Sahur Stories: Berhemat Obat Ketiak

Dari binatang buas sampai yang rakus tiada dua. Semua menempati tubuh dan jiwa ini, “hingga ku tak kuasa menghalaunya.”

Sahur Stories: Kadra Asin Sambal Lado

Hal yang membanggakan dalam melewati hari-hari terkini di kota besar adalah, kita makin peduli, natural dan berhemat.

Semakin banyak waktu habis dalam rumah atau sebatas pagar, membuat kita, terutama saya pribadi, makin terasah menjadi manusia seutuhnya.

Dulu, sejujurnya kita, terutama saya, dalam tubuh dan jiwa paling mengandung sisi manusiawi itu 70 persen. Selebihnya entah apa-apa.

Dari binatang buas sampai yang rakus tiada dua. Semua menempati tubuh dan jiwa ini, “hingga ku tak kuasa menghalaunya.”

Mendekam di rumah untuk waktu panjang dari bulan-bulan sebelumnya ternayata dapat mengembalikan diri yang sudah ternoda oleh sikap serba instan, konsumtif dan perlu tampil sempurna, menjadi lebih dapat menerima diri dan berbenah (terdengar seperti pendidikan moral pancasila, ya).

Di rumah saya, dari sebotol deodorant pewangi ketiak yang saya beli awal tahun 2020, belum habis barang seperempatnya. Saya sempat berkomtemplasi memandangi botol obat ketiak itu sehabis mandi.

Biasanya, dengan intensitas tinggi keluar rumah entah untuk nongkrong atau bertemu orang-orang untuk banyak keperluan, saya tak akan lupa mengoleskan penghilang bau badan itu.

Saya harus tampil tanpa bau mengganggu penciuman teman tongkrongan.

Bahkan, untuk memastikan tanpa bocor bau badan, saya perlu juga semprotkan pewangi terbaik tanpa alkohol yang dijual bebas di kios rokok dengan sedikit embel-embel bahasa Arab, agar bisa dibawa salat.

Pewangi badan ini paling murah dijual Rp10 ribu. Anda bisa memilih sesuai selera. Yang pasti, wanginya menambah rasa percaya diri hingga level selebgram.

Obat Ketiak
Ilustrasi ini diberikan percuma oleh yang punya tulisan

Namun kini, kita, terutama saya, tanpa obat ketiak seharian sudah tak jadi soal.

Toh, sehari-hari hanya rawun-rawun rumah dan pekarangan. Baik untuk menanam sayur atau membereskan kandang ayam.

Ayam tak bisa protes bau menggunakan bahasa manusia. Jadi, anggap saja tak terjadi apa-apa.

Lelaku menanam dan memelihara ayam ini sebenarnya sudah lama kita tinggalkan setelah kita bergerombol memenuhi kota.

Kota yang kita pikir mampu memberi kemudahan demi kemudahan dengan alat bayar.

Ternyata, kita harus kembali menanam sayur, memelihara ayam agar tak perlu menimbun berkeping-keping telur impor Medan yang masa dan daya tahannya terbatas.

Sementara, dari lubang pantat ayam di kandang, ia secara rutin sehari satu bertelur secara konsisten dan dapat kita simpan.

Kurang tidak, lebih bukan. Semua serba cukup.

Sayur juga demikian. Menebar benih dalam seember besar tanah subur, kita bisa memanennya kapan suka.

Andai punya lahan agak besar, mungkin dalam situasi yang mengharuskan di rumah, satu petak tambak ikan atau selemah-lemahnya sekotak akuarium jadilah memelihara ikan yang bisa dimakan.

Kadang mensyukuri corona memang patut. Mengembalikan kita, terutama saya, pada warisan endatu yang mampu memenuhi kebutuhan perut dengan produksi sekeliling rumah.

Di kota, walau selevel Banda Aceh yang nggak masuk kota besar, membelakangi warisan endatu sudah berjalan lama.

Dari cara penguasa memandang kehidupan rakyat hingga cara rakyat memperlakukan penguasa: sama-sama main gila saat pilkada.

Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *