Kesedihan Setinggi Langit

Kesedihan, kata temanmu, bisa membuat manusia menjadi kuat. Tidak peduli seberapa pintar kesedihan menyeretmu ke titik paling rendah, kau harus bisa bangkit dan menunjukkan kaulah penguasa kesedihan tersebut.

Ilustrasi-laki-laki-berjalan

~ “Jangan ambil benda kesayangan ibuku!”

Pencuri itu, yang sudah mengikatmu di atas kursi, menyeringai dan membalikkan badan dan hilang dalam kegelapan kabut malam. Air matamu mengalir dibarengi timbulnya sesak di dada yang rasanya menyakitkan. Ketidakmampuan, ketidakrelaan, dan kesedihan bercampur menjadi satu. Kau tak bisa berbuat apa-apa. Hanya tertunduk dan menangis sejadi-jadinya.

Kau tersentak dan menemukan matamu dan bantalmu basah dengan air mata. Kau kemudian berpikir, “Mimpi apa ini? Bagaimana aku bisa menangis di dunia nyata karena mimpi yang katanya hanya bunga tidur?” Namun, setelahnya, apa yang tak bisa kau hindari adalah, kesedihan yang menyesakkan dada itu tak hilang, meski kau mencoba untuk melupakannya dan berusaha terlelap kembali.

Kau bolak-balikan badanmu di atas tempat tidur. Kipas angin, yang setia menyemburkan hawa dingin di kamar, tak sanggup membuat matamu terpejam. Tanpa kau sadari, kau mulai membunuh waktu dengan melamun.

Kesedihan, kata temanmu, bisa membuat manusia menjadi kuat. Tidak peduli seberapa pintar kesedihan menyeretmu ke titik paling rendah, kau harus bisa bangkit dan menunjukkan kaulah penguasa kesedihan tersebut. Lalu, kau bertanya pada diri sendiri: seberapa kuat diriku menghadapi kesedihan? Kau tidak bisa menjawab, karena kau adalah buaya ompong yang hanya bisa makan bubur ayam atas belas kasih orangtuamu.

Beberapa belas tahun silam, masih membekas di otakmu, kau duduk sendiri di kedai kopi di sebuah persimpangan kota. Saat itu, matahari sore masih dengan buasnya menyinari bumi. Kau tak mempermasalahkan sinar matahari yang membakar wajahmu dari jendela kedai kopi, tetapi kau mempermasalahkan apa yang terjadi berikutnya:

Telepon genggammu tiba-tiba berdering. Secercah kebahagiaan seketika merasukimu. Nama seorang perempuan, yang selama ini kau cintai, tertera di layar telepon genggammu.

“Hallo, Sayang,” sapamu, dengan suara selembut-lembutnya.

“Iya. Kamu—Kamu lagi di mana sekarang?” balasnya terbata-bata.

“Lagi di kedai kopi. Ada apa?”

“A—Aku ditunangkan sore ini oleh Ayah. Aku nggak bisa melawan kehendak Ayah lagi.” Dia menangis sesenggukan di ujung telepon. Dan kau—iya, kau—terdiam sedih menahan air mata yang mau tumpah, serta merasakan nyeri yang tak pernah kau rasakan sebelumnya. Tiada keinginan yang hadir dalam hatimu, selain keinginan untuk menjungkirbalikkan gerobak sate di depan kedai kopi, dilanjutkan dengan menendang pelanggan di sebelah mejamu, yang sedari tadi tertawa menonton televisi.

Tuhan, terbersit di pikiranmu, sudah tidak adil terhadap dirimu. Perjalanan cinta bertahun-tahun bukanlah masa yang singkat untuk menempatkan dirimu dan perempuan yang kau cintai pada posisi yang sama-sama nyaman. Kenapa harus berakhir di perpisahan? Kenapa lelahnya pengorbananmu harus berakhir di pertunangan antara perempuan yang kau cintai dan laki-laki itu? Laki-laki yang kau perhatikan mirip dengan seekor serangga penghisap madu, yang terbang kesana kemari sambil menjulurkan moncong panjangnya di setiap bunga yang disinggahi.

Kau mengenal Serangga itu—kau memanggil laki-laki itu dengan nama Serangga. Serangga yang mengirim puisi-puisi panjang, dengan bahasa mendayu-dayu, ke telepon genggam perempuan yang kau cintai. Serangga yang terus memberikan perhatian-perhatian tak penting, diselingi dengan ajakan-ajakan makan siang berdua.

Kau mengingat kembali sumpah serapahmu, ketika kau tahu Serangga itu mulai mendatangi rumah perempuan yang kau cintai. Perkenalannya dan keberaniannya mendekati orangtua perempuan yang kau cintai merupakan mimpi burukmu. Orangtua mana yang tidak menyukai seorang laki-laki mapan. Niat Serangga untuk melamar disambut sukacita, dan kemudian dengan keras memerintahkan perempuan yang kau cintai untuk menerimanya juga. Dan, kau, seorang pengangguran, hanya bisa terpaku menatap tahi ayam yang mengering di pekarangan rumahmu.

https://www.instagram.com/p/B5rrrmsBW2v/

Lamunan mencampakkanmu ke masa, di mana kau sedang berdiri di depan sebuah gedung berlantai tiga. Kau melihat orang-orang, dengan tampilan kemeja rapi dan celana bahan, ramai hilir mudik di sekitarmu. Tukang parkir tampak sibuk mengarahkan kendaraan roda dua dan roda empat yang masuk ke halaman gedung. Kau langkahkan kaki ke dalam gedung dan duduk menunggu di lobi, sampai akhirnya mendengar, “Para peserta tes diharapkan masuk ke laboratorium komputer di lantai dua, karena tes akan segera dilaksanakan!”

Ya, kau akan mengikuti tes komputer di gedung itu. Seminggu sebelumnya, satu lembaga kemanusiaan terkenal, R, yang sedang membutuhkan karyawan baru, menghubungimu. Berkasmu, kata mereka, lolos seleksi administrasi dan kau berhak mengikuti tes tahap pertama, yakni tes komputer. Apabila nilaimu memuaskan, maka kau berhak mengikuti tes tahap kedua, yaitu tes wawancara.

Semangatmu membuncah. Kau tak mau gagal. Sudah sekian banyak tes yang kau ikuti, tetapi semua berujung pada kegagalan. Kau belajar sungguh-sungguh dari pagi, siang, dan malam. Tenggelam dalam buku yang berisi tulisan-tulisan serius. Terngiang di benakmu janji yang kau ucapkan pada perempuan yang kau cintai, “Aku akan segera mendapatkan pekerjaan, Sayang. Peluang ini nggak akan Aku sia-siakan. Ini jadi peganganku menjumpai Ayah Kamu. Melamar Kamu. Pokoknya Aku harus lulus!”

Hari-harimu, sehabis mengikuti tes komputer, dilewati dengan rasa cemas. Doa tak putus kau panjatkan kepada Tuhan. Satu minggu berlalu. Dua minggu berlalu. Hingga suatu hari, ada yang meneleponmu dari nomor yang tak dikenal. Kau, yang waktu itu sedang berada di kamar, mengangkatnya.

“Hallo.”

“Hallo. Selamat sore, Pak! Ini dengan Bapak (namamu disebutkan dengan jelas)?”

“Iya. Ini siapa?”

“Oh, okay. Begini, Pak. Ini saya dari lembaga kemanusiaan R, menginformasikan bahwa Bapak lulus untuk tes komputer, Pak. Untuk tes tahap kedua, tes wawancara, akan dilaksanakan minggu depan di gedung yang sama. Itu hari Rabu, tanggal dua puluh, Pak.”

“Oh, iya—iya, ini saya catat dulu.”

Percakapan cuma membutuhkan dua tiga menit di telepon, tetapi efeknya membuatmu seakan-akan terbang. Jantung berdegup kencang. Kecemasan berganti dengan kegembiraan. Kebahagiaan menjalar ke setiap pembuluh darah. Kau sempat kebingungan mau melakukan apa. Apakah berita baik ini harus dikabarkan ke perempuan yang kau cintai terlebih dahulu? Apa saja yang harus dipersiapkan untuk tes wawancara? Buku-buku apa saja yang harus dipelajari? Di tengah gempuran pertanyaan-pertanyaan itu, kau jatuhkan badanmu untuk bersujud syukur di lantai. Terima kasih, Tuhan! Terima kasih banyak! batinmu.

Sejenak kau bangkit dari sujud syukur, telepon genggam yang masih di tanganmu berbunyi lagi. Bunyi yang memberitahukanmu bahwa satu pesan pendek telah diterima. Kau gerakkan jari jempol ke tombol pilihan, memilih kotak masuk, dan membaca:

Mohon maaf, Pak. Ada kesalahan teknis pada pengumuman kelulusan tes komputer. Bapak dinyatakan tidak lulus tes komputer.

Kau mendadak mengalami sakit kepala yang hebat. Matamu berkaca-kaca. Dengan penuh ketenangan, kau buka jendela lebar-lebar, dan kau lempar sekuat-kuatnya telepon genggammu ke tembok pagar. Sejak saat itu, kau mempertimbangkan untuk menulis surat kepada Tuhan, seperti yang dilakukan tokoh Lencho karangan Gregorio Lopez Y Fuentez.

Tuhan, tolong kirimkan kebahagiaan yang abadi.

Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *