I’m Still Here — Chapter 12

Dahulu juga kami mengadakan selamatan dan ternyata—“ Tante Hanum terdiam. Parasnya seperti mengingat-ingat. Sehelai ekspresi getir turun menyelubungi wajahnya.

Novela Misteri I'm Still Here Breedie

Sehari setelah pindah ke paviliun, sekali lagi Eri mengajak Nada untuk mengadakan pengajian.

“Kan nggak ada salahnya,” ujarnya, agak mendesak. “Sama aja kayak kalau kita mengadakan acara ‘house warming’. Tapi ini kita buat sedikit lebih spesial, lebih bermakna. Gitu ‘aja sih.”

“Pengajian gimana sih Er, maksudmu?” tanya Nada.

“Biasa aja, kita berkumpul, membaca Alquran bersama-sama, lalu berdiskusi, ditutup doa. Gitu doang, Nad,” sahut Eri. Selama bicara ia tidak menatap Nada.

Nada menepuk-nepukkan rapido ke bibirnya. “Kita berempat doang?”

“Nggak. Kita undang cowok-cowok…. Mas Ut, Bang Ronggur, Bang Agus, Heru…. yah, kawan-kawan kitalah.”

Itu bukan ide jelek. Ketika disampaikan pada Dini dan Yasmin, keduanya pun langsung setuju. Dini kontan merencanakan menu yang akan dimasaknya untuk acara itu. Yasmin ingin mengajak kawan-kawannya di klub pencinta alam. Jadi Sabtu itu ketika Ronggur datang mengajaknya keluar, Nada menyampaikan rencana itu padanya.

“Tentu saja boleh,” Ronggur tersenyum. “Kapan? Besok sore?”

“Kawan-kawan bilang sebaiknya Sabtu depan.” kata Nada.

“Tapi Sabtu itu katamu kau dapat giliran libur kantor, dan ingin kutemani cari bahan kebaya di Dalem Kaum?” Ronggur mengingatkan.

“Iya…. itulah….” Nada kelihatan agak bingung. Ditarik-tariknya kedua ujung syal kerawang Gayo yang dikalungkan di lehernya. Syal hitam bersulaman merah kuning itu memberi aksen cantik bagi kaus oblong hitamnya yang bergaya sabrina. “Cari kainnya hari Minggu saja Bang, bagaimana?”

“Boleh.” Ronggur setuju.

“Oke. Sabtu depan, jam empat ya? Aku bilang dulu ke Tante Hanum. Nggak enak kalau nggak laporan dulu,” kata Nada.

Sore itu Nada beserta kawan-kawannya berkunjung ke rumah induk De Zonnen. Tante Hanum menerima mereka di ruang tamunya. Ruang itu dingin dan temaram karena tirai-tirainya semua dikatupkan. Kucing tiga warna yang dilihat Nada saat pertama kali datang dulu, berbaring santai di atas sebuah piano besar dekat jendela. Ia mengawasi keempat gadis yang baru datang dengan mata terpicing. Lantas menguap seolah bosan, dan mulai menjilati kaki depannya. Yasmin sudah maju hendak mendekat, tapi keduluan Tante Hanum. Ia mengangkat kucing itu, mencium kepalanya.

“Yuk, ke sini, Lulu, kita kenalan dulu yaa,” kata Tante Hanum pada kucing itu, dengan nada seperti pada bayi. “Kita kedatangan banyak tamu hari ini.”

Disilakannya Nada dan kawan-kawan duduk di kursi dan sofa kelabu yang diatur melingkari dua meja kopi. Tante Hanum membuka tirai-tirai, lalu menyusul duduk di salah satu kursi besar bersandaran tinggi yang ada di situ. Tak lama muncul seorang perempuan tua, menating baki berisi cangkir-cangkir dan piring-piring berisi potongan cake keju. Perempuan itu mengenakan kain kebaya yang rapi, lengkap dengan sanggul dan bros kemilau berbentuk bunga di dada. Sambil berlutut, ia meletakkan bawaannya di meja kopi, menatanya.

Cahaya matahari menerobos, menyinari hamparan-hamparan hijau dan biru di lantai. Membuat satu set teko, piala dan nampan kuningan bergaya seribu satu malam di sudut ruangan berpendar sayu. Ada perapian besar di salah satu dinding. Benda itu menunjukkan betapa dinginnya suhu daerah ini pada masa rumah ini baru dibangun dulu.

Perempuan tua yang tadi membawa suguhan mengatakan sesuatu pada Tante Hanum. Menggunakan bahasa Sunda halus, yang tidak dipahami Nada. Kata-kata yang digunakan perempuan tua itu sudah nyaris tak pernah terdengar lagi dalam percakapan sehari-hari. Nada hanya bisa menangkap satu kata, “landong”, yang berarti obat. Wajah Tante Hanum berubah. Bagi Nada, ia nampak sedih sekaligus kesal.

Tante Hanum menjawab pembicaraan perempuan tua itu. Cepat sekali. Perempuan tua itu mendengarkan dengan seksama. Ia mengangguk takzim, kemudian mengundurkan diri. Nada memperhatikannya hingga menghilang di balik pintu. Ganjil rasanya melihatnya. Perempuan itu seperti datang dari masa silam.

Saat itu barulah Nada punya kesempatan untuk lebih memperhatikan lukisan yang banyak tergantung di ruangan itu. Selain obyeknya yang kebanyakan tetumbuhan dan pepohonan, beberapa nampaknya dilukis dari angle yang sama. Semua lukisan itu juga bergaya sama, dan semua memiliki tanda khas: gambar kecil sebuah mata tunggal di sudut kanan bawah.

Tante Hanum kelihatan senang dikunjungi Nada dan kawan-kawan. Ia mengobrol dengan gembira, bertanya pada semua orang tentang daerah asal mereka, kuliah di jurusan apa, dan seterusnya. Lalu Nada menceritakan maksud dia dan teman-temannya untuk mengadakan pengajian rutin di paviliun.

“Nggak banyak pesertanya, Tante, hanya kami berempat, ditambah delapan orang lagi, kawan-kawan kampus,” jelas Nada. “Kalau Tante berkenan, silakan gabung.”

Sikap tubuh Tante Hanum menegang.

Baca Juga: I’m Still Here — Chapter 11

“Maksudnya? Pengajian apa?”

“Pengajian apa…? Pengajian biasa, Tante. Berkumpul untuk membaca dan mempelajari kitab suci,” Nada menatap Tante Hanum. Dari sudut matanya dilihatnya Rina muncul di ambang pintu ruang tamu. Ia berdiri saja di situ, menatap ke arah Nada dan teman-temannya. Tak berusaha bergabung. Tante Hanum juga tak memanggilnya.

Sementara itu otak Nada secara otomatis membentuk semacam pertahanan ketika mendengar cara bicara Tante Hanum tadi. “Hanya satu jam setengah. Mulai pukul empat sampai menjelang Magrib, lalu bubar, Tante,” jelas Nada lagi.

Dari gayanya, Nada sudah menduga bahwa berikutnya Tante Hanum akan mengatakan bahwa ia keberatan. Yang tidak diduganya adalah alasannya: “Sepertinya Tante harus minta kalian untuk tidak melakukannya,” kata Tante Hanum. “Sebab kalau kalian adakan pengajian, nanti orang akan kembali mencap paviliun dan rumah ini berhantu. Dan aku tak mau itu.”

Mulut Yasmin menganga. Diam-diam Dini menyenggolnya. Yasmin buru-buru mengatupkan mulut.

Eri angkat bicara. Terdengar heran dan tak mengerti.

“Tapi…. Kalau Tante takut rumah ini dicap berhantu…. Bukankah dengan tinggalnya kami berempat di paviliun sudah menghilangkan cap itu?”

Dengan kesal Tante Hanum mengebaskan tangan.

“Kubilang jangan,” ujarnya. “Aku tak setuju. Dahulu juga kami mengadakan selamatan dan ternyata—“ Tante Hanum terdiam. Parasnya seperti mengingat-ingat. Sehelai ekspresi getir turun menyelubungi wajahnya. “Pokoknya jangan. Aku mohon.” Suaranya rendah, namun penuh tekad. Mendengarnya, keempat gadis yang duduk di hadapannya tahu, bahwa wanita itu tak mau dibantah.

Nada melihat Rina berbalik, berjalan perlahan keluar ruangan. Gerakannya semulus ular yang meluncur pergi.

Percakapan antara keempat gadis itu dan Tante Hanum jadi agak tersendat, tak lancar. Mereka segera menghabiskan teh tarik serta kue yang ada di piring masing-masing, lalu berpamitan.

“Aneh juga, ya,” komentar Yasmin saat keempatnya kembali ke paviliun. “Tante Hanum kok seperti nggak suka kalau kita bikin pengajian. Kayaknya, pengajian itu hal biasa saja, kan? Bukan upacara ngusir setan atau apa gitu…? Rapat teroris misalnya? Kan enggak, ya?”

“Pendapat orang kan macam-macam Yas,” Dini, selalu bijak, membetulkan letak kacamatanya. “Pastinya Tante Hanum punya alasan sendiri… Dia tadi kan bilang, kalau kita mengaji nanti orang akan kembali mencap paviliun itu berhantu. Yah, biarin ajalah. Mengaji kan nggak usah rame-rame. Kita aja yang teratur ngaji, setiap selesai salat…. Ya, Er?”

“He-eh,” sahut Eri. Nada melirik. Wajah Eri pucat pasi. Kelihatannya, dia yang paling terpukul oleh penolakan Tante Hanum. Nada bisa menebak mengapa Eri begitu. Dihampirinya sang sobat, dipeluknya bahunya.

“Magrib ini kita salat berjamaah di ruang tengah, lalu mengaji sama-sama, yuk,” kata Nada, ditujukan pada semua temannya. “Eeshh, Bunda pasti senang sekali kalau tahu. Di rumah, aku yang paling bandel, paling susah disuruh ngaji. Abang dan adikku, semuanya rajin.” Nada menyeringai. “Waktu kecil, aku beberapa kali bolos ngaji…. Waktu jalan ke rumah Teungku bareng Abang dan Dedek, aku melipir ke tempat lain. Sembunyi di kedai kopi.”

Dini pecah ketawanya. Eri tersenyum.

“Ya, kita salat jamaah saja nanti,” katanya. “Ayo. Din, kamu yang pimpin, ya.” Tanpa musyawarah lagi pun yang lain langsung setuju menunjuk Dini sebagai pimpinan. Dini yang tenang, tak pernah terlambat mengambil air wudu, adalah yang paling cocok untuk memimpin kegiatan ibadah bersama.

Selesai salat Maghrib dan makan, malam itu keempatnya terus berkumpul di ruang tengah. Nada mengerjakan denah Taman Budaya Jawa Barat yang dipilihnya menjadi tugas studionya, Eri dan Dini mengetik tugas esei Epidemiologi, Yasmin memeriksa berbagai karabiner dan tali-tali nilon miliknya. Musik mengalun lembut, mengiringi kegiatan mereka.

Sekitar pukul setengah sebelas, Nada pergi ke dapur, membuat kopi. Saat mengambil air dari keran, matanya menerawang ke halaman belakang. Seperti tempo hari, pohon rambutan dekat tembok pagar masih menjulang tinggi. Cahaya lampu teras bangunan belakang menerangi sebagian kecil batangnya, namun puncaknya hilang dalam kegelapan malam. Dilihatnya Rina berjalan perlahan dalam remang di selasar. Rambutnya terurai, dan ia masih mengenakan kardigan yang itu-itu juga, yang dikenakannya tempo hari. Ia menuju sayap kiri bangunan di ujung halaman, membuka pintu salah satu ruangan, lalu menghilang di dalamnya.

Nada meneruskan menampung air. Awalnya tak menaruh perhatian penuh pada pemandangan di luar. Namun kemudian sesuatu di pohon rambutan menarik pandangannya.

Di situ, di antara dedaunan, Nada melihat sesuatu. Sesuatu itu tengah duduk berjuntai di atas salah satu dahan. Dedaunan lebat membuat sosoknya tak begitu jelas. Hanya seperti sosok bayangan. Nampak seperti tengah mengawasi dapur paviliun.

Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )

Facebook Komentar

One thought on “I’m Still Here — Chapter 12

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *