Grunge, Harga Mati Tanpa Hegemoni

Saya abai, grunge bukan lagi hegemoni sepeninggal satu demi satu penggawanya. Tapi bagaimanapun, ia tetap perkasa sebagai subkultur yang amat menyilaukan dari panggung ke panggung.

Ilustrasi @freepik

~ Yang saya rasakan, ketika memilah koleksi musik lawas dan menemukan satu pertinggal cerita hebat, bernama grunge.

Stiknya diayun, menggubah benturan yang kering saat digebuk. Si penabuh, bengah diikuti pencahayaan. Ia memandu dahaga yang meriung di seputaran panggung.

Saya abaikan jenis pengeras suara yang mereka pajang. Sederhananya menegaskan, “Kalian di sana, saya yang menonton dari jauh, tak perlu yang lain, kita cuma mau bersenang-senang.” Karena itu masa bodoh.

Lalu petikan dawai dengan nuansa overdrive meliar, mencuat semangat dan menularkannya agar ratusan penonton tunduk lalu berlompatan sejadi-jadinya. Samar-samar ada pesan, bahwa Grunge, memang lahir untuk marah dan melawan.

‘Omong Kosong Darah Biru’, satu nomor paling gahar milik Cupumanik ini tak bosan-bosannya saya ulang. Dari koor penonton saat konser, terasa bahwa sayatan distorsinya menyibak ruang pelampiasan kolektif orang muda di jalanan.

Tapi sebentar. Jangan ungkit dulu klaim-klaim post-Grunge yang sangat mengganggu itu. Saya tak ingin soal. Apalagi serba definisi yang mudah didapati di laman Wikipedia.

Sebaiknya ceritakan bagaimana Anda, yang tumbuh besar dengan musik dan menggemarinya lebih dari menunggu jadwal makan dan tidur.

Karena di sana pula, umur 13 tahun, saya tertegun pada jeritan Chris Cornell, panutan yang berkuasa di tiap sisi panggung dan lantangnya bukan main.

Soundgarden memang menyisakan duka usai ditinggal vokalisnya. Suara emas itu masih bersemayam di alam bawah sadar para perindu Grunge.

Oke. Saya tak mungkin bajingan, ketika tak bicara pengaruh album Nevermind yang mendunia. Cerita tentang Nirvana sudah berserakan di mana-mana.

Ayolah, berempati sesaat saja pada aliran Seattle Sound, seperti kita menghargai diri sendiri yang mampu lepas dari isolasi musik mainstream hari ini.

Bebunyian yang muncul di Seattle itu, sama seperti kejenuhan saya (dan mungkin Anda juga) yang amat depresif bukan?

Sekali lagi, jangan hakimi saya. Pengalaman musik favorit kita tak pernah sama. Begitu pun ingatan kita pada kawanan lain seperti Pearl Jam, Mudhoney sampai Alice in Chains.

Saya hanya ingat saat betapa celakanya mengutil kaset pita band-band itu di kamar abang sepupu. Saya ingin ‘grunge’ sejak dalam pikiran, sebenarnya.

Tapi tetap karbitan, belakangan. Jiran menggugah lewat Butterfingers, setahun terakhir. Legenda ini hidup di jiwa-jiwa liar remaja tanggung di negeri Malaya. Sejenak saya makin sadar bahwa saya tak tahu apa pun.

Saya gali lagi peramban. Tandas! Nyaris sebulan hanya mendengar lagu-lagu mereka yang sudah nyaring sejak akhir 90-an.

‘The Chemistry’, salah satunya. Lagu dari sampul album kedua (Transcendence/1999) ini memuat bagian paling membekas di telinga saya, semenit usai lick yang mendayu-dayu itu memulainya.

Saya merasa, “lick seperti ini, di band mana pun, saya tak bosan-bosan memutarnya.”

Dengan animo; kebisingan antara jerit mematikan dan curahan air mata yang berpadu dan membentuk moshing, jadi sekelumit cara menikmati musik.

Saya menggemari Grunge. Lewat Seattle Sound yang kasarnya bukan main ditimpa teriakan si penyanyi, ia menggiring saya pada bermacam lupa dan abai, bahwa Grunge bukan lagi hegemonik, sepeninggal satu demi satu penggawanya.

Tapi, ia tetap perkasa sebagai subkultur yang amat menyilaukan dari panggung ke panggung.

Baca Juga: Mainan Baru itu Bernama Podcast Breedie

Seattle Sound adalah kritik dari pinggiran. Ia menohok sadis, bagaimana industri menggiring masa sekaligus meredefinisi ruang publik, dengan pasar yang menampung militansi, berikut kemarahan muda-mudi jalanan pada penundukan struktural yang mereka hadapi.

Puji Laksono dkk dalam Subkultur Grunge (Jurnal Analisa Sosiologi, April 2015) tak menampik jika skena ini menyempal dari budaya populer.

Pilihan jalan itu mencerminkan pula bentuknya yang keras, tak karuan, sulit didikte, senada dengan muasal katanya, “grungy” (kotor, jijik), hingga tepatlah jika ia disebut budaya tanding.

Tapi kapitalisme yang pongah membuatnya cair. Grunge pun dikomodifikasi oleh musuhnya sendiri setiba di masa jaya.

Popularitas Kurt Cobain menjadi hegemoni baru hingga paruh akhir 90-an. Siklus yang tak dapat dielak, bahwa tiap produk budaya adalah komoditas.

“Grunge style, hal yang membuat musisi Seattle yang asli menjadi berang,” pungkas Irman Tarmawan dalam Grunge, Antara Ideologi dan Gaya Hidup (Jurnal Visualita UKI, 2009).

Para remaja di seluruh dunia bangga berpakaian dan bertingkah serampangan, ala grunge. Seperti yang pernah dikatakan Marx, komoditi tak hanya bicara soal benda guna, tapi juga daya pesona tertentu.

Sampai, “Semua anak muda senang terlihat liar,” kata Irman.

Masih tentang siklus, budaya pop bergerak semau pasar. Idealisme masih tersisa di tempatnya lahir, berkembang, dan diadaptasikan secara utuh.

Ia menutup, “Seperti kata media massa, Seattle mengemas Rock n Roll tanpa atribut…lebih pada grunge is soul, cerminan jiwa yang redup, sisi lain dunia, juga sifat koreksi pada diri sendiri”.

Apa persona Grunge yang tersisa kini untuk saya? Hanya pelampiasan sesal yang makin menumpuk. Kebenaran yang diklaim kelompok dominan makin terasa seperti omong kosong.

Orasi yang disambut peluru, tuntutan berakhir jeruji, dan lembar demi lembar maklumat dari gerombolan berdasi yang bikin kepala mendidih saat membacanya.

Saya sudahi kesan ini sembari menandaskan judul ‘Floating in A Vacuum’, masih dari album Transcendence. Saya belum bosan. Tunggu barang dua minggu lagi.

Saya sedang menebak rasa kemunculan Seattle Sound, bikin Grunge masih (dan akan tetap) harga mati, setidaknya sebagai budaya tanding.

Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )

Facebook Komentar

One thought on “Grunge, Harga Mati Tanpa Hegemoni

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *