Secuil Memori denganmu, Perempuan Berinisial Huruf Kelima dari Abjad

Renda-renda di bahu bajumu kubayangkan bagaikan hiasan yang menjuntai-juntai di bawah kain merah-kuning-hijau, latar singgasana pelaminan. Amboi …

Ilustrasi demi kau rela (Breedie Freepik)

~ Sebuah kenangan tanpa somasi, berlatar kain merah-kuning-hijau pelaminan

Dan, aku sekarang berada di sini. Terjebak dalam ruang bervolume sekitar 1.350 sentimeter kubik, bergelayutan di antara 100 juta sel saraf, berpeluh, merasa dipecundangi, dan cukimai.

Entah kenapa, bagian otakku yang terletak di lobus temporal bernama hipokampus itu bekerja semaunya tanpa somasi terlebih dahulu.

Tetiba saja, aku sudah tenggelam dalam Samudera Hindia kenangan.

Satu persatu kenangan melesat. Bergerak dengan pola acak, hilang-timbul tak menentu.

Persis seperti adegan pelem Spider Man-Into The Spider Man Verse, saat tubuh para Spider Man yang berasal dari dimensi lain tak diampu oleh dimensi di mana Miles Morales berada.

Salah satu kenangan itu tentang aku, kau, dan suamimu yang ingin ‘kugantung’ di tugu pelor Meulaboh.

Tentu saja, kata aku, kau, dan suami plus verba ‘gantung’ dan nomina ‘tugu pelor’ itu punya kisahnya masing-masing. Namun, untuk kepentingan umat, kusatukan saja.

Aku teringat. Awalnya kau masih sering menyerbu kotak masuk hapeku dengan pesan ‘rindu’ berantai, kemudian, jika sudah tak tahan, kita akan saling telponan demi melepas “libido” yang kian menggunung dan perlu dimuntahkan.

Jika ‘sudah tak tahan’ itu kian memuncak, cepat-cepat ku-starter sepeda motor, lalu melesat cepat menuju rumahmu, melewati tiga kecamatan sekaligus.

Demi kau, aku rela menyeberangi sungai berjembatan besi, perpapasan dengan warga, kebun karet, kebun sawit, warung kopi, warung makan, kedai, sawah-ladang, kerbau, kelokan tajam, jalan tak beraspal, hingga terpapar debu dari para pengendara yang ada di depanku.

Padahal, aku sendiri begitu antidebu.

Belakangan, ke-anti-an-debu-ku mewujud dalam aksi massa mengecam keberadaan salah satu perusahaan tambang batu bara yang sejatinya biang karbon monoksida dan hidrogen sulfida, namun pemda-pemprov, seolah tak mau tahu.

Jika sudah melewati jalanan berdebu, aku harus memutar otak untuk mengingat-ingat alamat rumahmu yang masuk lorong keluar lorong.

Terkadang aku mesti bertanya ke sekumpulan anak kecil di sudut kampung hanya untuk memastikan bahwa aku tidak tersesat karena rumahmu yang sekarang telah ditempati suami dan tiga anakmu; tak ubah kompleks rumah bantuan tsunami.

Di pintu rumahmu, kau terlihat begitu anggun mengenakan blues putih serta legging hitam nan ketat mengkilat.

Tonjolan lututmu tampak menyembul mirip tombol analog, bagai merayu, minta diputar-putar.

Renda-renda di bahu bajumu kubayangkan bagai hiasan yang menjuntai-juntai di bawah kain merah-kuning-hijau, latar singgasana pelaminan.

Dua jempolmu berhias inai Arab warna hitam yang menyela di temali sendal jepitmu terlihat manis, ingin sekali kukulum.

Sesaat kita saling tak bicara, hanya menatap dalam diam. Tatapanmu-tatapanku berdialektika, melahirkan sintesa berupa bulir-bulir rindu yang hangat dan sedikit agak berair.

Selagi ibumu menyiapkan hidangan untuk tamu tak diundang sepertiku, kau mengajakku bercakap-cakap di ruang tengah.

Aku sempat berpikir Hary Tanoesoedibjo adalah salah seorang yang mendukung hubungan kita, kala itu. Betapa tidak, salah satu channel milik MNC Group tiba-tiba memunculkan video klip lagu kesukaan kita.

Saat itu, kita menyepadan dalam lirik ‘Yang Terdalam’ milik band kenamaan yang vokalisnya sempat dibui karena video berisi adegan dewasa dengan sejumlah artis miliknya tersebar luas.

Ketika aku beranjak pamit tanpa berterima kasih sama mamakmu atas suguhan kolak ubi dan nasi mulod–kebetulan di kampungmu sedang ada mulod–kau masih sempat menemaniku pulang hingga aku dan sepeda motorku menghilang di kelokan rerimbunan pohon karet.

Tanpa lambaian, hanya kata “dada” dengan panjang dua harakat.

Entahlah, hingga hari ini aku kepikiran terus. Apa karena kolak ubi mamakmu tak habis kusantap?

Lantas, hingga satu Minggu 14 hari kemudian hapeku tak lagi terisi pesan darimu.

Belakangan, kau juga tidak pernah lagi menghubungi untuk sekadar menanyakan apakah tubuh kurusku ini sudah terisi asupan atau belum. Atau tentang hal remeh temeh lain seperti yang sering kau tanyakan, seperti, sudah sunat belum?

Beberapa bulan kemudian, aku masih setia menggerayangimu melalui media sosial besutan si yahudi Mark Elliot Zuckerberg.

Hingga akhirnya, aku menyerah, melihat status di Facebook-mu yang tak satu pun berisi ungkapan rindu kepadaku.

Bertahun kemudian, ketika Instagram mulai merajai dunia ke-sosial-media-an, serta WhatsApp menggeser tahta BlackBerry Messenger, dan tentu saja, Peter Pan sudah berganti Noah, tetiba aku menemukanmu tengah duduk di pelaminan bersama seorang lelaki yang kutahu itu adalah teman curhatmu dulu.

Cukimai!

Belakangan, kau juga kerap mengupload foto mesramu dengan suami. Tak lupa pula beberapa foto saat kau sedang bermain atau memandikan tiga buah cintamu yang masih kecil-kecil itu.

Yaikss!

Kau dan suamimu kiranya unstoppable dalam hal ‘itu’, karena kupikir-pikir, jarak tiga kehamilanmu begitu dekat, membuatku kian terpuruk dan merasa dipecundangi.

Cuih!

Tapi biarlah, aku pun tidak berhak mencecar takdir.

Sekali pun sempat terbesit dalam pikiran, bagaimana jika aku berdoa saja agar suamimu diculik Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti also known as KGB.

Lalu, badan intelejen pemerintah Rusia itu membuang suamimu ke kutub utara, sehingga aku bisa merangkulmu ke singgasana pelaminan berlatar merah-kuning-hijau berhias renda seperti renda bluesmu dulu.

Dan aku menggantikan posisi ayah ketiga anakmu yang masih kecil-kecil itu.

Tapi tidak, aku bisa masuk neraka nanti. Apalagi anak-anakmu butuh biaya hidup yang bisa membuatku tekor nanti.

Baca Juga: Tiga Bulan Bersamamu dalam Sebuah Cinta Tak Bersyarat

Untuk kau, perempuan berinisial huruf kelima dari abjad, kaulah yang memintaku untuk mencintaimu, dan mengklaim kalau cintamu hanya seujung kuku.

“Tak panjang memang, tapi abadi, terus hidup,” katamu suatu kali, di bawah terang bulan, ketika dari kejauhan, samar-samar terdengar suara bantingan domino di meja disertai pekikan “dua uleeee!”.

Tapi, kau pula yang menghilang bagai Avatar, meninggalkan aku dan lirik-lirik sendu ‘Yang Terdalam’.


Jika kamu berkenan untuk berbagi cerita-cerita macam begini, kirimkan aja kisah #cintareceh ala kamu ke email: [email protected]. Syaratnya, cerita harus murni pengalaman sendiri, bukan jiplakan. Panjang minimal 300 kata. Ditunggu, Bree!

Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *