Seekor anjing di Singkil menuai viral setelah kematiannya. Berita kematiannya, yang dibuat media, disambut dengan lahap oleh mulut menganga para netijen yang lapar gibah. Dan, para netijen Yth itulah yang membuat kematian anjing itu viral.
Beda halnya kalau anjing itu hidup. Barangkali tidak bakal seheboh ini. Zaman sudah berbeda, kematian anjing malah disambut gonggongan banyak orang.
Kenapa kematian seekor anjing di Singkil berbeda dengan kematian anjing-anjing lain di jalanan? Selama ini kita sering melihat anjing yang mati terburai usus di jalan setelah tertabrak mobil. Yang pincang dengkulnya gara-gara dielus ban dan disenggol pantat truk juga tak kalah banyak.
Netijen nggak pernah protes apalagi bergibah dengan mautnya. Mereka menganggap kematian anjing-anjing di jalanan itu biasa.
Ah, anjing tu udah naas aja.
Oh, anjing gak tau diri tu, mainnya kok di jalan.
Tidak ada komentar seramai di Singkil. Memberontaknya netijen terhadap kasus kematian anjing di Singkil barangkali tegak lurus dengan banyaknya kasus kematian binatang akibat siksaan yang kita saksikan selama ini di layar gawai.
Ada manusia-manusia dengan kuota lebih di smartphonenya, iseng duduk-duduk menyiksa kucing, lutung, atau animal lainnya, sambil merekam lalu pamer di media sosial. Bahkan ada yang memakannya. Rekaman kontroversi ini kemudian menuai amukan orang-orang yang mendaku penyayang binatang, para SJW yang sudah hafal di luar kepala pasal demi pasal perlindungan hewan.
Salah satunya, Pasal 302 KUHP. Bunyinya kurang lebih begini. Barang siapa yang melakukan penganiayaan ringan terhadap hewan diancam pidana penjara paling lama tiga bulan.
Baca Juga: Journey to Burni Telong (Bagian Pertama): Dikejar Anjing di Jalan Kampung
Setelah SJW penyayang binatang memimpin ‘serangan’ di media sosial, netijen pun mengikuti dengan tertib lalu mengamuk ke si pelaku. Seketika si pelaku viral, dan ujung-ujungnya ia ditangkap aparat.
Kasus-kasus seperti itu mengendap begitu lama di dalam otak kepala netijen, membeku bagai dendam, menunggu waktu untuk diluapkan. Dan kasus kematian anjing di Singkil menjadi momen yang tepat.
Penyiksaan terhadap hewan memang tidak dibenarkan. Tapi, mari sejenak kita masuk ke hutan Amazon di Amerika Selatan. Seorang presenter BBC Earth pernah ikut berburu bersama satu suku di Amazon. Setelah masuk jauh ke dalam hutan hujan itu, si presenter kaget ketika seorang anggota suku memanah sejenis drunken monkey di atas pohon. Monyet malang itu lalu dipanggang dan disantap bersama. Si presenter ikut memakan walau tak lupa membumbui dengan narasi bahwa itu adalah tindakan terlarang.
Namun, tepat ketika daging monyet—yang katanya sangat enak itu—masuk ke dalam perut si presenter, seorang anggota suku bilang, kira-kira begini: bagimu ilegal, bagi kami itu hewan buruan. Jadi tidak ada yang salah menurut kami.
Andai saja kasus ini diketahui netijen kita, Amazon pasti gempar. Sudah pasti acara tersebut akan lebih viral. Meminjam congornya Pak Ndul, viral on the viral. Pasti netijen kita akan me-mamam perilaku ganas para suku Amazon yang mengonsumsi monyet. Mereka akan mengutuknya. Bila perlu, membuat petisi agar tayangan tersebut diboikot.
Untuk hal-hal seperti itu, netijen kita ahli dan teruji. Kemampuan merisak mereka diakui dunia barat dan timur; terkenal ke seluruh penjuru mata angin. Mereka mampu melakukannya. Tapi monyet-monyet di Amazon yang berdaging lezat itu tentu tak sanggup. Mereka tak punya kemampuan olah gibah tersertifikasi macam netijen kita. Lebih-lebih lagi anjing yang kemarin mati di Singkil. Soalnya, para monkey dan doggy tau, kematian tak perlu diratapi, dan hidup juga tak perlu dikutuk. Karena, hidup emang tak sedoggy itu kok, Bree.
Anjay!
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )