Hingga pertengahan 1990-an ada selembar kartu yang menjadi benda sakral buat banyak orang di beberapa hari terakhir pengujung Ramadan.
Bukan, bukan kartu prakerja.
Namanya kartu lebaran. Kartu yang tebalnya lebih sedikit dari sampul buku. Kartu dengan gambar ilustrasi ketupat, beduk, bulan bintang, orang-orang bersalaman, dan kaligrafi sederhana.
Hanya demi kartu itu, menjelang hari raya, orang-orang rela bertandang ke kantor pos untuk membelinya.
Harga kartu bervariasi, tergantung dekorasi dan ukuran. Yang sedikit mahal ada sampulnya, mirip undangan pernikahan.
Di dalamnya terdapat gambar ilustrasi dua dimensi–biasanya gambar masjid. Di bawahnya ada area kosong, sengaja disisakan untuk menuliskan pesan lanjutan selain ucapan selamat hari raya.
Ada pula kartu yang bisa dilipat dua. Atau bahkan selembar saja layaknya kartu pos.
Walaupun beragam ukuran, kartu-kartu itu mestilah muat masuk ke dalam kotak pos. Kalau tidak kartu Anda tidak akan dikirimkan, begitu kata Pak Pos.
Yang paling kentara dari kartu-kartu lebaran adalah tulisan ucapan Selamat Idul Fitri sesuai tahun Hijriah kesekian. Diikuti mohon maaf lahir dan batin.
Ucapan itu ditulis dalam beragam font dengan banyak warna pilihan agar memikat mata. Agar siapa saja mau membeli dan mengirimkannya kepada sanak, handai tolan, atau kenalan. Baik yang di luar maupun dalam kota.
Ketika kartu telah dipilih, tujuan pun ditetapkan, akan dikirim ke siapa kartu tersebut.
Lalu kata-kata disusun menjadi satu atau dua kalimat, hingga terangkai satu paragraf yang dirasa indah. Kata-kata itu ditempatkan di area kosong tadi.
Setelah alamat dituliskan, kartu dipercayakan kepada tukang pos–yang akan mengantarnya segera. Surat dipastikan tiba sebelum sembahyang hari raya.
Asalkan jangan mengirimnya di malam lebaran. Pak Pos pasti menolaknya dan memberimu kembang api.
Kartu lebaran tak sekadar prestise. Lebih dari itu, ia sebentuk kegembiraan bisa mengucapkan selamat hari raya kepada yang lain secara tidak langsung.
Walaupun, dalam banyak kasus, si pengirim akan tetap mengunjungi rumah si penerima kartu untuk menggenapi silaturahmi. Atau sebaliknya, yang dikirimi kartu berkunjung ke rumah si pengirim kartu.
Namun, hingga pertengahan tahun itu, banyak orang tak menyadari bahwa di ujung milenium telah menanti teknologi baru yang siap menyalip kegembiraan dari kartu lebaran.
Mula-mula datang SMS. Setelah itu, orang menyadari–tepatnya dipaksa menyadari–kartu lebaran lebih mahal ketimbang SMS.
Lalu MMS. Orang punya alasan tak mengirimkan kartu lebaran karena MMS mampu mengirimkan pesan multimedia, yang lebih digital dan praktis. Dan sederet alasan lain yang sebenarnya dibuat-buat.
Setelah SMS dan MMS, datanglah teknologi-teknologi pengiriman pesan yang secepat kilat mengubah kartu lebaran tak ubahnya fosil Meganthropus.
Kartu lebaran pun ditinggalkan. Orang-orang berdalih tak punya waktu lagi mengunjungi kantor pos untuk memilih mana kartu yang disukai.
Orang mulai nyaman dengan teknologi baru yang diklaim lebih menyenangkan, lebih praktis, dan memanjakan.
Dulu cuma bisa membaca ucapan, sekarang langsung melihat orang yang memberikan ucapan. Seketika itu juga, kapan pun dimau, tanpa perlu repot-repot menunggu Pak Pos tiba.
Ya, begitulah nasib kartu lebaran pada akhirnya. Akan jadi kenangan atau pajangan belaka sebagaimana layaknya takdir dari sebuah fosil.
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )