Gara-gara Si Corona, Mudik Tak Seasyik Dulu Lagi

Demikianlah persekongkolan yang terjadi di loket. Sejauh yang saya duga, si calon penumpang agak enggan menuruti anjuran petugas loket.

Angkutan mini bus L300.

~ Mudik saja pakai kantong ajaib Doraemon

Lebaran kali ini, saya dan istri sepakat untuk tidak mudik alias pulang kampung (walaupun ada yang bilang dua kata ini berbeda makna, setelah saya telusuri di Kamus Besar Bahasa Indonesia, ternyata mudik adalah pulang kampong!).

Kami sepakat kalau Idul Fitri kali ini tidak mudik demi mematuhi protokol kesehatan selama pandemi corona yang tak kunjung berakhir.

Media-media masih gencar memberitakan angka ODP dan PDP yang terus bertambah. Pada hari tulisan ini saya olah, positif corona di Indonesia mencapai rekor tertinggi. Dalam sehari nyaris seribu orang dari 34 provinsi terinfeksi.

Saya mau bilang wow tapi nggak tega. Yang pasti, di luar sana masih banyak orang yang suka bilang wow mengganggap sepele pandemi ini.

Mungkin mereka kira wabah ini prank, kali ya.

Sementara itu, di Banda Aceh, geliat mudik mulai terlihat pada pengujung Ramadan. Walaupun otoritas negeri telah melarang warga bergerak ke kampung. Terutama PNS dan tenaga kontrak.

Baca Juga: Wawancara dengan Pelaku Sejarah Perjuangan Tes CPNS

Mudik dilakukan warga secara diam-diam. Mau seketat apa pun peraturan pemerintah, tetap ada celah mengakalinya.

Celah itu yang saya temukan pada Kamis pagi, 21 Mei 2020. Ceritanya, hari itu setelah menerima gaji pertama dari tempat bekerja, saya dan istri langsung tahu ke destinasi mana saja honorarium akan dihabiskan.

Destinasi pertama, membeli kue lebaran yang nantinya akan kami habiskan sendiri di rumah. Lebaran tahun ini kita diminta menerapkan physical distancing yang mengharuskan setiap orang menjaga jarak akibat Kak Korona.

Walaupun ada yang bertamu ke rumah, sudah pasti memakai masker. Tentu si tamu sungkan menyantap kue. Itulah alasan kami beli kue hari raya untuk kami sendiri.

Kebetulan toko kue berada di dekat toko perlengkapan bayi. Kami memutuskan membeli beberapa pasang baju untuk keponakan yang hampir setahun tak pernah ditengok, pascalahir ke dunia ini.

Bermodalkan video call dengan orang tuanya, kami pun menerka-nerka ukuran baju yang tepat untuk si bayi. Takutnya kekecilan, karena bayi ini agak gembul untuk ukuran seusianya.

“Jadi, baju untuk kamu, beli di mana?” tanya saya ke istri setelah baju bayi terbeli.

“Nggak jadi ajalah beli baju. Beli casing HP dan antigores aja. Kan selama corona semua serba online, jadi HP aja yang dibeliin baju baru, biar dia tetap kinclong,” celetuk istriku yang kelakuannya terkadang sering random.

Padahal, dari rumah dia sudah planning mau beli baju untuk diri sendiri tapi di perjalanan akhirnya berubah pikiran.

Emang golongan darah B sifatnya labil dan sering plinplan. Beda dong sama saya yang golongan darah A: optimis, berpendirian teguh, dan konsisten.

Namun, perbedaan itu sesungguhnya menjadikan kami pasangan yang sempurna (hehehe sigo-go pujoe droe).

Baca Juga: Bahagia dan Sedih Menjalani Kerja dari Rumah

Dari toko bayi, kami menuju ke toko aksesori di Simpang Surabaya, Banda Aceh. Setelah casing HP didapat, tujuan selanjutnya ke terminal di sudut kota, untuk mengirimkan paket lebaran kepada dedek bayi.

Di salah satu loket pengiriman, agak ramai orang mengantre. Kami pun terpaksa menanti.

Saat itulah saya sekilas mencuri dengar percakapan antara petugas loket dengan calon penumpang.

Mudik tidak seasyik dulu lagi.
Mudik tidak seasyik dulu lagi.

Kurang lebih redaksinya begini:

Calon penumpang: Kak, jadi baju-bajunya kek mana?

Petugas Loket: Bajunya masukin aja ke dalam kotak, biar nggak kelihatan bawa barang. Ntar kalo ditanya, bilang aja mau balik kerja, jangan bilang mudik atau pulang kampung.

Calon penumpang: #@$#??

Petugas Loket: Biar kelihatan kayak paket, bukan barang bawaan.

Calon penumpang: #@$#??

Demikianlah persekongkolan yang terjadi di loket. Sejauh yang saya duga, si calon penumpang agak enggan menuruti anjuran petugas loket.

Namun, sepertinya ia sangat ingin pulang kampung. Mau tak mau mengiyakan saja.

Sementara, bagi si petugas loket, calon penumpang ini adalah rezeki yang tak boleh ditolak di tengah masa pandemi seperti sekarang ini.

Kalau dia menolak ceritanya bakal berbeda. Bisa jadi tunjangan hari raya dipangkas total sama bos.

Padahal, berdasarkan pengalaman teman saya yang sudah berhasil lolos dari pemeriksaan di posko gugus tugas covid19, penumpang yang mudik hanya diperiksa ecek-ecek.

Kata teman saya, penumpang hanya dicek suhu tubuh, tak seperti yang ditakutkan beberapa orang.

Namun, saya juga tak menyalahkan cerita dari si petugas loket. Mungkin ada beberapa daerah yang mempertegas pemeriksaan angkutan dari luar kota. Sehingga perlu trik alias olah untuk berjaga-jaga dari razia petugas mudik.

Bagi sebagian orang, memilih mudik atau tidak seperti memakan buah simalakama. Mau mudik takut nanti di pos pemeriksaan disuruh putar balik.

Malu dong sama tetangga yang sudah minta pamit. Ntar kalau ditanya kenapa balik, jawabnya apa?

Selain itu perasaan rindu ingin berkumpul bersama keluarga juga ikut andil dalam memaksa mudik yang sejatinya dilarang.

Baca Juga: Corona Membuat Kita Lebih Takut Sama Bersin Ketimbang Singa

Sementara, kalau menetap di rumah aja alias tak balik kampong, isi dompet sudah tinggal KTP, beberapa lembaran uang bergambar Cut Meutia dan Muhammad Hoesni Thamrin, serta kartu tak penting lainnya.

Dilema seperti ini dirasakan sebagian besar kalangan milenial yang finansialnya masih menengah ke bawah.

Tidak mudik kantong menjerit. Kalau mudik harus rela dirazia dan dikarantina. Inilah dilema mudik lebaran 2020. Semua ini gara-gara kau corona!

Diperbarui pada ( 3 Maret 2024 )

Facebook Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *