Kodok dari Ruang Waktu

Cerita tentang perjumpaan dengan seekor kodok dari masa lalu. Ah, semoga ia tak membaca tulisan ini.

Ilustrasi kodok

~ Kalau cangguk bisa ngomong

Suatu malam, rumahku kedatangan tamu biasa. Ia cuma cangguk alias kodok. Entah kenapa cangguk itu tiba-tiba nongol di samping pot depan rumah. Sapaannya membikin kaget, hampir saja gelas kopi di tanganku tumpah.

Tanpa diminta, ia pun bercerita. Lebih tepatnya curhat. Ia ternyata bukan kodok dari zaman sekarang. Si kodok berasal dari era sekitar 230 juta tahun lalu, masa di mana dinosaurus pecah kongsi dengan nenek moyangnya sendiri, archosaurus. Karena waktu itu belum ada batu tulis dan aksara, kodok itu tidak punya nama dan panggilan. Dia hanya dikenal dari bentuknya sebagai kodok. Warnanya ijo, mata cokelat, bibir merah, pipi keemasan. Dari jauh ia terlihat norak. Dari dekat apalagi, ia jelas-jelas menor.

Suatu kali di jaman serba biadab itu, kodok tersebut menginjak setumpuk lumut yang awalnya ia kira eek dinosaurus. Ternyata itu lubang hitam yang membuatnya terlempar ke masa depan; ke depan rumahku.

Di zamannya, si kodok menghabiskan hari-hari penuh kepalsuan. Kisahnya penuh drama, mengalahkan sinetron. Itu, sih, kata dia.

“Sebagai amfibi, aku merasa statusku ini paria, dipandang sebelah mata.”

Si kodok bosan di jamannya. Selalu dibayang-bayangi ketakutan dari kekejaman dinosaurus dkk. Binatang-binatang purba itu, kata dia, kerjanya cuma makan dan makan. Apa saja dimakan. “Kecuali aku,” ujar si kodok. Ah, ia kelihatan sedih.

“Kadang-kadang mereka bertengkar sesamanya,” si kodok melanjutkan, “dan ribut dalam bahasa yang susah kumengerti.”

Kalau dinosaurus-dinosaurus sedang rusuh, suaranya begitu besar menggerinjam gendang telinga. “Aku kadang-kadang tuli dibuatnya,” ujar si kodok.

Ada satu hal lagi yang membuat kodok begitu tak kerasan di sana. Para dino itu congkaknya minta ampun, mereka mem-bully si kodok saban hari. Kata mereka, daging kodok itu hanya seukuran jigong. Tak menarik untuk dikunyah. “Sebagai amfibi, aku merasa statusku ini paria, dipandang sebelah mata.”

Akibat kejengkelannya itu, ketika musim hujan ia kerap berdoa agar gerombolan dinosaurus itu hanyut dibawa banjir. Namun, para dinosaurus terlalu kokoh untuk dibawa bah. Si kodok pun harus terus meratapi nasibnya.

Karena itu, ia tak mau kembali ke sana. Ia ingin hidup di dunia sekarang. Dunia yang ditopang dengan benda sakti bernama internet. “Aku iri melihat manusia bisa menonton YouTube, update status di Facebook, lalu selfie-selfie ria di Instagram,” ujarnya.

“Aku juga ingin mengunduh film bajakan, menonton Tom Cruise, Will Smith dan Nicole Kidman. Aku juga mau mencari jodoh di Tinder dan jalan-jalan keluar negeri dengan tiket murah di Traveloka,” sambungnya. Aha, rupanya ia jomblo.

Di sana, kata si kodok, tak ada wahana bermain karena ia ingin sekali main perosotan dan naik perahu bebek. Ia juga sudah bosan makan serangga. “Mereka terlalu banyak dan rasanya sama saja. Aku ingin jadi vegetarian, mau coba kuaci.” Ia juga ingin belajar masak sama Farah Quin.

Malam itu, di ujung curhatnya, si kodok pun pamit. Ia berjanji akan datang lagi. “Siapa namamu?” tanyaku. “Aku tak punya nama, karena kelahiranku tak pernah dianggap!”

*Artikel ini telah tayang di steemit. Berhubung redaktur asli sedang berada di luar kota, redaktur magang mengopas tulisan ini dan mengubah sedikit sekehendak hatinya. Semoga tak ada dusta di antara kita.

Diperbarui pada ( 6 April 2022 )

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *