BNOW ~ Maksud hati hendak cari kerja ke Dubai, puluhan perempuan dan anak-anak dari Filipina jadi korban trafficking di Suriah. Mereka bekerja sebagai pembantu dan terkadang menjadi sasaran serangan fisik serta seksual dari para majikan.
Dilansir Washington Post, Senin, 25 Januari 2021, para pekerja juga tidak diberikan gaji memadai seperti yang dijanjikan, sekitar 500 USD sebulan.
Seorang korban, Josephine Tawaging, 33 tahun, menceritakan pengalamannya hingga tiba di Suriah. Pada 2019, dia pergi dari rumahnya di Filipina bermaksud mencari pekerjaan di Dubai, pusat bisnis mewah di Timur Tengah.
Naas bagi Tawaging, begitu tiba di Uni Emirat Arab atau UEA, agen tenaga kerja malah menyekapnya di sebuah “asrama” gelap dan kotor bersama beberapa wanita lain. Ponsel mereka disita.
Saat disekap, mereka berulang kali diberitahu staf agensi tenaga kerja bahwa Suriah tempat yang tepat untuk bekerja karena perang saudara telah berakhir.
Mereka juga diberitahu akan mendapat gaji tinggi dan memiliki satu hari libur per pekan. Di “asrama” itu pula, para wanita tersebut kerap dianiaya dan diancam secara fisik. Terutama bila mereka keberatan pergi ke Suriah.
Saat itulah para migran Filipina tersebut menyadari kerja di Dubai hanya tinggal angan-angan. Mereka akan dikirim ke Suriah untuk dijual kepada majikan-majikan kaya.
Ketika Tawaging diantar dengan mobil ke bandara Dubai untuk ditransfer ke Damaskus, dia sempat memprotes tapi mendapat balasan berupa tamparan. “Mereka marah kepada saya dan berkata, ‘jika Anda tidak pergi, kami akan membunuh Anda’,” ujarnya.
Melarikan Diri
Pengalaman miris serupa dialami Flordeliza Arejola, 32 tahun. Dia dibawa ke Suriah pada 2018 dan bekerja pada majikan yang kaya tapi gemar menyiksa.
“Majikan saya menampar dan membenamkan kepala saya ke dinding. Saya melarikan diri karena dia tidak memberi saya gaji selama sembilan bulan,” ujarnya.
Saat melarikan diri, Arejola menunggu majikannya tertidur lalu ia memanjat tembok rumah. Berbekal uang yang dimilikinya, dia menumpang taksi ke Kedutaan Besar Filipina di Damaskus.
Termasuk Tawaging dan Arejola, ada 35 pekerja wanita yang melarikan diri dan mencari perlindungan di kedutaan.
Di antara para pekerja tersebut terdapat beberapa anak berusia sekitar 12 tahun. Mereka dibawa ke UEA oleh agen perekrutan dengan memakai visa turis berdurasi 30 hari. Agen menahan calon pekerja sampai visa habis sehingga tidak memungkinkan mereka mendapatkan pekerjaan di UEA.
Dijual dalam Antrean
Pengungkapan kisah itu dimulai setelah seorang reporter Post melihat video Facebook yang memperlihatkan lebih dari 15 warga Filipina dalam Kedubes Filipina di Damaskus yang meminta bantuan. Wawancara kemudian dilakukan melalui Facebook Messenger.
Para wanita mengaku mereka dibawa ke Damaskus dalam kelompok dua atau tiga orang. Setibanya di Suriah, mereka ditahan di sebuah akomodasi komunal milik calo lokal. Setelah itu, satu per satu wanita Filipina tersebut dipaksa mengantre untuk dijual kepada calon majikan.
“Saya merasa seperti pelacur karena kami semua mengantre, dan majikan memilih siapa yang mereka inginkan,” ujar seorang nenek berusia 48 tahun yang tidak mau disebutkan namanya karena merasa malu.
Harga jual bervariasi antara 8 ribu hingga 10 ribu USD. Harga ini diketahui dari cerita majikan setelah mereka bekerja. Para wanita yang tidak cepat “laku” akan menjadi sasaran kekerasan para calo Suriah.
“Saya diberitahu agar tetap bersikap baik, jadi saya tidak akan diperkosa dan disakiti. Saya tetap diam dan hanya mengatakan ya,” ujar Joymalyn Dy, 26 tahun.
Bos calo Suriah, kata dia, ingin tidur di sampingnya. “Untungnya, keesokan hari, majikan membawa saya.”
Wanita lain yang dibawa ke Suriah setahun lalu menjelaskan ia bekerja 18 jam sehari sejak pukul lima pagi tanpa hari libur. Majikannya keluarga Suriah terkemuka dan tinggal di rumah besar dengan penjaga di gerbang depan.
“Saya takut untuk melarikan diri,” ujar wanita berusia 32 tahun itu, yang namanya dirahasiakan demi keselamatannya. “Saya ingin pulang, tapi saya tidak [tahu] bagaimana saya akan sampai di sana.”
Enam dari perempuan yang diwawancarai Post mengidentifikasi dua agen tenaga kerja UEA yang berperan dalam perdagangan manusia tersebut. Namun, agensi tenaga kerja tersebut belum menanggapi permintaan konfirmasi.
Pekerja Anak
Di antara para pekerja terdapat Lailanis Abduljaber, 12 tahun, yang berasal dari Kota Cotabato di Filipina selatan. Dia menjadi korban trafficking tiga tahun lalu.
Lailanis sudah lama berniat bekerja di luar negeri demi membantu keluarganya keluar dari jerat kemiskinan. “Saat berjalan pulang dari sekolah, saya memikirkan cara keluar dari kemiskinan, dan tentang gadis-gadis yang pergi ke luar negeri dan memiliki kehidupan yang baik, dan kerabat mereka dapat membangun rumah sendiri,” ujarnya.
Lailanis menemukan agen perekrutan yang bisa memalsukan usianya di paspor. Dia juga ditawarkan bekerja di Dubai.
Sesampainya di Suriah, dia bekerja keras untuk majikannya di Damaskus, yang tahu dia berumur 12 tahun. Setelah beberapa bulan, Lailanis mendapat kabar saudara laki-lakinya di kampung halaman meninggal dunia.
Di tengah kesedihan itu, dia memohon kepada majikannya agar bisa pulang. Lailanis kemudian dibawa ke kantor Kedubes Filipina di Damaskus.
Sesampainya di sana, harapan untuk segera pulang lagi-lagi kandas. Lailanis tertahan selama 20 bulan terakhir. Dia tidak tahu kapan akan pulang. Proses repatriasi bisa memakan waktu bertahun-tahun.
“Seperti menjadi tahanan. Saya ingin pulang. Aku merindukan ayah dan ibuku,” ungkap gadis yang sekarang berusia 15 tahun.
Perlakuan Tak Menyenangkan Staf Kedutaan
Awalnya, banyak pekerja wanita yang melarikan diri berharap mendapat tempat perlindungan yang baik di Kedubes Filipina di Damaskus. Namun, mereka seperti jatuh tertimpa tangga karena beberapa staf kedutaan bukannya menolong malah memperlakukan mereka secara tidak menyenangkan.
Jika ada yang ketahuan menyelundupkan makanan tambahan dari dapur, para wanita itu tidak diberikan sarapan selama dua pekan. Setiap malam, kamar dikunci.
Untuk mencegah mereka mengadu kepada keluarganya tentang kondisi kehidupan di kedutaan, telepon disita. “Selama hampir lima bulan kami tidak bisa berkomunikasi dengan keluarga karena telepon kami diambil oleh duta besar. Ini seperti berada di penjara,” ujar seorang wanita berusia 48 tahun.
Departemen Luar Negeri Filipina mengaku telah menyelidiki tuduhan perlakuan buruk itu dan mengambil langkah-langkah yang memastikan keamanan serta kesejahteraan korban perdagangan manusia Filipina di Suriah.
Departemen juga mengatakan telah berusaha mendapatkan visa keluar bagi para wanita dan membayar denda yang ditetapkan pemerintah Suriah. Seorang pejabat Filipina mengatakan sejak Desember tahun lalu mereka mulai memulangkan beberapa wanita.
Ketika ditanya tentang perempuan Filipina yang menjadi korban trafficking tersebut, Konsul Jenderal Filipina di Dubai Paul Raymund Cortes hanya mengatakan ia sangat prihatin dengan penderitaan mereka. Namun, tambah Cortes, pekerja migran harus mengoordinasikan pekerjaan mereka di luar negeri dengan pemerintah Filipina. “Dan mencari bantuan mereka jika mereka dibujuk untuk bekerja di luar UEA.”
Puluhan juta migran internasional tinggal di negara-negara Teluk Persia seperti UEA. Banyak yang bekerja di sektor konstruksi dan perhotelan atau sebagai pekerja rumah tangga. Upah murah mereka menopang ekonomi kawasan Arab.
Sementara Suriah, setelah hampir satu dekade perang saudara, tak pernah menjadi tujuan para pekerja migran. Namun, keluarga-keluarga Suriah yang kaya siap membayar ribuan dolar demi mendapatkan pembantu. Hal inilah yang memicu permintaan terhadap pekerja perempuan yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya perdagangan manusia.