Kisah Melati dan Mawar di Balik Gemerlapnya Ajang Pencarian Bakat

Pekan demi pekan terlewati, Mawar masih bertahan. SMS demi SMS terus mengalir kepadanya. Sedangkan si Melati tadi karena kurang SMS atau lebih tepatnya kurangnya kenalan, dia harus tereliminasi lebih awal.

Ilustrasi ajang pencarian bakat.

~ Lihat kebunku, penuh dengan bunga, Mawar Melati …

Ini sebuah kisah di balik layar dari gemerlapnya ajang pencarian bakat. Audisi dari kota ke kota untuk mencari penyanyi terbaik Indonesia selanjutnya.

Apakah cerita ini fiksi? Silakan diprediksi. Siapkan kopi supaya tak menguap.

Jadi, ajang yang diadakan setiap tahun ini selalu memikat banyak animo masyarakat. Di antara begitu banyak bunga layu di taman  itu, salah satunya, sebut saja Mawar.

Tapi maaf, ia bukan korban pelecehan yang kerap dipakai editor berita-berita kriminal.

Mawar memberanikan diri untuk ikut audisi. Modalnya penampilan. Suara Mawar cengkoknya pas untuk lagu seperti Ambilkan Bulan karya Pak Totong.

Namun, dia tak mampu melengking hingga empat oktaf seperti Beyonce atau mendesah-desah manja plus basah kayak Siti Badriah. Pita suaranya Mawar katanya agak bermasalah.

Namun, berkat penampilan yang aduhai, juri meloloskannya ke babak utama. Padahal saat itu, Mawar cuma menyanyikan Potong Bebek Angsa.

Memang, di ajang itu, urusan suara berada di tangan penonton. Merekalah yang menilai. Juri hanya berkomentar.

Ketika babak utama dimulai, penilaian dilakukan lewat voting SMS yang dikirim penonton dari seluruh Indonesia, seluruh dunia, atau bahkan dari luar planet jika bisa tersambung ke nomor tujuan.

Tiba giliran Mawar. Ia pun menyanyikan sebuah lagu beraliran koplo dari Nella Kharisma (saya lupa judulnya).

Sebenarnya biasa saja suara si Mawar ini. Saya yang menontonnya lewat televisi tak sampai hati ikut menggerakkan jari bergoyang. Penampilannya yang aduhailah yang menutupi suara.

Baca Juga: Podcast Breedie Episode 2 – Iqbal Jelatank: Musik, Melankolia dan Kritik Sosial

Setelah Mawar bernyanyi, giliran juri mengomentari.

Juri 1: “Aku sih yes, tapi semua tergantung kepada penonton.”

Juri 2: “Menurut aku sih kamu biasa saja, tapi menyanyi sajalah dulu, SMS akan datang sendiri.”

Juri 3: “Kamu masih banyak sekali kekurangan, tapi di sini sama-sama kita ketahui bahwa tidak cukup kualitas. Di sini kamu juga perlu voting SMS dari orang-orang.”

Juri 4: “Ya rasanya semuanya sudah dikatakan oleh rekan-rekan saya. Saya hanya ingin menambahkan bahwa di sini memang seperti itu. Jika tidak sanggup, silakan pergi. Jangan mimpi cepat sukses di sini.”

Karena juri cuma empat orang, pembawa acara langsung menyambar supaya penonton tidak ikut-ikut berkomentar.

“Oke, baiklah, itu tadi komentar dari keempat juri kita. Dan Mawar, silakan meminta dukungan kepada para pemirsa,” ujar si pembawa acara menyilakan Mawar berbicara.

Mawar pun menatap kamera studio lalu bersuara sambil memasang senyum termanis versinya.

“Halo saudara-saudara saya dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Dukung saya, ya. Ketik Ngegas spasi Mawar kirim 1221. Jangan lupa ya,” ucap Mawar yang diikuti tepuk tangan penonton bayaran.

Ilustrasi ajang pencari bakat.
Ilustrasi ajang pencari bakat. (Breedie Freepik)

Seusai tepuk tangan, pembawa acara menyambar lagi.

“Ya, demikian tadi penampilan apik dari Mawar. Ayo SMS kalau mau lihat dia juara. Ingat, di sini kualitas saja tidak cukup, loh. Kita lihat pesan-pesan yang mau lewat ini dulu ya. Jangan kemana-mana.”

Jeng … jeng…!

Iklan mi bokom pun muncul di layar televisi …

Sementara itu, di sebuah rumah yang jarak tempuhnya bertahun-tahun–jika ditempuh dengan merangkak–dari studio, satu keluarga bahagia sedang menonton show tersebut. Mereka selonjoran di sofa ruang tamu. Ada Ayah, Ibu, Kakak, dan Adik.

Adik: “Ibu kirim SMS voting ya? Untuk siapa?”

Ibu: “Ya untuk Mawarlah. Dia kan sekota dengan kita. Dan mungkin saja masih saudara. Ibunya Mawar itu kan satu tempat belanja sama ibu.”

Kakak: “Iya, Mawar itu kan juga satu sekolahan sama kakak.”

Adik: “Tapi kan Bu, bagusan Melati nyanyinya”.

(Sekali lagi, Melati yang ini juga bukan korban pelecehan)

Ibu: “Melati yang anak pulau seberang itu? Ngapain pilih dia, menang juga enggak ingat kita.”

Bapak: “Ehm, hendaknya pilihlah sesuai kualitas, bukan karena kenal, saudara, atau dekat.”

Ibu dan Kakak: “Ah, Bapak tahu apa.”

Bapak: “Ya sudah. Terserah. Mawar menang juga lupa sama kalian.”

Kita kembali ke studio.

Pekan demi pekan terlewati, Mawar masih bertahan. SMS demi SMS terus mengalir kepadanya. Sedangkan si Melati tadi karena kurang SMS atau lebih tepatnya kurangnya kenalan, dia harus tereliminasi lebih awal.

Padahal, menurut saya yang tidak ikut voting, suara Melati lebih keren. Saat ia menyanyikan “Pelan-pelan”-nya Kotak, Melati mirip Tantri.

Setelah tak lolos babak utama, Melati pun kembali ke kotanya. Dia melanjutkan kehidupannya sebagai penyanyi cafe. Tidak terlalu banyak uang, tapi ia senang menjalaninya. Itulah kesenangan dia. Dan dia bahagia.

https://www.instagram.com/p/Br4ktt4nPYs/?utm_source=ig_web_copy_link

Adapun Mawar akhirnya dinobatkan sebagai juara pencarian bakat. Berkat telaknya jumlah voting yang dia dapatkan. Mawar pun kemudian menjadi selebriti baru. Selain mendapat hadiah, dia juga dikontrak masuk TV selama setahun.

Mawar semakin sering menghiasi acara-acara televisi. Namun, bukan acara menyanyi. Dia lebih sering main di FTV komedi, drama tentang azab Tuhan, presenter acara musik, reality show, dan acara gosip.

Loh, mana nyanyinya? Pihak TV sadar suaranya tidak menjual. Namun pihak TV juga sadar namanya lebih menjual. Makanya Mawar tetap dipertahankan di acara-acara tersebut tadi.

Mawar terkenal, tapi bukan sebagai penyanyi. Dia kaya, tapi bukan dari hasil menyanyi. Dia masuk TV, tapi bukan nyanyi. Tapi dia dari ajang menyanyi? Iya, tapi dia tidak nyanyi.

Ya sudah, kita tinggalkan saja Mawar. Jadi begini, suatu hari setelah ajang itu berakhir, aku ketemu Melati sedang makan tahu bulat di alun-alun kota sambil minum cappucino cincau. Wajah Melati dari kejauhan masih cantik. Semakin dekat semakin cantik.

Baca Juga: Grunge, Harga Mati Tanpa Hegemoni

Aku samperin dia. Aku tanya kabarnya. Lalu aku tanya bagaimana karier menyanyinya di cafe-cafe.

Lalu, dia bercerita bahwa dia didatangi salah seorang juri di ajang pencarian bakat tersebut. Melati ditawarkan masuk ke manajemennya. Melati senang bukan main. Dia ditawari kontrak singkat.

Melati diberikan kesempatan membuktikan dirinya memang mampu menggetarkan dunia tarik suara Indonesia. Atau setidaknya hanya sekadar memberi warna baru.

Melati perlahan mampu membuktikan kalau dirinya memang memiliki bakat. Juri tersebut cukup terkesan. Juga juri-juri lainnya yang memang sedari dulu merasa bahwa Melati memang memiliki talenta menyanyi yang bagus.

Para juri berharap Melati dapat membuktikan dirinya kepada khalayak ramai bahwa mereka salah sebab tidak memilihnya. Atau Melati hanya salah pilih jalan saja yang membuat bakat menyanyinya sia-sia.

Melati perlahan mampu terbiasa dengan panggung layar kaca dan mulai banyak produser acara musik yang melirik dirinya.

Masyarakat juga mulai akrab dengan kehadiran Melati menyanyi di acara-acara musik. Lagunya juga mulai akrab di telinga masyarakat. Yang tadinya tidak meliriknya pun kini menyimpan lagu Melati di HP pintar mereka.

Puncaknya adalah ketika Melati diundang ke acara musik yang di situ ada Mawar sebagai pembawa acara. Mawar tidak menyanyi, yang menyanyi Melati.

Juga, ketika lagu milik Melati dijadikan soundtrack untuk FTV yang dibintangi Mawar. Mawar tidak menyanyi, Melati yang menyanyi.

Keduanya kini sudah menjadi bintang. Tidak perlu ada yang iri hati. Keduanya sudah menemukan jalan pedang yang sesuai. Tapi si juara lomba menyanyi itu tidak menyanyi.

Begitulah cerita Melati padaku. Karena hari sudah semakin gelap. Kami pun berpisah dan pulang ke rumah masing-masing. Melati membeli 20 tusuk sate untuk dibawa pulang.

“Banyak juga makan anak ini,” kataku dalam hati.

Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *