Kemarin, untuk pertama kali saya memangkas rambut sejak “dikurung” oleh corona. Rambut sudah mulai memanjang. Kerak-kerak mulai berbiak.
Sebelum kutu-kutu singgah membuat sarang, saya putuskan memotongnya.
Dengan berat hati tentu saja karena ini juga kali pertama saya harus keluar rumah dan berinteraksi sangat lama dengan orang. Tepatnya dengan tukang pangkas yang bukan langganan.
Saya susah melanggani tukang pangkas kalau patokannya adalah “bagus”.
Beberapa tukang pangkas yang akhirnya (terpaksa) menjadi langganan lebih karena faktor tempat pangkas lain penuh.
Satu sisi, saya suka praktis tapi kadang cerewet tentang model rambut.
Saya pernah datang ke sebuah tempat pangkas dan dengan sukarela menyerahkan nasib rambut saya untuk di-apa-kan sesuka hati si tukang.
Begitu dia bertanya mau dipotong gaya apa, saya bilang terserah gimana bagusnya.
Beberapa tukang pangkas menyukai pelanggan model begini. Tak banyak cingcong. Mereka biasanya sudah kenal akrab.
Adakalanya pelanggan tidak bilang apa-apa, begitu tiba langsung duduk, pulang-pulang sudah berbadan dua rambutnya terpangkas rapi.
Luar biasa, dalam dunia bisnis jasa, kalau tidak salah ini istilahnya silent marketing.
Di lain waktu, gara-gara urusan potong rambut, saya hampir membuat pertemanan dengan seorang kawan yang tukang pangkas, buyar sebelum waktunya.
Penyebabnya, ketika ditanyakan mau dipangkas model apa, saya menjawab short and spiky alias peulipeh sampeng peupaneuk ateuh.
Teman saya_yang sampai sekarang tidak pernah mau buka kedai pangkas karena lebih suka menggelar pangkas outdoor dan door to door_mengiyakan dengan takzim.
Saya kira dia mengerti. Namun, di tengah perjalanan saya mulai merasa dia melenceng dari model dimaksud.
Bagian atas terlalu pendek sedangkan di depan mulai terbentuk jambul. Hampir mirip gaya rambut mahasiswa yang sedang ospek.
Saya protes, nggak terima digituin. Eh, dia juga nggak terima. Menurut dia sudah betul.
Kami pun berdebat sembari tangannya tetap memainkan gunting di atas kepala saya.
Saya ngeri! Bagaimana kalau ia tiba-tiba kerasukan arwah Benjamin ‘Sweeney Todd’ Barker yang telah berjanji membalas dendam ke seluruh dunia itu? Bisa celaka betul saya.
Ketimbang berlarut-larut, akhirnya saya bilang, “Udah, cepakin aja”. Sesudah itu, tak sepatah kata pun yang bisa terucap hanya ingatan yang ada di kepala.
Selesai pangkas, saya pulang dengan gundah. Tak menyangka kalau rambut yang seyogianya mahkota hampir menimbulkan tikai pada sesama anak manusia.
Kemarin, saya melupakan itu semua. Setelah melepaskan masker dan duduk di atas kursi pangkas, saya cuma bilang ke tukangnya, “Pendekkan saja, Bang”.
Mau gaya apa terserah, yang penting pulangnya tidak diikuti corona dan bisa buka puasa dengan tenang.
Ini sejatinya rubrik baru yang dibuat mendadak. Rencananya tayang selama Ramadan sebagai tempat menampung cerita-cerita terkait puasa. Buat Breeders yang mau berbagi cerita, email saja tulisanmu ke [email protected]. Panjangnya cukup 300 kata, ditunggu ya 🙂
Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )