Lima bulan lalu, sebuah pesan Whatsapp dari Dot (Razi), teman baik dan cofounder Breedie, masuk di telepon genggam saya. “Bang, ada tulisan nggak untuk Breedie?” tanyanya. Sebelum saya sempat menjawab, tahu-tahu dia sudah menyambung lagi. “Nanti aku barter tulisannya dengan seikat dua ikat sayur bayam.”
Ini, bagi saya, adalah tawaran yang sangat menggiurkan, tetapi saya tidak bisa berbuat apa-apa, karena memang saya tidak mempunyai satu pun tulisan. Saya cuma bisa membalas ke Si Dot: “Sepertinya, hanya Breedie, satu-satunya media di Aceh, yang membayar penulisnya dengan seikat dua ikat sayur bayam. Suatu saat, aku tunggu bayamnya.”
Saya tahu, kalau Dot saat ini sedang giat-giatnya mencoba berkebun. Bahkan, setahun silam, dia sudah ingin berkebun dengan konsep microfarm, meski akhirnya patah semangat, karena toko pertanian yang direkomendasikan temannya untuk membeli alat-alat microfarm, telah berubah menjadi toko boneka.
Berkebun atau bertani, atau bercocok tanam, atau apa pun namanya, menurut saya, adalah cita-cita yang mulia, meski tidak mudah untuk dilakukan. Terkadang, masalah-masalah muncul jauh sebelum tanah tempat menanam mulai digemburkan.
Seorang teman, misalnya, yang terobsesi dengan jeruk nipis, sanggup berbicara seharian tentang cara menanamnya, hamanya, permintaan pasar, dan seterusnya, dan seterusnya. Namun, ketika saya menanyakan di mana lahannya, dia menggeleng-geleng kepala dan berkata, “Belum ada. Nggak ada modal untuk beli lahan.”
Baca Juga: Mana Lebih Paten, Kebun Kopi Cantik atau yang Ditelantarkan Begitu Saja?
Teman yang lain, di waktu yang berbeda, pernah ingin memiting lehernya sendiri karena melihat bibit pohon jengkolnya layu di polybag. Katanya, ini karena bibit pohon jengkolnya dibeli dari lokasi yang jauh, dan diantar ke rumahnya dengan menggunakan keranjang mugee ikan, yang disematkan di sisi kiri dan kanan belakang sepeda motor.
Seorang teman yang lain lagi, di bagian selatan Aceh, bisa tersenyum karena memiliki lahan dan bibit-bibit yang sehat. Namun, sayang, teman saya terkena penyakit, yakni penyakit malas menggemburkan tanah dan menanam bibit-bibit tersebut di lahan. Saya, yang tak pandai memberi nasihat, hanya bilang, “Aku rasa, ada satu metode yang bisa membikin bibitmu tertanam.”
“Metode apa?” tanya dia.
“One Day One Bak alias Satu Hari Satu Batang.”
Dia tertawa, dan saya ingin meninju mukanya.
Cerita-cerita mengenai masalah dalam berkebun, sebenarnya, masih banyak beredar di sekeliling saya. Namun, saya tidak mau tenggelam terlalu lama memikirkannya. Saya memilih bertanya ke diri sendiri: bagaimana, sih, jika teman-teman saya berhasil mengatasi masalah mereka, dan suatu hari memanen apa yang mereka tanam?
Tanpa saya duga, pertanyaan ini membawa ingatan saya kepada Marwan, pekebun pemula sekaligus teman sekampung saya.
Dia, empat tahun lalu, pernah mengajak saya ke lahannya. Luasnya memang tidak seberapa. Di tengah lahan, ada sebatang pohon mangga berusia dewasa berdiri tegak. Separuh dari lahan sudah terlihat bersih, sedangkan separuh lagi masih ditumbuhi semak-semak.
Waktu itu, saya lebih banyak berteduh di bawah pohon mangga. Matahari bersinar terang dan udara terasa panas. Namun, buat Marwan, itu tidak dipedulikannya. Dia tetap mengayunkan cangkul dan membersihkan semak-semak yang tersisa. Begitu semua selesai, kata dia, benih-benih gambas siap ditanam.
Tiga bulan sesudah mengatakan itu, yang terjadi adalah sejarah yang patut dikenang. Marwan panen. Yang menarik, alih-alih menjualnya ke pedagang sayur, dia malah membagikan hasil panen gambas ke Pak Cik, Mak Cik, saudara-saudara, dan tetangga-tetangga.
“Panen adalah kegembiraan usai bekerja keras,” kata Marwan, ketika ditanya apa makna panen buat dirinya.
Kegembiraan, kata yang disebut Marwan, saya pikir, cukup menjawab pertanyaan di kepala saya. Kegembiraan akan menyelubungi teman-teman saya saat memanen apa yang mereka tanam, setelah sebelumnya mereka berhasil mengatasi masalah yang mereka hadapi, baik itu belum ada lahan, bibit pohon jengkol layu, atau malas menanam.
Dan andai teman-teman saya itu seperti Marwan, betapa bahagianya saya melihatnya. Apalagi, jika setelah itu virus Marwan menjalar. Di kebun-kebun lain akan muncul Marwan-Marwan serupa, yang dengan kegembiraan mereka, saya tak perlu merogoh kantong lagi hanya untuk membeli gambas. Perlu gambas, tinggal melemparkan senyum ke Marwan. Amboi, indahnya Marwan.
Baca Juga: Waktu yang Tepat untuk Menanam Kopi Arabika Gayo
Tapi, dua hari lalu, saya teringat lagi sama Dot. Pasti dia lagi gembira-gembiranya memanen bayam sekarang, pikir saya. Saya kirim pesan Whatsapp yang isinya: bayam-bayam gimana? Apa udah panen? Udah bisa dicicipi belum?
Dia menjawab, “Gagal, Bang. Habis diserang semut sama kutu putih.”
Saya sedikit kecewa, tetapi dengan segera saya melupakannya. Berniat menghibur dan menularkan energi positif yang berlimpah, saya mengetik kembali pesan balasan.
“Coba dipanen aja semut dan kutu putihnya. Mana tahu ada madunya, kayak lebah atau linot.”
Setelah beberapa menit, Dot baru membalasnya. Dia bilang, “Bang, berantam, yuk.”
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )