Merayakan Earth Hour 60+ Karena Ingin Menyelamatkan Bumi atau Latah Semata?

Kita latah ikut-ikutan earth hour? Bisa jadi. Kita termakan kampanye WWF selama bertahun-tahun? Mungkin saja. Marilah kita menjadi pelatah yang baik bin terhormat.

Ilustrasi sayang bumi tanam pohon.

~ Okay Bree, maksud 60+ ini bukan 60 plus alias 60 tahun ke atas tapi 60 menit

Beberapa hari lepas warga masyarakat di kota gemilang nan tersayang Mandasyeh baru saja usai merayakan earth hour 60+ dengan riang gembira.

Apa makna buat kalian wahai warga Kutaraja yang dengan semangat juang 45 sudah mematikan lampu selama 60 menit di kota warisan Iskandar Muda itu?

Apakah Mandasyeh terlihat lebih syantik pada malam itu?

Perayaan earth hour itu mungkin meninggalkan kesan bagi banyak orang. Tapi tidak bagiku.

Mohon maaf, aku sedikit mual jika membayangkannya kembali. Aku pertama terlibat dalam perayaan earth hour pada 2014 ketika bekerja di Hotel Hermes. Seingatku, baru tahun itu mulai ada perayaan earth hour 60+ di Aceh.

Kalau kalian mau tahu banyak soal earth hour 60+ ada banyak referensi yang bisa dibaca. Kuringkas saja di sini.

Earth hour 60+ ini dicetuskan oleh World Wide Fund for Nature atau WWF. Ini sebuah organisasi non-pemerintah internasional yang menangani masalah-masalah tentang konservasi, penelitian, dan restorasi lingkungan.

Dulunya bernama World Wildlife Fund dan masih menjadi nama resmi di Kanada dan Amerika Serikat.

Earth hour 60+ dilakukan pada setiap Sabtu terakhir Maret saban tahun. Caranya sederhana: matikan lampu yang tidak diperlukan di rumah maupun kantor selama 60 menit.

Jadi, tak perlu ada parade busana tradisional maupun bakar kembang api untuk mensahihkan perayaan ini. Yang dibutuhkan adalah peningkatan kesadaran manusia dalam menghadapi perubahan iklim.

Namun, kampanye yang digadang-gadang untuk membuat bumi lebih baik ini awalnya tidak dilakukan WWF secara sendirian. Entah kenapa, mereka harus mengajak agen periklanan bernama Leo Burnett Sydney untuk terlibat dalam kampanye.

Mungkin, untuk menarik perhatian besar warga dunia, gerakan earth hour perlu dikemas dalam sebuah iklan yang menggugah.

Seperti disitir Wikipedia, gerakan itu sudah digagas sejak 2004. Baru pada 2006, ide dikembangkan lagi. Awalnya dinamakan “The Big Flick”. Sedangkan earth hour pertama digelar pada 31 Maret di Sydney, Australia, pada pukul 19.30 waktu setempat.

Saat itu, 2,2 juta penduduk Sydney berpartisipasi dengan memadamkan semua lampu yang tidak diperlukan. Setelah Sydney, beberapa kota di seluruh dunia ikut berpartisipasi pada earth hour tahun-tahun berikutnya.

Beberapa selebritas dunia pun ikut serta mempromosikan kampanye tersebut. Saluran televisi seperti National Geographic Channel Asia bahkan menunda siaran selama sejam pada 28 Maret 2009.

Tak ketinggalan, seorang agen periklanan Australia bernama Wunderman Sydney ikut berpartisipasi dengan cara menjual plant spike yang dicap ramah lingkungan kepada perusahaan-perusahaan.

Daun spike ini dirancang untuk disisipkan ke tanaman pot di perkantoran. Intinya, Sidney mendukung earth hour walaupun terlihat mencari kesempatan dalam kesempitan. Orang mau menyelamatkan bumi, dia malah sibuk jualan.

Sementara pada 2014 di Banda Aceh, aku ikut menjadi orang sibuk macam mereka gara-gara earth hour. Hotel Hermes memutuskan menggelar perayaan earth hour. Aku bersama beberapa karyawan lain ditugaskan menyiapkan properti perayaan. Tahun itu, belum banyak stakeholder yang tergerak memperingatinya. Setelah Hermes, baru beberapa hotel lain juga ikut ambil bagian. Tahun berikutnya kami bahkan lebih sibuk lagi karena acaranya di-set lebih meriah.

Setelah “pensiun” dari Hermes dan menyepi ke tengah kebun kopi di Bener Meriah, aku mulai lupa sama perayaan earth hour. Bukan apa-apa, di tempat tinggalku sekarang tanpa perlu perayaan pun, earth hour terjadi saban hari, setiap waktu, sesuka hati PLN. Biar sodara tau, di sini, di rumahku yang sederhana ini, kampanye menyelamatkan bumi lebih ekstrim: earth 24 hour.

Pada malam earth hour 2019 dan malam sebelumnya, PLN memperingati momentum global itu lebih militan. Secara de jure, listrik padam 24 jam di Bener Meriah. Apa yang dilakukan warga? Berdiam diri dalam gelap atau meringkuk dalam sarung untuk berlindung dari dingin yang mengintai tulang. Kami lelah jika harus membuat status soal itu karena terlalu sering terjadi.

https://www.instagram.com/p/Bv3iklwHMR3/

Malam perayaan earth hour 2019 itu, aku mengintip status WhatsApp beberapa kawan yang tinggal di luar Gayo. Mereka menuliskan tentang perayaan tersebut; mengajak orang mematikan lampu lalu menyalakan api lilin. Beramai-ramai menuliskan status “1 jam untuk bumi”.

Aku hanya terdiam melihat status-status itu, tidak menanggapinya. Jujur, asam lambungku sempat naik. Aku kurang suka jika perayaan earth hour harus dilakukan di Aceh. Ada baiknya WWF Indonesia maupun Aceh tidak usah mengampanyekan hal itu di sini. Anda salah lokasi, Bung.

Kalau cuma dalih sayang bumi pada hari itu, aku rasa kurang cocok kalau budaya kampanye earth hour diserap mentah-mentah di Aceh yang masih krisis listrik. Berbeda dengan kota-kota besar di negara maju, sah-sah saja mereka memadamkan listrik sejam untuk memangkas emisi karbon dioksida.

Di negara maju, sangat jarang padam listrik. Jadi wajar mereka menerapkan earth hour. Ambil contoh di Bangkok, Thailand. Pada 2008, pengurangan listrik hingga 73,34 megawatt selama satu jam setara dengan pelepasan 41,6 ton karbon dioksida.

Sementara di negara berkembang seperti Indonesia khususnya dan provinsi berkembang macam Aceh, tiap bulan listrik padam hingga berjam-jam. Dampaknya, jumlah pelepasan karbon dioksida mencapai ratusan ton per bulan, ribuan ton per tahun. Bumi Aceh tetap hijau, kok. Nggak perlu lagi ikutan 60+. Kalau ada pembalakan liar di sana-sini, nggak usah takut, nanti kita tanam sawit biar semua orang jadi kaya.

Kita latah ikut-ikutan earth hour? Bisa jadi. Kita termakan kampanye WWF selama bertahun-tahun? Mungkin saja.

Padahal kita sudah nyaman menikmati mati listrik. Karena ketika listrik padam, kita menggerutu setengah mati. Baik itu secara lisan maupun tulisan. Update status isinya caci-maki kepada PLN. Gara-gara PLN kita terganggu menonton drakor, tidak bisa rekap gaji karyawan, bahkan tidak nikmat mamam. Namun ternyata ketika earth hour tiba, kita sukarela mematikan lampu, duduk dalam gelap menikmati cahaya lilin, dan update status sejam untuk bumi tersayang.

Apakah kita senaif itu dalam mengarungi kehidupan di bumi sebagai khalifah?

Satu hal penting yang mesti kita pahami bersama. Kita lebih sayang bumi ketimbang orang di kota-kota besar negara-negara maju. Jadi buat apa lagi ikut padamkan listrik?

Kita lebih baik mengadopsi hari penyelamatan bumi yang lain seperti menanam mangrove, tanam trembesi, hari cuci tangan, atau hari kutip sampah, ketimbang hari peumate listrek sijeum. Jangan terlalu besar pasak dari tiang. Orang buat kita pun buat. Maaf WWF, jangan dimasukkan ke hati.

Ketimbang membuang-buang duit membeli properti earth hour yang tidak ramah lingkungan—seperti lilin yang justru menghasilkan karbon dioksida—mending dialihkan untuk kampanye peduli sampah. Di Banda Aceh masih banyak orang membuat sampah di tempat yang dilarang. Atau, kampanye menanam pohon. Kampanye seperti ini lebih cocok untuk menyelamatkan bumi di masa yang akan datang.

Selain itu, seharusnya pada setiap perayaan earth hour kita menuntut kompensasi atas andil mengurangi jejak karbon di bumi akibat pemadaman listrik selama ratusan jam dalam setahun. Bukan hal yang mustahil soal menuntut biaya kompensasi atas kampanye save bumi. Buktinya, hanya dengan moratorium logging yang dikeluarkan oleh Gubernur Irwandi saat menjabat periode sebelumnya, sang kapten mendapat kompensasi dari Gubernur California waktu itu, Arnold Schwarzenegger.

Mari kita tuntut kompensasi serupa sodara-sodara. Sudahlah, nggak perlu repot-repot peulen panyot.

Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *