“Good morning from here, Honey.”
Pesan itu meluncur sebagai caption foto yang kukirimkan untuknya. Pemandangan berupa gugusan Gunung Pergasingan yang sedang diguyur hangatnya mentari pagi. Sulur-sulur cahaya tampak menguning emas.
Dari bilik tempatku menginap di salah satu homestay di Sembalun, Lombok Timur, pagi itu pemandangan itu terlihat sangat sempurna. Walaupun yang tertangkap mata hanya berupa gugusan pegunungan gundul yang kecokelatan.
Dengan gurat-gurat di lereng yang membentuk vertikal hingga ke puncak bukit. Beberapa pohon pinus tumbuh di puncak, terlihat seperti janggut yang tumbuh di dagu kekasihku.
Menggodaku untuk selalu menyentuhnya.
Pukul 05.19 Waktu Indonesia Tengah, keadaan di sekitar sudah mulai terang. Dingin terasa membungkus.
Aku lupa melihat berapa suhu udara pagi itu, tetapi dinginnya sebelas dua belas seperti saat berada di Bener Meriah atau Takengon.
Itu pula yang membuatku dan Icha, teman sekamar, tak sanggup mandi begitu tiba di Sembalun pada sore sebelumnya.
Aku mematung di jendela. Memandangi gugusan gunung dengan pikiran menerawang. Mengingat kekasihku, tentu saja. Hampir satu jam kemudian barulah pesan itu berbalas disertai emotikon senyum lebar.
Mungkin hatinya juga sedang sama riangnya denganku. Hmm, dia selalu pandai membuat hatiku berbunga-bunga, tetapi juga sering membuatku kesal.
Sembalun yang berada di kaki Gunung Rinjani merupakan bagian dari Taman Nasional Gunung Rinjani. Magnet wisatawan terbesar di Lombok, khususnya bagi mereka yang suka bertualang di alam.
Gunung Rinjani menjadi primadona andalan.
Namun gempa yang mengguncang Lombok pada 29 Juli 2018 lalu membuat pendakian ke Gunung Rinjani ditutup. Sembalun pun sepi.
Pagi itu misalnya, dari balik tirai jendela aku hanya melihat satu persatu penduduk lokal yang melintas dengan kendaraan roda dua.
Pemilik penginapan, Bu Annah, mengakui bila musibah tersebut ikut membuat kunjungan wisatawan ke Sembalun berhenti total. Ditambah banyaknya penginapan milik warga yang ikut hancur atau rusak karena gempa.
Roda ekonomi masyarakat yang sangat bergantung pada aktivitas pariwisata putus rantai.
Annah bersyukur setidaknya homestay miliknya tidak ikut hancur. Pun begitu, tetap tidak ada tamu yang menginap.
“Kecuali tamu-tamu tertentu seperti para relawan atau jurnalis seperti kalian yang kebetulan lewat sini,” ujarnya.
Aku sendiri, begitu mendapat kabar dari Marcom Aksi Cepat Tanggap mengenai rencana memberangkatkan beberapa jurnalis dari Aceh ke Lombok, sangat antusias.
Bukan karena aku mendapat kesempatan bisa ke Nusa Tenggara Barat, melainkan karena mendapat kesempatan bisa melihat langsung bagaimana kondisi di sana setelah gempa.
Dan sejak hari itu, rencana tersebut selalu membumbui perbincanganku dengannya.
Sampai di sana, walaupun kadang-kadang terkendala jaringan internet, kami tetap berkomunikasi, saling mengirim kabar, saling menyuntik semangat.
Saat aku di sana dan dia di tempat yang lain, aku merasa cinta kami seperti lirik-lirik yang ada dalam lagunya Budi Doremi. Aku plesetkan saja baitnya jadi begini:
Waktu itu kamu pakai baju putih
Yang kutahu aku pakai baju merah
Kita duduk saling saling berhadapan
Dan cinta kita seperti Indonesia…
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )