bungong membuktikan sendiri.
Namun, setelah perut kenyang-hati riang dan tak lupa mengucapkan terima kasih kepada uncle tersebut, Bungong kembali risau.
Pasalnya, matahari sudah bersembunyi lagi di balik senja tapi teman yang berjanji bertemu tak kunjung menampakkan bulu hidungnya. Ditelepon tak bisa, di-SMS nggak ada pulsa.
Gaswat, kan. Padahal keberangkatan pesawat dijadwalkan pukul 23.00 waktu setempat.
Akhirnya dengan mengandalkan doa dan telepati, Bungong dan mahasiswa itu bertemu jua. Mereka berhasil naik ke pesawat yang sama menuju Istanbul.
Setelah kurang lebih 11 jam berada di pesawat, mendaratlah si Bungong di Atatürk airport. Ternyata, si kawan yang diharapkan bisa menjadi pelipur lara tak bisa menemani sampai ke tujuan utama karena mereka berbeda universitas.
Dia di Istanbul sedangkan Bungong harus menempuh perjalanan lagi sekitar enam jam ke Anadolu University yang berada di Provinsi Eskisehir, barat laut Turki.
Sembari menunggu bus, gadis berbadan mungil itu pun memutuskan menyambangi kamar mandi umum, menyahuti panggilan alam dan membersihkan wajah yang mulai memproduksi minyak goreng.
Di sinilah inti ceritanya. Di pintu toilet terpampang nyata biaya sekali masuk 1.5 Turkish Lira atau sekitar tiga ribu rupiah.
Tarif yang alamak jang, karena kalau di Indonesia sudah bisa tiga kali bolak-balik kamar mandi dengan uang segitu.
Kadang suka miris bin tragis melihat nasib rupiah yang selalu aja kalah dengan mata uang negara lain. Padahal sama-sama terbuat dari kertas. Tapi mau gimana lagi, ya kan?
Dengan menggunakan bahasa Inggris dan bahasa isyarat, Bungong bertanya pada penjaga toilet, apakah bisa membayar dengan Dolar Amerika? Karena di dompetnya tidak ada selembar pun uang lira.
Dengan wise, sang penjaga mengangguk dan menerima selembar 20 dolar lalu menggembalikan dua koin recehan.
Bungong mengambil dan menggenggam kembalian itu dengan perasaan yang mulai nggak enak. Namun, ia tetap tak mau bersuuzan.
Saat berada di dalam bus, barulah si cerdas penerima gelar cumlaude ini menyadari dan menelan kenyataan pahit, bahwa ia telah menjadi korban penipuan.
Kekesalan Bungong tentu tak akan membuncah jika saja di dalam toilet “sultan” itu disediakan layanan bekam wajah, pedi-medi, dan pijat refleksi.
Walaupun sebenarnya ia tak bisa serta-merta menyimpulkan hal itu terjadi karena penipuan yang diniatkan pelaku. Mungkin saja petugas toilet menganggap nilai kembalian dolar sama seperti nilai lira.
Dan, semua itu terjadi justru karena kenaifannya sendiri. Sungguh kisah tak berkelas sebenarnya jika harus diceritakan kepada publik.
Setelah sedikit trauma, Bungong tak berani lagi menggunakan dolar. Untunglah di dalam bus disediakan snack dan teh untuk mengganjal perutnya yang kosong.
Di tengah perjalanan tiba-tiba bus berhenti. Seorang perempuan bermata biru naik dan duduk di samping Bungong.
Dengan ramah si perempuan mengajak Bungong bercakap-cakap menggunakan bahasa daerahnya.
Bungong ingin bercerita kejadian yang barusan dialami. Tapi ia bingung harus berkata apa dan cara membalas sapaan, karena yang dia tau cuma “merhaba” atau apa kabar.
Ketika Bungong menggunakan bahasa internasional malah si perempuan Tukri yang gelagapan.
Baca Juga: Cerita di Balik Lagu Tsunami yang Memakai Bahasa Aceh dan Inggris
Jadilah mereka berinteraksi dengan memanfaatkan kecanggihan google translate. Namun, berkat pertemuan tersebut akhirnya Bungong berhasil menukarkan dolar miliknya dengan lira.
Namun lagi-lagi terjadilah drama ketika tiba di terminal Eskisehir. Stan Anadolu university ternyata sudah tutup. Tak ada seorang pun yang menunggu di sana.
Sementara itu, baterai hape lemah syahwat dan parahnya tak ada kartu internet yang bisa digunakan untuk menghubungi pihak beasiswa, yang sebelumnya telah berjanji menjemput.
Waktu terus bergerak. Jam menunjukkan pukul 10 malam. Bungong mulai risih karena semua mata yang melintas memandangnya dengan tatapan aneh.
Mungkin mereka pikir Bungong adalah anak hilang yang baru saja minggat dari rumah.
Di saat seperti itulah, Bungong teringat akan raut wajah sang ayah yang kini terpisah ribuan kilometer. Tak lucu rasanya bila ia harus kembali lagi ke Indonesia sedangkan saat pergi sudah digelar syukuran.
Kalau pun mesti pulang, apa iya Bungong mesti memberikan alasan nggak ada yang menjemput? Masak sama jelangkung aja kalah, begitu pikir Bungong.
Selain itu, seluruh keluarga sudah tau kalau aneuk inong saboh ini mendapatkan beasiswa senilai 4.000 Lira tiap bulannya. Sesuatu yang berhasil menaikkan derajat sang ayah di mata keluarga.
Bendungan air mata kini jebol dan mulai membasahi pipi. Lagi-lagi Bungong ber-dubbing dengan kepalanya sendiri. Haruskah ia mempermalukan ayah dan kembali ke Indonesia malam itu juga?
Akhirnya setelah lama merenung dan berpikir, Bungong mengambil sikap tidak melanjutkan adegan drama Korea yang berkecamuk di pikirannya. Dia memutuskan melakukan tindakan nyata saja.
Tanpa “pet mata kap igo” Bungong dengan termehek-mehek “mengemis” pulsa pada seseorang yang dipilihnya secara random.
Dengan sambungan telepon itulah dia menghubungi teman se-per-beasiswa-an dan meminta tolong agar datang menjemputnya di terminal Eskisehir.
Naas, yang ditelepon tak memberikan respon. Namun biaya pulsa tetap harus ditebus.
Jarum jam melewati angka 12. Bungong makin lunglai saja.
Ketika harapannya kian tipis, sesosok manusia bercelana jins compang-camping yang tampak begitu mencurigakan mendekati Bungong sambil memperkenalkan diri.
Mendengarkan bahasa Indonesia diucapkan dalam hiruk-pikuk terminal Eskisehir, Bungong seperti menemukan oase di tengah gurun pasir. Walaupun si pemilik suara adalah seseorang yang tak ia kenal sebelumnya.
Akhirnya, berkat teman sebangsa dan setanah air inilah Bungong tiba di asrama mahasiswa. Lisannya penuh syukur karena tak jadi memutar balik perjalanan ke Indonesia.
Ternyata berangkat ke luar negeri tak cukup hanya berbekal IPK tinggi saja. Kita juga mesti pandai dan piawai bertahan hidup.
Baca Juga: Kisah Machoku Bersama Labi Labi Aceh yang Legendaris
Dari kisah Bungong yang telah lama dipendamnya ini kita bisa belajar beberapa hal.
Pertama, kalau mau berpergian ke mana aja, kuasailah bahasa planet setempat minimal percakapan sehari-hari. Agar tak keki ketika hendak berinteraksi.
Walaupun bahasa inggris adalah bahasa internasional, tetap saja masih banyak warga negara tertentu yang sangat mencintai bahasa ibu dan bahasa nasionalnya sendiri.
Kedua, jangan sekali-kali hanya mengandalkan dolar sebagai alat tukar.
Setidaknya siapkan beberapa mata uang negara yang kita kunjungi agar tak rempong saat bertransaksi. Sebelum melancong ke luar negeri sempatkan diri mengunjungi money laundry changer.
Jangan pernah menyepelekan uang receh karena nilainya sangat penting untuk beberapa hal. Tanpa uang seribuan maka duit ratusanmu akan melayang sia-sia.
Last but not least, sebelum berpergian ada baiknya membeli modem WiFi, yang bisa digunakan di negara yang akan kita kunjungi.
Jangan berharap semua hal akan berjalan dengan mudah. Jadi rencanakan segala sesuatu dengan baik sebagai persiapan diri menghadapi kemungkinan terburuk.
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )
One thought on “Tertipu Toilet Sultan di Negeri Tuan Erdogan”